Chapter 1 - Since He's Been Gone

125K 6.1K 57
                                    

"Kamu bisa jemput tante Erna nanti siang?"

Aku, yang tengah menyantap sarapanku, menoleh cepat ke arah bunda. "Tante Erna dateng?" Tante Erna bukanlah tante terfavoritku. Dia terlalu banyak bicara.

"Iya, kan semalam Bunda udah bilang."

Oh, mungkin ketika aku baru pulang dari rumah sakit setelah jaga dua puluh empat jam penuh. Tentu saja aku terlalu lelah untuk mendengar ucapan bunda. "Ga bisa Bun, aku ada jadwal jaga," aku berbohong. Jadwal jagaku baru mulai malam nanti, tapi aku bisa pergi kemana pun karena kemana pun lebih baik daripada harus berduaan dengan tante Erna di perjalanan bandara ke rumah.

Bunda berdecak kecewa.

"Aku pergi dulu ya, Bun."

"Mau kemana?"

"Biasa, gym."

Bunda menarik nafas panjang. "Kamu ga capek? Kemarin kan seharian jaga di rumah sakit, terus nanti jaga lagi. Istirahat, dong. Nanti sakit."

"Bun," aku menatap bunda dengan senyum menenangkan. "Olahraga itu bikin sehat. Justru males-malesan di rumah yang bisa bikin aku sakit."

"Tapi ya ga berlebihan gitu, Kaniss."

Aku mendengus tertawa mendengar bunda mengeluh. Memang enam bulan terakhir, semenjak aku memutuskan pertunanganku dengan Fathir—

Semenjak Ezra pergi, alam bawah sadarku dengan mengesalkannya mengingatkan hal yang sudah kubuang jauh-jauh dari hidupku.

Oke, balik lagi, semenjak aku putus dengan Fathir, aku menyibukan diri dengan urusan rumah sakit dan gym. Inaya yang mengenalkanku dengan gym untuk pertama kalinya, dan semenjak itu aku ketagihan. Aku tidak menggunakan tenaga personal trainer atau angkat beban dengan tidak masuk akal. Aku hanya berlari, berenang, ikut kelas yoga, dan kick boxing. Olahraga seperti itu benar-benar membantuku untuk mengenyahkan pikiran-pikiran yang negatif dan mood-ku seketika langsung membaik. Kenapa pula aku tidak terfikir soal gym sejak dulu?

"Yaudah, Kaniss berangkat dulu ya." Aku mengecup pipi bunda singkat sebelum beranjak pergi hanya dengan membawa ponsel dan dompetku. Mobilku sudah seperti lemariku sendiri, jadi aku tidak pernah pusing harus menyiapkan barang-barang keperluan gym ataupun rumah sakit.

Gym dekat dengan rumah sakit tempatku bekerja memang selalu sepi jam-jam segini di hari kerja. Waktu baru menunjukan pukul sepuluh dan seingatku ada kelas yoga jam sebelas. Mungkin aku akan bergabung dengan kelas itu seusai berenang.

Ujung-ujungnya ga cuma yoga. Setelah berenang dan ikut kelas yoga, aku lari setengah jam sebelum makan siang di restoran organik di lantai bawah lalu istirahat setengah jam dan kemudian bergabung kelas kick boxing. Orang-orang mulai menganggapku gym freak, tapi aku tidak peduli. Sebut aku apapun, aku tetap akan melakukan apa yang menyenangkan untukku.

Aku baru keluar dari tempat gym pukul setengah tiga siang dalam keadaan rapi dan wangi siap berangkat langsung ke rumah sakit tempatku mengambil residensi di bidang bedah. Kenapa aku memilih spesialis bedah? Random. Aku sengaja memilih spesialis yang memakan waktu lama, karena dengan cara itu aku bisa lebih sibuk dan memberi alasan kalau ditanya keluargaku kapan aku mulai serius kembali mencari pasangan hidup.

Keluargaku jelas saja kaget dan kecewa ketika tau aku tidak jadi bertunangan dengan Fathir. Tapi untungnya belum banyak yang tau karena aku cepat memutuskan hubungan kami sebelum bunda dan ayah membuat acara lamaran untuk keluarga besarku.

Cuma sekali aku sempat bertemu Fathir secara tidak sengaja sekitar empat bulan yang lalu. Kami bertemu di satu kafe dekat dengan tempatnya bekerja. Awalnya terasa sangat canggung, terlebih dari pihaknya. Tapi aku lega melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Dan bagusnya lagi, dia tidak menanyakan apapun soal Ezra. Topik yang paling malas aku bahas, atau sekedar aku pikirkan.

"Tertarik dengan program itu, Kaniss?"

Aku yang sedang memperhatikan brosur di papan informasi rumah sakit langsung menoleh ke asal suara. "Siang, Prof." Aku mengangguk sopan ke arah prof Chandra yang adalah dokter bedah saraf dan juga salah satu mentorku.

Prof Chandra ikut berdiri di sampingku, memperhatikan papan informasi. "Tiga bulan di NYU Langone medical centre. Sebaiknya kamu segera daftar. Ini kesempatan yang sangat bagus. Itu salah satu teaching hospital paling top di sana."

Bibirku mengerucut berfikir. "Ga semua dokter bisa daftar kan, Prof?"

"Tentu saja semua bisa daftar," prof Chandra terkekeh pelan. "Tapi cuma satu dokter dari tiap spesialis yang diterima di program itu. Dibuka untuk semua residen."

Aku manggut-manggut. Memang program ini sangat menarik, tapi New York terlalu jauh.

"Kalo kamu tertarik, dateng aja ke seminarnya besok. Ada beberapa dokter dari sana yang bakal kasih penjelasan lengkap soal programnya."

Aku mengangkat sebelah alisku. "Oke."

CollidedWhere stories live. Discover now