5

198 35 1
                                    

"Nona, kita telah sampai."

Ucapan kusir kereta menyadarkan Yujin dari lamunan sesaatnya. Lamunan yang cukup dia sesali sebenarnya, karena bukankah ini memang sudah menjadi rutinitas tahunannya sedari lama? Mengucapkan terima kasih dan sebagai sedikit basa basi menawarkan kesediaan pria itu untuk ikut jamuan makan malam yang sederhana di kediaman Marquess Choi. Kalimat yang sama seperti yang Yujin ucapkan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya kepada kusir keluarga Huening yang mengantarkan dirinya pulang untuk bersiap dalam acara Rumah Putri.

Yujin tidak akan berbohong bila penghasilan yang dia terima dengan menjadi guru sekaligus teman putri bungsu Archduke dari Kniagina itu sudah lebih dari cukup untuk menyambung hidupnya. Bahkan dalam kesempatan tertentu sang Duchess sering kali memberikan Yujin sebuah gaun selayaknya kehadrian perempuan yang telah menginjak awal usia dua puluh tahunan itu sudah dianggap seperti anak gadis sendiri.

Tidak perlu kehidupan yang mewah, sebagai seorang putri sulung Yujin telah terbiasa untuk hidup mandiri dan melakukan beberapa pekerjaan rumah sederhana. Sebuah tanah beserta rumah diam-diam telah dia beli di kawasan pinggiran kota Boyar yang masih dipenuhi oleh ladang gandum, pemandangan favorit Yujin untuk disaksikan bersama secangkir teh panas dikala senja hari. Rumah yang kini dia sewakan pada beberapa bangsawan yang sekedar ingin cuci mata mendapati indahnya kawasan tanpa adanya aroma politik. Secara jujur Yujin bisa saja mengemasi pakaiannya, pindah ke rumah itu dan menjadi seorang Nyonya Rumah tanpa perlu menikah.

Hanya saja, apa kata orang-orang nantinya?

"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak menikah." Yujin teringat dengan kalimat sang adik yang berstatus sebagai calon penerus keluarga.

Niatnya baik, ingin menemani Yujin dan masa lajang gadis yang telah memasuki usia dewasa itu. Tapi entahlah, Yujin sedikit merasa tidak enak karena beberapa orang justru memanfaatkan kebaikan hati adiknya untuk menjatuhkan dirinya. Tidak akan bohong Yujin tahu, jelas-jelas tahu, bahkan para pelayan di rumahnya tidak jarang juga menggosipkan perkara dirinya yang tidak kunjung mendapatkan seorang pelamar.

"Kakak seorang yang terpelajar, Archduke bahkan sampai memuji Kakak dan berniat memberikan beasiswa untuk mengeyam pendidikan selayaknya seorang pemuda. Kakak itu luar biasa." Yujin hanya tersenyum, sebenarnya ini bisa dibilang salahnya juga. Dulu sewaktu berada di sekolah dirinta selalu menjadi yang nomor satu, tanpa pernah memiliki niatan mengalah, tidak pula mendengarkan ucapan beberapa orang tua murid lainnya yang sering kali memberinya nasihat untuk tidak terlalu memimpin perolehan nilai.

"Nona Choi, aku tidak tahu apakah orang tuamu pernah mengatakan hal ini, tapi tahukah kau perkara kutukan bagi gadis yang menyandang peringkat pertama di sekolah?"

Kutukan, ya? Sesuatu itu terdengar tidak lebih seperti tahayul yang terlalu berat untuk Yujin percayai.

Pada tahun kedua debu, Yujin masih menyimpan semangat. Mempersiapkan dirinya dengan lebih baik lagi dengan prinsip bila dia akan bisa mendapatkan seorang pelamar dengan mudah karena sudah terlebih paham dengan alur debut. Selain itu ada banyak putri lain yang juga bernasib sama seperti dia, melakukan debut beberapa sebelum akhirnya bisa benar-benar dilirik.

Namun ini sudah tujuh tahun, tujuh musim debut, setelah kali pertama dia memperkenalkan diri di khalayak umum. Dan belum ada seorangpun pelamar yang datang.

Yujin rasa dia mulai takut bila kutukan itu benar adanya.

