Chapter 69 - Hi.

31.5K 2.5K 20
                                    

Ezra mengenakan setelan jas warna hitam, berdiri dengan kedua tangan di dalam kantong celana, menatapku dengan tatapan intimidasinya. Aku diam. Kaku. Berkedip pun aku tidak bisa menatap mata itu.

Aku bukan berkhayal. Ini benar dia di hadapanku. Dan berarti benar feeling-ku barusan. Aku sulit bernafas.

"Hai," sapanya tanpa tersenyum, tanpa sedikitpun beralih dari mataku.

Aku menelan ludah, "h-hai," ucapku tapi tercekat.

"Hm, gue masuk duluan ya?"

Aku tersentak, baru sadar kalau masih ada Andra. Barulah aku melepaskan pandanganku dari Ezra dan menoleh ke Andra. "Iya, entar gue nyusul."

Ezra juga akhirnya melepaskan tatapannya dari wajahku dan beralih ke Andra. Ekspresinya tidak berubah. Hanya diam menatap Andra dengan kedua tangan masih di dalam kantong. Tidak berniat untuk menyalami atau sekedar menyapa Andra.

Begitu Andra pergi, meninggalkan Ezra dan aku berdua, jantungku berdegup semakin kencang sampai aku tidak tau apa aku bisa bergerak.

"Who's that?" tanyanya dingin.

Alisku mengerut menatapnya marah. Dia tidak berhak menanyakan hal itu setelah tiba-tiba muncul seperti ini. Sempat aku berfikir untuk berkata kalau itu bukan urusannya, tapi jawaban itu hanya akan menambah drama. Dan aku lelah dengan drama kami.

Aku pun menunduk menyerah. "Temennya Dewi," jawabku lemah.

"Can we talk?"

Aku mengadah. "No," tegasku. Tenagaku sudah terkumpul kembali. Aku tidak akan membiarkan diriku lagi-lagi lemah di hadapan Ezra. Dengan mantap aku melangkah melewati tubuhnya, tapi dengan sigap dia menahan sebelah lenganku.

"Hold on," ucapnya. Aku menoleh menatapnya sinis. "We need to talk."

"No, we don't," sanggahku geram sambil dengan kasar melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku segera melangkah masuk sebelum ditahannya lagi.

"I'll be here."

Ucapannya menghentikan langkahku. Tapi aku tidak mau menoleh.

"I'll be here. After the party."

---

Tapi tentu saja, keberadaannya di acara ini membuatku sulit konsentrasi atau sekedar tenang. Aku terus berusaha menghindar darinya—dan Rizky just incase. Untuk memastikan kalau Ezra tidak berada di dekatku, beberapa kali aku menyapu isi ruangan dengan tatapanku hanya untuk mendeteksi di mana keberadaannya. Bunda sempat menanyakan apa aku baik-baik saja. Tentu saja aku bohong dan berkata tidak ada apa-apa. Ini kebalikan dari tidak ada apa-apa.

Ezra jarang terlihat. Hanya dua atau tiga kali aku melihatnya dari jauh sedang berdiri bersama Rizky. Yang membuatku jengah adalah ketika dia dikelilingi tamu-tamu perempuan yang jelas sekali berusaha menarik perhatiannya. Bagaimana tidak, Ezra terlihat terlalu memukau in all black. Setelan jas hitam dan kemeja hitam kerah terbuka. He's so sexy it hurts. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah fakta kalau aku masih sangat terganggu dengan keberadaan perempuan-perempuan itu di sekitarnya.

Come on, Kan, mau sampe kapan lo kayak gini?

I managed to stay away from him for the rest of the night. Ketika tamu-tamu sudah mulai pulang, aku kepikiran soal ucapan Ezra kalau dia akan menungguku di teras belakang. Apa benar? Atau dia hanya akan mengecewakanku sekali lagi? Apa dia hanya akan menunggu lima menit lalu pergi entah ke London atau New York kali ini without saying goodbye like he always does? Fuck him, I don't wanna know.

"Boleh," jawabku cepat tanpa menanyakan dimana Beno, suaminya, dan kenapa dia tidak bisa mengantar Aldila pulang. Aku hanya perlu alasan untuk segera pergi dari tempat ini.

Cepat, aku mencari keberadaan bunda dan ayah untuk berpamitan. Mereka kaget kenapa aku pulang lebih awal, aku bilang kasihan Tania harus segera pulang. Berhubung foto keluarga sudah diambil, aku diizinkan pulang duluan. Aku bilang pada mereka kalau tidak perlu menungguku, karena dari rumah Aldila aku akan langsung ke rumah.

That's it. Tanpa membiarkan diriku ragu, aku segera pergi dari gedung ini bersama Aldila yang anaknya tidak berhenti menangis. Sepanjang perjalanan, aku memilih untuk diam. Lagipula Aldila sibuk menina-bobokan anaknya. Dan sepanjang perjalanan pula aku tidak berhenti memikirkan Ezra. It's like having a battle inside you. Di saat sebagian diriku terus memikirkan Ezra, sebagian yang lain bertahan untuk tidak lemah dan mengenyahkan pikiran itu. Dan sebelum aku sadar, aku sudah sampai di depan rumah Aldila. Perjalanan barusan terasa menggunakan autopilot.

"Thanks ya, Kan. Penyelamat banget lah lo," ucap Aldila setelah aku memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Aku hanya tersenyum tipis. "Lo bawa aja dulu mobil gue pulang. Besok gue ambil di rumah lo."

"Ga usah, gue naik taksi aja," tolakku halus.

"Ih, jangan. Bahaya malem-malem gini sendirian naik taksi."

Lebih bahaya lagi menyetir tanpa konsentrasi. Aku menggelengkan kepala. "Ga papa Dil, gue naik taksi aja."

"Yaudah, lo masuk dulu aja. Gue telponin taksi langganan gue."

Aku menurut.

Sama seperti ketika di perjalanan, duduk di ruang tamu rumah sepupuku aku hanya diam. Aldila menawariku minuman tapi kutolak. Dan pikiranku terlalu penuh untuk diajak bicara sehingga dia pamit untuk menina-bobokan anaknya.

Begitu taksi datang, aku pamit dan segera beranjak pergi. Baru ketika supir taksi menanyakan tujuanku, aku seakan dibangunkan dari keabsenan pikiranku.

"Neng?"

Aku terkesiap, sadar kalau aku masih belum menjawab.

"Alamat tujuannya?" tanyanya sekali lagi.

Aku terdiam sejenak—bukan melamun lagi. Aku berfikir keras karena tau kalau pertanyaan ini tidak seringan itu.

Aku harus menentukan pilihanku.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang