3

185 39 3
                                    

"Tidak ada surat kabar pagi ini."

Bahiyyih yang sedikit menguping para pelayan yang ada di rumahnya hanya menghitung. Dari arah kamarnya yang berada di sayap kanan menuju rumah kaca yang ada di halaman belakang rumah, terhitung sudah ada tujuh pelayan yang menggosipkan tentang keabsenan Surat Kabar Angin yang pada minggu lalu menjanjikan akan mengungkapkan sedikit fakta yang ditutupi akibat menjadi sejarah kelam bagi wilayah Ehzerhogin.

Tiga bulan yang lalu para loper koran entah bagaimana selalu menyelipkan lembaran surat kabar cantik yang bukan hanya berisi gosip dan rumor belaka layaknya omong kosong dari mulut ke mulut tetapi cuma nama-nama para bangsawan yang meski tidak semua, beberapa termasukkan dalam kategori skandal. Rasanya sedikit lucu kala Bahiyyih mengingat ayahnya yang diperintahkan Raja untuk menyelidiki justru menemukan jika pihak penerbitan juga tidak mengetahui siapa si penulis surat kabar.

"Tiap hari Minggu penjaga yang bertugas akan selalu menemukan sebuah paket berisikan lembaran surat kabar yang asli berupa tulisan tangan dari si penulis beserta sekantung kecil emas untuk biaya penerbitan."

Tulisan tangan yang sayangnya hingga saat ini tidak kunjung terlacak siapa pemiliknya.

Bahiyyih jelas saja tahu bila sosok itu tidak lebih kini seperti sebuah buronan kelas kakap yang tengah bertahan pada satu-satunya pelindung bernama anonimitas. Para bangsawan bukan hanya penasaran tentang siapa dia sebenarnya atau sedikit marah tentang keberanian si penulis yang dengan jelas menuliskan nama lengkap mereka kalau perlu disertai gelar, yang alih-alih terkesan menghormati justru terkesan mengancam. Para bangsawan itu pastinya mengincar sesuatu yang lebih penting, seperti bagaimana cara si penulis mengetahui semua yang terjadi di ibu kota?

Awalnya ibu kota dan kini menyebar ke wilayah lainnya.

"Mungkinkah penulis itu mati?"

Bahiyyih baru saja sampai di rumah kaca kala dua gadis yang telah lebih dulu sampai sampai pada pertengahan topik pembicaraan. "Siapa yang mati?" tanya Bahiyyih.

Bagi orang awam ketiga gadis muda dari golongan atas ini mungkin terlihat seperti tengah bercengkrama sambil menunggu datangnya seorang guru. Karena itulah yang harapkan Archduke Huening, saudara sepupu dari Raja Kim itu tidaklah terlalu gila kerja hingga tidak tahu bila putri bungsunya sedikit berbeda, tidak dapat ditaklukkan dengan mudah. Bahiyyih itu pandai, para guru selalu memuji gadis itu meski memuat sedikit jilatan barang kali ada kemurahan hati yang membuat mereka mendapatkan sekantung emas. Alasan utama mengapa tidak seperti dua saudaranya yang lebih tua, Bahiyyih tidak mendapatkan pendidikan formal.

Hanya dua tahun pada awal masuk sekolah dasar dan menanti beberapa bulan hingga gadis itu mendapatkan sertifikat pengakuan terkait keahliannya dalam menggunakan bahasa asing. Archduke Huening lebih memutuskan untuk mengangkat putri seorang Marquess untuk dijadikan teman belajar bagi Bahiyyih.

Pendidikan informal memang, tapi Archduke Huening menyusunnya agar tetap terstruktur layaknya sebuah sekolah formal pada umumnya.

"Kepala pelayan mengatakan jika kemarin sore kau menungguku di perpustakaan. Maafkan aku karena tidak mengabarimu lebih awal, kau biasanya membolos untuk kegiatan membaca buku," ucap Yujin sambil menyeduhkan teh lavender pada cangkir milik Bahiyyih. Putri dari Marquess Choi yang bisa dikatakan mendapatkan beasiswa untuk menjadi pendamping Bahiyyih yang terkenal jenius dan berhasil memenuhi semua standar dalam pendidikan formal sebelum usianya menginjak kepala dua. Seorang guru untuk berbagai mata pelajaran yang selalu Bahiyyih sebut sebagai ilmu tentang kehidupan, dan lebih dari itu semua, seorang saudari yang baik.

"Tidak masalah. Kak Yujin pastinya juga cukup terkejut karena sama, aku juga terkejut bagaimana bisa kemarin aku duduk diam di perpustakaan tanpa mencuri buah hasil panen," ucap Bahiyyih kemudian meminum teh miliknya sebelum akhirnya mengaduh kala sebuah penggaris kayu tiba-tiba saja memukul punggungnya. "Maaf." Membenarkan posisi duduknya dengan punggung yang kini ditegakkan.

I Love How I'm CalledWhere stories live. Discover now