Chapter 50 - We Are Really Over

23K 2.3K 15
                                    

EZRA

Seharian ini aku menghabiskan waktu di gym, berharap bisa menyalurkan emosiku dan berharap ketika aku pulang, Kaniss sudah berada di apartemenku. Aku sama sekali tidak mengerti ucapannya semalam. Dia memutuskan hubungan kami lima belas menit setelah aku hopelessly menyatakan kalau aku mencintainya? That doesn't make sense. Apa karena aku bilang aku tidak mungkin menikahinya? Tidak seharusnya itu mengejutkannya. Aku sudah bilang sejak awal, aku tidak seperti dua tunangannya. I don't believe in marriage, and she should've known. But that doesn't mean I don't love her. Because I do.

Argh. This is why I never wanted to be in a relationship after Nadine. I hate this pathetic longing feelings that make me feel miserable.

Satu jam menunggu di apartemen tanpa ada tanda-tanda Kaniss akan datang, aku pun kembali mengenakan sepatu boots dan jaket kulitku. I have to go somewhere. Some bar. Anywhere other than this place.

Aku harus kembali menjadi Ezra yang seharusnya. Ezra yang tidak akan mau dipusingkan oleh wanita. If she let me go, it's her loss. She'll be the one begging and apologizing. I'm sure of that.

Tapi kemudian aku berpapasan dengannya di tangga apartemen, dan di sampingnya berdiri Aiden membawa satu box bir.

What the hell...

What the fuck is he doing here?

"Ez," sapa pria brengsek ini memecahkan keheningan yang canggung karena aku dan Kaniss hanya saling bertatapan tanpa mengatakan apa-apa.

Aku terlalu emosi untuk membalas sapaannya atau sekedar menoleh ke arahnya. Aku terus menatap tajam Kaniss dan dia semakin terlihat tidak nyaman. Dia bahkan tidak lagi berani menatap mataku.

Seharian aku mengharapkan Kaniss muncul di apartemenku. I was waiting for her, for God's sake. Dan dia malah berani-beraninya membawa pria ini ke gedungku? Dia lebih baik hanya mengantar Kaniss sampai depan pintu apartemennya. Karena kalau sampai Aiden masuk, she and I, we are really over.

Tanpa berkata apa-apa, dan masih dengan mataku terkunci menatap wajah Kaniss yang tegang, aku bergeser agar Kaniss dan Aiden bisa lewat. Mataku terus mengekori Kaniss sampai mereka tidak lagi terlihat. Aku masih berdiri di tempat, menunggu sampai Aiden kembali berpapasan denganku. Aku bisa dengar suara pintu apartemennya dibuka, dan kemudian langsung ditutup.

Aiden tidak kembali.

Pria brengsek itu masuk ke dalam apartemen Kaniss. Mereka berdua di dalam apartemen itu. Di gedungku.

Aku meremat pegangan tangga yang terbuat dari kayu ini dengan seluruh emosi yang kurasakan sekarang. I know I'll punch the wall any second now. Aku tidak tau apa yang menahanku untuk tidak naik dan menyeret Aiden keluar dari gedung ini. I should've done that, this is MY building.

Tapi tidak. Aku tidak mau membuat drama. Biar Kaniss melakukan apapun yang dia mau. I don't give a shit anymore. Aiden could fuck her for all I care.

Aku memejamkan mataku sambil menarik nafas panjang. Gambaran-gambaran horror tentang Kaniss dan Aiden bermunculan di benakku dan tidak ada yang bisa kulakukan.

I told her I love her and this is what she gave me?

Fuck her.

---

KANISS

"Akhirnya kau datang juga!" seru Logan ketika aku sudah masuk ke dalam apartemen dan dia baru keluar dari kamar mandi. "Oh, Dr. Miles, kau datang juga!"

Marissa yang sedang memperhatikan pemandangan dari jendela, berbalik menoleh ke arahku. "Apartemenmu luar biasa!"

Aku hanya mengangkat kedua alisku sambil tersenyum singkat. Aku masih totally disoriented dengan kejadian barusan. Aku tidak pernah melihat tatapan Ezra setajam itu. Aku tidak pernah melihat orang bisa menatap setajam itu. Seemosi itu. Apa yang dia pikirkan? Apa karena aku membawa Aiden?

Cukup, Kan, lo udah putus sama Ezra. Ngapain juga lo mikirin apa yang dia pikirin?

"Di mana aku bisa meletakan bir ini?" Aiden berjalan melewatiku menuju sofa di mana coffee table-nya sudah penuh dengan makanan.

Aku masih diam di tempat.

"Kau baik-baik saja?" tanya Logan khawatir. Dia berjalan mendekat ke arahku.

Aku tidak bisa menjawab. Apa aku baik-baik saja?

"Kami berpapasan dengan Ezra di tangga," Aiden menjawab pertanyaan Logan untukku.

"Oh." Logan mengigit kuku jempol tangannya. Tanda kalau dia tidak tau harus berbuat apa. Sama sepertiku, aku juga tidak tau harus apa sekarang.

Untungnya Aiden mengerti situasiku. Dia berusaha mencairkan suasana. "Jadi? Kita akan menonton film atau bermain kartu?"

CollidedWhere stories live. Discover now