Chapter 59 - I Don't Want Him Here

25.4K 2.4K 30
                                    

EZRA

"Apa maksudmu tidak tau?" bentakku kepada orang dengan seragam pemadam kebakaran yang tidak tau di mana Kaniss berada.

"Maaf, sir, tapi banyak korban di sini—"

"Dia bukan korban, dia dokter yang bertugas," tegasku tidak mau Kaniss disebut korban. Aku memijat pangkal hidungku keras. She's fine, she must be. Tapi mengingat berita soal Kaniss belum berhasil dievakuasi membuatku semakin kacau.

Sampai akhirnya ada satu rescuer lainnya menghampiri kami. "Maaf, siapa yang kau cari?" tanya pria itu.

"Kaniss, Dr. Kanissa Farah," jawabku dengan kening semakin bertautan. "Dia salah satu dokter yang ikut—"

"Oh, Kaniss."

Ucapan pria ini membuatku seketika terdiam menatapnya heran. Dia kenal Kaniss? "Iya, dimana dia?"

"Dia sudah dibawa ambulans ke NYU Langone."

That's all I need. Tanpa menunggunya mengatakan apapun lagi, aku berlari menuju mobilku dan mengemudikannya ke rumah sakit.

---

Sepuluh menit perjalanan kutempuh kurang dari lima menit. Kuparkirkan mobilku sembarangan di antara banyaknya ambulans di pintu emergency room. Suasana hampir sama kacaunya dengan tempat kejadian barusan. Semua staff rumah sakit tampak sibuk dan enggan berhenti sekedar untuk menjawab pertanyaanku. Sampai akhirnya aku harus menarik paksa satu dokter agar berhenti dan mendengarkanku.

"Aku mencari Dr. Kaniss. Dia baru dibawa ambulans kemari." Dokter ini terlihat kesal dengan sikapku, but who gives a fuck.

"Dr. Farah ada di kasur nomor enam," jawabnya singkat. Aku menatapnya bingung sekaligus emosi. Bagaimana dia bisa berfikir kalau aku tau di mana letak kasur nomor enam? Untungnya dokter ini sadar dan kemudian menunjuk ke arah salah satu kasur di ujung ruangan yang ditutupi tirai.

Dan detik itu juga aku melepas tanganku dari lengan dokter itu dan berlari melewati banyak korban dan staff untuk mencapai kasur yang ditunjuk.

Please God, please, I never pray to you, but don't let anything happen to her. Not to her.

Ketika kubuka tirai yang menutupi kasur itu, Kaniss sedang duduk di sana, tertawa bersama Aiden yang sedang merawat lukanya.

In my life, I've never felt this relieved.

---

KANISS

Tawaku seketika terhenti melihat Ezra tiba-tiba menyeruak masuk. Dia tampak tergesa-gesa sambil menatap kedua mataku tegang. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini.

Sebelum aku sempat memproses kemunculan Ezra yang mendadak ini, dia tanpa ragu-ragu mendekat dan memelukku erat.

Dan aku terdiam kaku.

Bagaimana Ezra bisa di sini? Emma baru saja pergi, jadi sudah pasti bukan dia yang mengabari Ezra. Tapi kenapa Ezra kemari? Kenapa dia bersikap seperti ini? Apa yang dia lakukan di sini?

Aku tetap terdiam tegang di dalam pelukan Ezra. Sulit untukku menjabarkan apa yang kurasakan saat ini. Genggaman tangan Ezra di tengkuk dan pinggangku, nafasnya yang mulai beraturan di telingaku, denyut jantungnya yang beriringan dengan denyutku.

Setelah entah berapa lama Ezra memelukku, akhirnya dia melepaskan pelukannya. Kedua mataku otomatis mencari matanya, tapi dia langsung membuang wajahnya dariku.

"How is she?" pertanyaan itu Ezra tunjukkan pada Aiden yang masih berdiri di dekat kami.

"Dia baik-baik saja. Tapi dia membutuhkan CT scan untuk memastikan kalau benturan di kepalanya tidak berbahaya," tutur Aiden menjawab. Dia terlihat cukup terkejut dengan kemunculan Ezra, jadi sudah tidak mungkin Aiden yang mengabarinya.

"Lalu? Apalagi yang kau tunggu? Lakukan segera," perintah Ezra tegas dengan tatapan protes. Dia berbicara seolah aku tidak di sini.

Aiden pun tidak membuang waktu lagi. Dia segera membuka tirai yang mengelilingi gurney-ku lalu memanggil salah satu suster pria untuk mengambilkan kursi roda. Aku yakin Aiden bukannya takut pada Ezra, tapi memang dia sudah berniat dari awal untuk segera membawaku ke ruang radiologi.

Sementara Aiden memanggil bantuan, aku terus melirik ke arah Ezra yang masih berdiri canggung di hadapanku. Aku tau dia sadar aku memperhatikannya, tapi dia tetap enggan menoleh ke arahku.

"Permisi," ucap suster pria yang menggeret kursi roda, meminta agar Ezra bergeser supaya bisa meletakkan kursi roda tersebut di hadapanku.

Aiden membantuku turun dari gurney, dan yang Ezra lakukan hanya melihat ke arahku tanpa sedetik pun mau menatap kedua mataku. Aku pun mendengus pelan sambil membuang muka ketika aku sudah terduduk dan Aiden mendorong kursi rodaku menjauh. Cemas Ezra mengikuti kami, aku pun menoleh ke belakang sekali lagi. Ezra masih diam di tempat, tidak mengikutiku, tapi akhirnya kedua matanya menatap mataku langsung. Ezra is still good with this staring game. Sejak dulu aku sulit memahami maksud tatapannya yang seperti ini.

Dan dia tidak mengalihkan pandangannya sampai aku yang berbalik.

---

"Berita bagus, tidak ada yang mengkhawatirkan," ucap Aiden ketika aku selesai diperiksa dengan mesin CT scan. Aku masih berbaring di ruang radiologi. "Gegar otak ringan. Tapi aku mau kau menginap satu atau dua malam untuk observasi."

Aku menghela nafas berat. Bukan ucapan Aiden yang kukhawatirkan.

"Tenang saja, biayamu ditanggung rumah sakit karena kau begini dalam misi penyelamatan." Aiden tersenyum jenaka sembari membantuku kembali ke kursi roda.

Meskipun bukan itu alasan kenapa aku menghela nafas, aku tetap membalas senyum Aiden. Yang kucemaskan adalah apakah Ezra masih berada di IGD atau tidak. Ketika Aiden menunggu hasil CT scanku, aku bersikeras untuk tetap menunggu di radiologi karena aku tidak berani menghadapi Ezra di luar. Apa yang bisa kukatakan kalau aku harus bicara dengannya?

"Aku tidak mau dia di sini," ucapku akhirnya ketika Aiden mendorong kursi rodaku keluar dari radiologi.

Tanpa perlu kujelaskan siapa yang kumaksud, Aiden mengerti. "Baiklah, biar nanti kubilang kau butuh istirahat."

"Tidak," tolakku. "Bilang saja yang sejujurnya, aku tidak mau dia di sini." Iya, aku mau Ezra tau kalau aku sudah tidak mau lagi berurusan dengannya. Aku harus tegas.

Aiden tidak langsung menjawab. "Baiklah, tapi salahmu kalau besok aku muncul dengan wajah babak belur," ucapnya diselingi tawa.

Aku hanya bisa mendengus tersenyum mendengar candaan Aiden. Aku tidak bicara apa-apa lagi sampai Aiden membawaku ke salah satu kamar rawat inap. Setelah membasuh wajah dan membersihkan diri sekedarnya, aku diberi infus untuk mengurangi sakit kepala dan membantuku tidur. Dari Aiden aku baru sadar kalau ini sudah lewat tengah malam. Informasi itu membuat mataku terasa berat—mungkin karena infus. Akhirnya aku merasa lelah juga.

"Ya sudah, kau harus istirahat yang benar. Besok pagi aku kembali. Perlu kubawakan apa?"

Aku terharu dengan perhatian yang Aiden berikan. Tapi tidak mungkin aku meminta tolong untuk mengambilkan pakaianku di apartemen Logan. Ah, andai saja ada Logan. Dia bisa sangat membantu.

"Kalau tidak merepotkan, tolong tanya Alec, salah satu pemadam kebakaran di sana, apakah ponselku sudah ketemu atau belum. Dia berjanji akan mencarikan ponselku yang jatuh waktu aku dievakuasi."

Aiden menganguk. "Baik, akan kutelfon tim medis yang masih di sana."

"Terima kasih, Aiden," ucapku tulus.

"Anytime, Kaniss," balasnya sambil tersenyum lalu berbalik hendak pergi.

"Aiden," panggilku sebelum dia mencapai pintu. Aiden berbalik. "Tolong jangan lupa sampaikan pesanku tadi untuk Ezra," mengucapkan nama itu membuat tenggorokanku terasa kering.

Aiden tersenyum miris lalu mengangguk dan kemudian meninggalkanku sendirian di ruangan ini.

Aku tau tindakanku sudah tepat, mengirimkan pesan seperti itu untuk Ezra. Aku harus tegas. Aku bisa tegas. Setelah apa yang dia lakukan, tidak sepantasnya Ezra berada di sini memainkan perasaanku lagi. Tidak seharusnya aku membiarkan dia memelukku tadi.

And yet, aku terus menatapi pintu kamar, berharap Ezra tidak menuruti perkataan Aiden dan memaksa untuk menemaniku di sini.

Aku menyedihkan.

CollidedWhere stories live. Discover now