"Tidak ada yang namanya kutukan Kak. Kakak tidak perlu khawatir," ucap Yeonjun menenangkan Yujin. Seperti tahun-tahun sebelumnya pada malam keberangkatan sebelum debut kakak sulungnya itu mengalami sedikit pergolakan batin. "Aku akan selalu bersama Kakak, masih ingat dengan ucapanku tahun lalu?"

"Tapi ini tahun ketujuhku Yeonjun," ucap Yujin sedikit frustasi sambil mengibaskan tangannya. "Akan ada banyak gadis muda lain dan para pelamar pasti akan lebih memilih mereka?"

"Dan berapa banyak perceraian yang telah tercatat hanya karena tradisi ini?" Yeonjun menggenggam kedua tangan Yujin yang terlihat bergetar, mencoba menyalurkan ketenangan pada sang Kakak agar tidak terlalu memikirkan opini masyarakat yang memandangnya sebagai seorang yang buruk. "Kau bukan gadis yang layak untuk dipilih Kak Yujin, kau dan gadis-gadis lain bukanlah sebuah objek yang bisa dinilai begitu saja. Kau adalah sesuatu yang terlalu mahal, ada dinding yang membuat tidak sembarang orang bisa mendekatimu. Dan sebagai seorang adik jangan pikirkan tuntutan untuk segera menikah."

"Terkadang aku berpikir kau adalah kakakku," ucap Yujin. Dia dan Yeonjun hanya berjarak dua tahun selayaknya kakak adik pada umumnya, keduanya dekat, bahkan Yujin menyimpan foto bayi Yeonjun yang dia dandani cantik dengan gaun berwarna merah muda. Hanya saja sejak empat tahun lalu kala jabatan Marquess Choi dari Boyar berpindah ke pundaknya, Yujin merasa jika waktu di antara dia dan sang adik mulai merenggang.

Yujin seperti sedikit kecolongan untuk memperhatikan bagaimana adik kecil manisnya itu tumbuh menjadi seorang Marquess yang gagah dan disukai banyak gadis.

"Dan jangan menurunkan standarmu." Sebuah suara menginterupsi dari ambang pintu, Soobin, putra ketiga keluarga Choi ada di sana dengan kemeja putih yang sedikit kotor. "Aku segera naik saat Ibu mengatakan kalau Kakak sudah pulang, mengapa tidak mengabari?" Soobin melangkahkan kakinya masuk, berniat memeluk satu-satunya putri di keluarga itu bila tidak dimarahi.

"Mandi dulu, kau terlihat seperti penggembala babi," ucap Yujin merujuk pada sedikit nods lumpur yang ada di celana Soobin.

"Apa Kakak juga berbicara seperti itu pada putri Archduke?" balas Soobin. "Ayolah Kak. Ini salah alam, hujan kemarin malam membuat kondisi jalanan di wilayah pinggiran sedikit tidak stabil. Keretaku terjerembab dan satu-satunya cara untuk keluar dari masalah itu adalah dengan turun dan membantu si kusir."

Entah pada bagian kalimat atau pemilihan kata yang mana dari ucapan Soobin tiba-tiba saja membuat Yeonjun teringat akan sesuatu hingga menjentikkan jarinya. "Kak Yujin, aku yakin Kakak tidak akan percaya," ucapnya dengan sedikit heboh. "Soobin Kak. Dia mungkin akan melangkahi kita dalam hal menikah."

Sedangkan subjek dari perkara itu justru menatap tajam. "Siapa yang akan menikah? Aku? Tidak."

"Jangan berbohong Beomgyu sendiri yang mengatakan padaku jika pada hari lelang dia melihatmu diam-diam menemui seorang gadis bangsawan dari wilayah lain," tuduh Yeonjun.

"Dia hanya kawanku," elak Soobin tanpa menoleh. "Kak Yujin tidak perlu khawatir, aku memiliki pemikiran yang sama seperti Kak Yeonjun, aku tidak akan menikah sebelum Kakak berhasil menemukan seorang yang tepat."

Sesuatu yang dulu sempat terdengar menyenangkan di telinga Yujin kini justru terasa seperti sebuah kalimat yang menakutkan. Seakan tidak cukup hanya Yeonjun, sekarang Soobin dan mungkin dikemudian hari adik bungsunya, Beomgyu, juga akan melakukan hal yang sama. Bukannya tidak tahu diri, Yujin hanya merasa jika selama tujuh tahun ini dia selalu dijadikan tameng.

I Love How I'm CalledWhere stories live. Discover now