33

68 19 0
                                    

Mashiro rasa dia berada pada posisi benci dan suka pada si penulis anonim. Suka kala sosok itu memberikannya beberapa bahan untuk menyudutkan dan mengurangi mereka yang ingin dirinya ramal. Namun benci kala sosok itu pula alasan mengapa harinya jadi tidak tenang.

Sore ini. Tanpa angin atau hujan apalagi badai. Sebuah kertas tertempel tidak jauh dari letak surat terbuka yang ditujukan oleh Dayeon pada si anonim.

Siapapun itu memang belum diketahui kebenarannya, tapi dari pemilihan gaya bahasa, sudah pasti anonim itulah penulisnya.

Bagaimana penulis ini harus memberikan jawaban?

Akankah seseorang menganbil kertas ini selayaknya kertas yang sebelumnya aku letakkan?

Hanya dengan sebuah pesta dansa, penulis ini mampu menjawab apa yang tengah dihadapi Nona Dayeon Kim dan menjelaskan bila penulis ini bukan dirinya, termasuk berita macam apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan pada pembaca sekalian.

Ingin hati seperti itu, namun tangan nakal lebih dahulu merampasnya. Seorang yang egois mungkin? Karena tidak mau membagi miliknya dengan orang lain. Dan karena sosok anonim ini adalah seorang penulis yang tidak dapat menulis sebuah tulisan sebanyak dua kali, biarkanlah surat ini menjawab pertanyaan terbesar yang ada di antara Rumah Putri dan Rumah Putra.

Ya, penulis ini adalah seorang debutan. Namun saya bukanlah Nona Dayeon Kim ataupun yang dia kejar pada malam itu.

Introspeksi diri saya terkait beberapa bangsawan yang merasa terganggu dan mulai menurunkan Ksatria kepercayaan mereka untuk membawa kepala saya membuat saya bekerja sama dengan seseorang.

Hanya saja karena saya seorang yang baik, saya akan memberikan sebuah petunjuk.

Menyesap tehnya, Mashiro merasakan sesuatu yang sama seperti yang dirasakan para debutan lain yang membaca surat terbuka itu dengan yakin hingga akhir. "Petunjuk apanya?" gumam gadis itu sambil memijat kening.

Seorang pelayan dengan langkah kaki berat terdengar cukup kentara hingga mengembalikan posisi Mashiro untuk kembali dari posisi bersandar menjadi tegap. Seseorang pasti baru saja datang dan meminta izin untuk menemuinya guna membicarakan masa depan dan konsultasi percintaan. Padahal Mashiro sudah berpikiran kalau semakin sedikit debutan yang tersisa, akan semakin sedikit pula yang meminta konsultasinya, seperti tahun lalu.

"Nona Sakamoto, Marquess Choi meminta izin untuk menemui Anda."

Yeonjun Choi?

Untuk dua tamu sebelumnya yang juga meminta izin untuk bertemu, Mashiro beralasan bila dia tengah sibuk berdoa untuk kebaikan serta kemakmuran Tsaritsa. Sebuah kegiatan yang pastinya tidak akan bisa diinterupsi begitu saja. Tapi untuk yang satu ini, Mashiro rasa dia bisa memberikan kelonggaran dikarenakan sebuah rasa penasaran.

"Beritahu Marquess Choi bila aku telah selesai berdoa, bukan masalah baginya untuk masuk."

Apa yang diinginkan Marquess mud ini? Ramalan cinta?

Mashiro rasa tidak.

"Jadi, Marquess Choi." Dilihat dari pakaian formal lengkap dengan atribut kebangsawanan yang dikenakan oleh pemuda itu, Mashiro yakin bila Yeonjun baru saja kembali dari sebuah pertemuan. "Apa ini yang Anda maksudkan sebagai pertemuan kedua kita?"

Yeonjun yang semula sibuk menghirup aroma teh yang disajikan padanya meletakkan cangkir sewarna biru dari porselen itu dengan punggung yang masih tegap. "Aku terkejut karena Anda masih mengingat ucapanku dikala itu,", ucapnya. "Aku sempat berkecil hati bila hanya aku saja yang akan mengingatnya."

I Love How I'm CalledWhere stories live. Discover now