Chapter 14 - My Fairy Godmother

39K 3.9K 5
                                    

Keesokan harinya aku berusaha untuk lebih cerah dari hari kemarin, tapi Dr. Weisz menggagalkannya dengan lagi-lagi menyerangku habis-habisan di depan pasien. Dan itu terjadi di jam pertamaku bekerja. Dr. Weisz memang mood-killer sejati.

"Aku mau kau membuat makalah soal degenerative disorders yang rupanya tidak kau tau." Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mataku di depan Dr. Weisz. Aku hanya tidak bisa menjawab satu pertanyaan di depan pasien barusan dan di matanya aku sangat idiot. "Dan aku mau kau mempresentasikan makalah itu sore nanti."

"Sore ini?" Aku hampir tersedak.

"Iya. Ada masalah?" Wajahnya yang santai membuatku ingin menjambak rambutnya.

Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak."

Dr. Weisz mengangguk sekali lalu berjalan menjauh. Dia menyempatkan untuk menoleh ke arahku sekali lagi. "Karena aku cukup baik, kubebaskan kau dari pekerjaanmu hari ini agar bisa mulai membuat makalah itu."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Dengan senyum menangnya, Dr. Weisz melenggang pergi. Apanya yang baik? Aku hanya punya waktu kurang dari dua jam untuk menyiapkan makalah tersebut. Dosa apa yang kuperbuat sampai bisa mendapatkan mentor seperti Dr. Weisz?

---

Aku menghabiskan waktu dua jam yang mentorku tercinta berikan untuk mengumpulkan semua data yang bisa kudapat dari perpustakaan rumah sakit. Walaupun begitu, masih ada beberapa yang harus kupelajari untuk mengerti lebih dalam. Dan aku tidak tau apa aku punya waktu lebih untuk itu. Ditambah dengan otakku yang sudah dibuat sibuk dengan pertemuan tidak terdugaku dengan Ezra. I'm screwed.

"Kaniss?"

Aku mengadah dari buku tebal di atas mejaku. Aiden sedang berdiri di samping mejaku sambil membawa beberapa buku dengan sebelah tangannya. Di sebelahnya ada dokter yang tidak kuingat namanya.

"Ujian di minggu kedua?" Aiden terdengar tidak percaya sambil menatap tumpukan buku di hadapanku.

"Tidak. Dr. Weisz memintaku membuat makalah dadakan soal degenerative disorders." Aku mengangkat bukuku untuk efek dramatis. "Ini benar-benar membuatku frustrasi. Sepertinya aku salah sudah mengambil spesialis bedah saraf." Aku memendam wajahku ke kedua tangan yang bertumpu di atas meja. Waktu hanya tersisa setengah jam dan masih ada beberapa hal yang belum kupahami. Aku pasti akan dicincang habis saat presentasi nanti.

"Kau duluan saja, Bruce. Aku di sini sebentar."

Aku melirik ke arah Aiden yang sekarang sudah menarik kursi dan duduk di hadapanku. "Bagian mana yang belum kau mengerti? Biar kubantu."

Kedua alisku terangkat bersemangat. Aku menyeringai lebar. Seperti di dongeng-dongeng, di mana ada ibu tiri, di situ ada ibu peri.

---

Aiden benar-benar guru yang menakjubkan. Semua bagian yang tidak kumengerti dijelaskannya dalam waktu kurang dari setengah jam. By the time makalahku selesai, aku masih punya waktu sepuluh menit sebelum presentasiku dimulai.

"Ada lagi yang perlu kujelaskan sebelum presentasimu dimulai?"

Aku menggelengkan kepala masih sambil memperhatikan isi power point-ku. "Terima kasih banyak, Aiden. Kau guru yang luar biasa! Akan kuberikan apapun kalau bisa menukar Dr. Weisz denganmu."

Aiden tertawa. Aku tersenyum lebar, lega.

"Kau masih punya waktu sepuluh menit, apa yang mau kau lakukan?"

Aku mengangkat bahuku ringan. "Kurasa aku akan bersiap-siap untuk presentasi ini di ruang kelas."

Aiden manggut-manggut setuju. "Omong-omong, malam nanti akan ada acara perpisahan untuk kepala bedah saraf di Nick's. Kalau presentasimu sukses, kau bisa datang. Well, kalau pun gagal kau justru lebih baik datang."

Aku menggigit bibir bawahku, berfikir. Nick's adalah nama bar di seberang rumah sakit yang sudah menjadi langganan pekerja di sini. Sudah beberapa kali aku dan Logan duduk-duduk di sana sehabis kerja. Pemiliknya, Nick, yang juga merangkap sebagai bartender, sangat lucu. Dia mudah akrab dengan semua orang, termasuk aku.

"Aku lihat nanti. Semoga Dr. Weisz tidak menahanku sehabis presentasi." Aku mengangkat kedua alisku sambil menyeringai tipis. "Oh, boleh aku mengajak Logan juga?"

"Tentu saja." Aiden tersenyum.

Aku tersenyum lebar. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih sekali lagi, Aiden."

"Anytime."

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang