Chapter 29 - Go Ahead

28.6K 3K 42
                                    

KANISS

Tanpa berkedip aku memperhatikan jantung terbuka dan berdetak di hadapanku. Aiden mengijinkanku untuk berdiri di sampingnya dan membantunya dengan hal-hal kecil seperti memegangi suction. Hal yang tidak mungkin dilakukan Dr. Weisz in a million years.

Aiden luar biasa. Semua gerakan tangannya membuatku benar-benar terpana. Dia hanya berhenti sesekali untuk peregangan karena operasi ini berlangsung lebih dari delapan jam. Sebenarnya kakiku sudah pegal, tapi aku tidak mau melewati kesempatan ini. Aku berharap Dr. Weisz tidak kembali sampai programku selesai.

Begitu operasi selesai dan kami sedang bercuci tangan, aku tidak berhenti berceloteh bagaimana luar biasanya setiap step yang Aiden lakukan. Aiden hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihatku antusias.

"Tapi, sungguh, terima kasih banyak sudah mengijinkanku ikut dalam operasi ini."

"Tidak masalah. Apa kau belajar sesuatu?" Aiden membuka head cap-nya dan dikantongi. Kami sama-sama berjalan keluar dari ruang operasi ini.

"Tentu saja! Delapan jam barusan lebih berarti dibanding tiga minggu aku di sini."

Aiden tertawa. "Jadi apa kau tertarik menjadi cardiothoracic surgeon?"

"Sepertinya begitu." Aku manggut-manggut sok tau.

"Well, hal pertama yang harus kau latih adalah staminamu. Operasi jantung selalu lama. Aku sadar kakimu gemetaran tadi."

Aku terkekeh, tidak merasa malu. "Tapi keringatmu lebih banyak dariku."

Aiden tertawa lagi. "Tentu saja. Aku memegangi jantung, kau memegangi sedotan."

Aku pun ikut tertawa. Tapi tawaku seketika terhenti melihat siapa yang duduk di ruang tunggu menatapku dengan dahi menyatu tajam.

Aiden juga sepertinya baru sadar. "Dari reaksimu, bisa kutebak ini kejutan, huh?" gumamnya tapi aku tidak bisa merespon melihat Ezra berjalan mendekat.

"Aiden," Ezra mengangguk tipis menyapa Aiden.

Oh, no, dia marah. Tentu saja. Aku tidak mengangkat telfonnya. Tapi itu salahnya juga memintaku melakukan hal yang tidak masuk akal.

"Hai, nice to see you again," Aiden menyeringai lebar menyapa.

Ezra hanya tersenyum hambar lalu menoleh ke arahku. Aku menelan ludah. "Bukannya lo di San Francisco?" tanyaku tegang.

"Lo ga bisa angkat telfon?" nada suara Ezra tenang, kelewat tenang. Yang justru membuatku sadar semarah apa dia sekarang.

Aku melirik ke Aiden yang berdiri di sampingku. Aku baru sadar kalau barusan aku dan Ezra berbicara dengan bahasa Indonesia. "Maaf, Aiden. Aku butuh bicara dengan Ezra sebentar."

Aiden mengangguk sekali. "Aku akan berada di ruang post-op." Dia menoleh pada Ezra. "Aku masih menunggu kabarmu untuk catch-up," ucapnya sambil menepuk lengan Ezra akrab.

Ezra lagi-lagi hanya tersenyum hambar, dan Aiden pun pergi meninggalkan kami. Aku menarik nafas panjang, bersiap-siap terkena damprat yang kuyakini sudah lama ditahan Ezra.

"Why were you dodging my calls?" nada suara Ezra masih sama tenangnya.

"Well, gue ga mau omongan ga jelas lo bikin mood gue kacau. Ini hari terbaik gue selama gue ikut program ini."

Giliran Ezra yang menarik nafas panjang sambil memijat pangkal hidungnya. "I told you to ask for another mentor," ucapnya geram.

"Kenapa?" tantangku.

"Just do as I say," Ezra hampir membentak, tapi dia menahan diri karena kami sedang berada di tengah-tengah ruang tunggu.

Mendengar ucapan Ezra, emosiku naik dengan cepat. "Just do as I say? Lo pikir lo bos gue?"

"Bukan gitu," nada suara Ezra melunak meskipun aku tau dia masih ingin membentakku. "Please, masih ada dokter bedah hebat yang lain. Someone who doesn't intend to impress you."

What? "Lo ga ngerti program gue, rumah sakit ini, apapun yang gue jalanin di sini, jadi lo ga usah ikut campur." Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menaikan suaraku.

Ezra diam sejenak, menatapku marah. "Okay, fine." Dia mengambil satu langkah mundur. "Go ahead be his bitch. Might as well sleep on his bed tonight." Dan dia berbalik pergi.

Aku merasa secara fisik tersakiti oleh kata-kata Ezra barusan. Jantungku terasa disayat. Apa yang sudah kulakukan sampai Ezra tega-teganya berkata demikian?

Aku berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas panjang beberapa kali. Tidak lucu kalau aku menangis di depan orang-orang yang anggota keluarganya sedang mempertaruhkan nyawa di meja operasi.

Oke. Anggep aja Ezra ga pernah dateng barusan. Anggep aja Ezra ga pernah ngomong kayak gitu. At least sampai gue pulang hari ini.

---

Sebagaimana pun aku berusaha untuk tidak memikirkan ucapan Ezra, suaranya terus terulang di otakku dengan nada yang setiap kalinya terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya. Walau begitu, aku tetap berusaha melakukan tugas-tugasku sebaik mungkin. Aiden sepertinya sadar kalau mood-ku jauh berubah setelah bertemu Ezra. Dia tidak menanyakan apapun, tapi sisa hariku diberinya tugas-tugas ringan dan aku diijinkan pulang lebih awal.

Logan juga sadar dan sempat menanyakan kenapa aku semurung ini. Aku bilang padanya kalau aku sedang bertengkar dengan Ezra tanpa menjelaskan detailnya. Logan hanya berkata kalau first fight memang akan terasa seperti ini, tapi nantinya aku akan terbiasa. Yang dia tidak tau, aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Tidak Fathir, apalagi Tama. Tapi Ezra memang sudah memberiku peringatan sebelumnya, bukan? Dia bukan seperti pacar-pacarku sebelumnya. Aku yang sudah memutuskan untuk menerima hal itu. Aku yang memilih untuk mencoba hubungan ini. Aku yang harus bisa menerima konsekuensinya.

Begitu aku sampai di ujung tangga di lantai tempat apartemenku dan Ezra berada, aku berdiam diri sejenak memperhatikan pintu apartemen Ezra yang tertutup rapat. Apa dia ada di dalam? Apa dia mengharapkan aku mengetuk pintunya? Apa yang harus kulakukan?

Kalimat Ezra sore tadi terulang kembali di benakku dan aku pun memutuskan untuk tidur di apartemenku malam ini. Atau mungkin juga untuk malam-malam selanjutnya. Kebiasaan tidur di apartemennya adalah hal yang sangat salah karena itu membuatku mudah bergantung padanya.

Dia yang sudah keterlaluan. Tidak sepatutnya aku berfikir apa aku yang melakukan kesalahan. Ini salah dia, dan seharusnya dia yang datang mengetuk pintuku meminta maaf.

CollidedWhere stories live. Discover now