7

131 35 0
                                    

"Apa sudah ketemu?"

Kalimat itu menandai bangunnya seorang Dayeon, putri Earl Kim dari Grafinya wilayah Erzherzogin. Setelah semalaman tidak bisa tidur karena si penulis anonim mulai menunjukkan kembali batang hidungnya melalui sebuah surat pemberitahuan, Dayeon harus menghadapi fakta jika dia harus melewati hari ini dengan sedikit rasa khawatir karena para pengawal justru menemukan fakta bila surat kabat itu kini diproduksi secara pribadi.

Sudah jadi peraturan tersendiri agar antara satu percetakan dengan yang lain menggunakan kertas yang berbeda, dan kertas itu menggunakan bahan yang terbilang tidak biasa. Artinya ada percetakan baru. Sedikit penyesalan karena Dayeon sempat berpikir bila sosok itu telah mati karena melakukan keterlambatan dalam pengiriman surat kabar, tanpa sadar bila dia jaih lebih licik dan kini mulai memanfaatkan keadaan.

Bukan apa-apa Dayeon hanya merasa was-was. Penulis dari Surat Kabar Angin menjanjikan pada para pembacanya tentang kisah lama terkait pemberontakan, sesuatu yang cukup identik dengan Grafinya. Itu hal yang cukup sensitif di kota tepi laut wilayah kerajaan Tsaritsa. Dayeon tahu si penulis menyukai tantangan dan kerap kali menyindir para bangsawan daerah ibu kota, tapi kenapa harus menjalar sampai ke Grafinya? Taruhlah dia mulai kehabisan rumor untuk dijadikan bahan, masih ada sekitar enam wilayah Adipati lain yang bisa dia jelajahi.

Grafinya sudah cukup dicap sebagai perkumpulan bekas pemberontak kerajaan dan dipenuhi banyak skandal pemalsuan. Cukup dianggap begitu dan tidak lebih, itu keinginan Dayeon. Bukan tanpa alasan, hanya saja dengan seperti ini wilayah kekuasaan sang Ayah terbilang cukup tenang, rakyat seakan menunduk dalam bayang-bayang rasa takut yang mungkin kejam namun diperlukan. Satu-satunya hal yang bisa menggerus ketenangan itu hanyalah banjir tahunan yang terjadi akibat naiknya permukaan air laut.

"Fokus saja pada debutmu, Ibu sudah menyuruh beberapa ksatria lain untuk mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan si penulis," ucap Countess Grafinya sambil membenarkan gaun yang dipakai sang putri. Sebuah gaun berwarna putih memang selalu identik dengan debutnya seorang gadis yang akan dikirim ke lingkungan Rumah Putri, tapi siapapun itu yang melihat dengan lebih seksama selalu tahu bila ada motif tipis yang tergambar pada gaun-gaun itu. Menandakan latar belakang yang gadis itu bawa, dan motif serupa sisik ular adalah sebuah ciri dari wilayah Grafinya. "Fokus saja pada debutmu, jangan jadikan kehadiran penulis ini menjadi ancaman terhadap masa depanmu."

"Faktanya memang begitu Ibu, penulis ini jelas-jelas menargetkan Grafinya, aku secara tidak langsung juga ikut terseret," ucap Dayeon sambil menghela napasnya sesaat. Memperhatikan pantulan dirinya yang ada di cermin, sedikit menegakkan punggung layaknya seorang perempuan terhormat lainnya, ini musim keduanya untuk debut. Masih bisa ditoleransi karena banyak yang tidak begitu beruntung pada musim pertama. "Ayah sudah cukup dipusingkan dengan masalah banjir dan pembangunan tanggul di wilayah pesisir. Apa salahnya diriku sebagai seorang putri untuk melakukan bakti? Aku tahu akhir-akhir ini Ibu sering tidak tidur dan sibuk di ruang kerja Ayah untuk mengurusi si penulis ini, jadi izinkanlah aku untuk membantu kalian."

Dayeon tahu bila sang Ibu bisa dikatakan cukup ambisius dalam perkara memberikan citra baik bagi rakyat. Selayaknya istri bangsawan lainnya yang mengurusi urusan dibalik layar dari sebuah pembersihan skandal. Ibunya ini jauh lebih berbahaya dari kumpulan penyamun paling profesional yang ada di dermaga, wanita itu bahkan juga menjadi dalang dari perkumpulan itu. Dayeon masih ingat kala usianya belum genap sepuluh tahun dan menyelinap keluar dari rumah.

Berpikir jika itu hal keren meski kenyatannya dia justru hampir diculik oleh seorang asing bila tidak diselamatkan oleh para penyamun yang selalu dijuluki sang Ibu sebagai Ksatria. Pasukan khusus dan rahasia yang dimiliki oleh Countess Grafinya. Pasukan yang sepertinya bukan membuat Dayeon takut, justru membuat gadis kecil itu merasa tertantang dan kini tidak lagi asing dengan budaya hidup jalanan.

"Kadang Ibu merasa tidak bersalah kala mengizinkanmu untuk menjelajahi dunia malam dermaga. Hanya saja hati nurani Ibu mengatakan jika yang aku besarkan kini bukanlah seorang gadis." Entahlah, Dayeon hanya merasa jika sebenarnya sang Ibu seperti memiliki kepribadian ganda.

Mengenyahkan pemikiran konyol itu, Dayeon hanya menjawab sambil memeluk tubuh sang Ibu. "Bukankah aku sudah pernah mengatakannya? Jika aku terlahir sebagai seorang pria, aku pasti akan sudah menjadi Ksatria kesayangan Ibu."

"Tanpa melakukan itu semua kau sudah menjadi kesayangan Ibu," ucap Countess Grafinya melonggarkan pelukannya. Memegang pipi Dayeon sambil memperhatikan sang putri yang kini tidak lagi dalam masa kanak-kanak. "Jadi, apa yang akan kau lakukan? Ibu tidak ingin sampai ada yang menangkap basah dirimu. Para gadis seperti dirimu dan Ibu dikala muda selalu diikuti dengan stigma buruk, Dayeon. Tidak semua pemuda bisa menerima hal itu."

"Maka aku akan mencari satu lagi yang seperti Ayah," ucap Dayeon mengembangkan senyuman.

Kedua orang tuanya tidak saling mencintai. Dayeon tahu itu. Selama kehadirannya dalam pernikahan dua manusia dewasa ini tidak pernah sekalipun terucap kata cinta dari keduanya. Hanya formalitas berupa tangan yang saling menggenggam atau wujud bentuk saling peduli lainnya yang sering mereka tunjukkan tiap kali ada orang asing, selebihnya Dayeon merasa jika hubungan kedua orang tuanya itu dingin. Sesuatu yang mungkin harus Dayeon syukuri karena mereka berdua menikah dalam komitmen, bukannya cinta.

Jujur saja dia pernah iri pada beberapa teman di sekolah yang memiliki sepasang orang tua yang konon kata saling mencinta, hanya beberapa tahun sebelum akhirnya dia tahu bila sebuah pengkhianatan dalam pernikahan itu memang benar adanya. Perselingkuhan. Tidak menutup mata bila banyak kaum bangsawan yang melakukan hal itu berdalih bila rasa cinta yang dimiliki sudah habis namun tidak mau melepaskan si pasangan yang telah terikat oleh sumpah di depan nama Tuhan.

"Aku hanya seperti kebanyakan Ibu lainnya, mencoba memberikan segala hal pada keluarga kecilku. Mendidik keluarga yang coba dilindungi suamiku. Hanya sebuah harapan kecil jika saja aku punya lebih banyak waktu, menjalani kehidupan dermaga selayaknya seorang yang bebas tanpa perlu memikirkan pandangan banyak orang."

"Kau bisa. Kau masih bisa melakukan itu semua. Aku akan selalu mendukung dirimu."

Dayeon hanya belajar bila cinta itu sering kali membuat manusia bersikap menjijikkan hingga melawan Tuhan, sedangkan apa yang dilakukan kedua orang seperti yang Dayeon dengar pada suatu malam justru terkesan lebih romantis baginya.

Kini kembali pada masa sekarang dimana Countess menanyakan terkait langkah apa atau mungkin kecurigaan macam apa yang tengah dimiliki Dayeon hingga ada sedikit kantung mata di wajah putrinya itu.

"Aku sudah meminta salinan data tentang kunjungan para bangsawan dari Kniagina menuju Grafinya. Firasatku mengatakan jika si penulis adalah seorang putri, putri bangsawan yang terlalu naif dengan mulut cenderung tajam dan berpikir bila keterbukaan diperlukan dalam kubu para bangsawan." Karena menurut Dayeon, seorang rakyat tidak mungkin mau mengurusi hal-hal seperti ini disaat mereka sibuk dalam perkara mengumpulkan bahan makanan. Para pelayan juga tidak mungkin kala gadis itu menghitung intensitas kesibukan yang dilakukan para pelayan yang ada di rumahnya.

Dan seorang putri dari keluarga bangsawan agaknya masuk akal.

Seorang putri bangsawan yang selalu dipandang sebelah mata dan terancam kehilangan kenyamanan dalam hidup bila sang Ayah sewaktu-waktu meninggal. Dayeon yakin bila sosok itu tidak memiliki seorang pun saudara laki-laki hingga membuatnya lebih membenci kondisi masyarakat yang tidak pernah ramah pada kaum perempuan.

"Dia pasti juga akan berada di Rumah Putri dan sebelum dia berhasil menyebarluaskan apa yang dia ketahui akan lebih dulu membungkam mulutnya."

I Love How I'm CalledDonde viven las historias. Descúbrelo ahora