Chapter 60 - He's Still Here

25.2K 2.3K 7
                                    

Tidak ada yang menemaniku tadi malam, tapi tidurku sangat nyenyak. Mungkin karena rasa lelah ditambah pengaruh obat. Hanya saja aku terbangun karena mual. Aku sampai harus cepat-cepat ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku yang tidak seberapa.

Aiden datang ketika aku keluar dari kamar mandi. "Hei, kau sudah bangun," sapanya.

Aku mengangkat kedua alisku lelah. "Isi perutku membangunkanku."

Raut wajah Aiden berubah khawatir. "Kau muntah-muntah semalaman?"

"Tidak, baru saja aku muntah." Aku duduk di pinggir kasurku kelelahan. Muntah dengan perut kosong itu melelahkan, sungguh.

Aiden mendekat, memeriksa jaitan di ujung keningku. "Akan kudaftarkan kau untuk CT scan lanjutan siang ini."

"Belum dua puluh empat jam, tidak perlu," tolakku. Aku berbaring untuk mengurangi pening di kepalaku.

Aiden mengambil suntikan dari lemari medical kit dan menyuntikkan obat untuk mengurangi mual ke dalam tabung infusku. "Kalau kau masih muntah juga, aku tidak akan menunggu dua puluh empat jam."

"Iyaa," jawabku. Kuperhatikan Aiden yang sedang membuang suntikan dan melepaskan sarung tangan latex yang barusan dia kenakan. "Kulihat tidak ada luka memar di wajahmu," sindirku basa-basi. Pertanyaan yang sebenarnya ingin kulontarkan adalah; bagaimana Ezra menanggapi permintaanku semalam? Aku tau Aiden mengerti tanpa perlu kujelaskan.

Aiden membentangkan kedua tangannya bertumpu di pinggir kasurku. "Dia masih di luar."

Ucapan Aiden mengejutkanku. Bibirku hampir saja tersenyum atas reflek, tapi tidak kuijinkan. Ini bukan berita bagus. "Dia tidak pergi setelah kau beritahu dia aku tidak mau dia di sini?" Aku memaksakan diri untuk protes, menekan dalam-dalam perasaan lega atas berita ini.

"Tidak. Dia menunggu semalaman di kursi ruang tunggu."

Perasaanku lagi-lagi terbagi dua. Aku bingung tapi juga senang. Aku marah tapi juga ingin bertemu dengannya.

Ezra ngusir lo, Kaniss, di depan pacarnya yang setengah telanjang.

"Kau benar bilang begitu, tidak? Kalau aku tidak mau dia di sini?" protesku curiga kalau Aiden menggunakan kata-kata yang berbeda.

"Iyaa," gemas Aiden. "Aku bilang 'Kaniss tidak mau kau di sini, sebaiknya kau pulang saja, dia sudah sedang beristirahat'."

"Lalu?" aku menatapnya penasaran.

"Dia tidak langsung menjawab, tapi kemudian dia bilang 'baiklah' dan kembali duduk. Tidak mungkin aku memanggil satpam untuk mengusirnya, kan?"

"Dia tidak mengatakan apapun lagi?"

"Tidak."

Aku masih mau menginterogasi Aiden tapi Logan tiba-tiba menyeruak masuk dan langsung berceloteh.

"Apa-apaan ini, Kaniss? Kenapa aku terlambat tau soal ini? Kemana ponselmu? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja? Aku menelfonmu seperti orang gila."

Aiden mendengus tertawa melihat tingkah Logan. "Baiklah, sudah ada yang menemanimu. Aku bekerja dulu. Nanti aku datang lagi untuk membawamu CT scan, oke?" Aiden beranjak pergi setelah aku mengangguk menyerah. "Dan oh," Aiden berhenti di pintu, "ponselmu tidak ketemu. Temanmu Alec sudah berusaha dan dia minta maaf."

Aku menghela nafas berat, untuk ponselku yang resmi hilang dan untuk Ezra yang masih di luar sana. Kenapa dia masih di sini? Apa dia berniat meminta maaf untuk sikapnya malam itu?

Kaniss, jangan lemah.

Iya, aku tidak boleh lemah. Ezra mengusirku, ingat itu. Dia mengusirku.

---

Aku bertahan cukup kuat. Satu kali pun aku tidak bertanya pada Logan apa dia melihat Ezra di luar dan apa yang orang itu sedang lakukan. Bahkan ketika Emma datang menjengukku, aku tidak mau membahas soal adiknya yang menungguku. Untungnya Emma dan Logan sama-sama cukup pengertian untuk tidak menyebut nama Ezra.

Seharusnya aku bangga dengan kemampuanku menahan diri. Tapi sejujurnya aku merasa tersiksa. Aku ingin bertemu Ezra. Aku ingin tau apa tujuannya menungguku di sini. Pelukan singkat tadi malam tidak mengobati rinduku tidak bertemu dengannya dua minggu ini. Justru pelukan itu seperti seteguk air dingin setelah dahaga berkepanjangan. Aku ingin menghabiskan isi gelasnya.

Hhh. Aku menyedihkan, bukan?

Setiap keinginan untuk bertemu Ezra terlalu kuat, aku memejamkan mataku erat dan mengulangi lagi kejadian pagi itu ketika dengan hina aku diusir olehnya. Mengulang lagi pemandangan Ezra dan wanita itu sama-sama setengah telanjang. Mengingat hal itu membuat hatiku perih, tapi setidaknya membuatku ingat seberapa bencinya aku pada Ezra dan itu membuatku tidak lagi peduli dengan dia menungguku di luar.

Tapi aku tidak bisa terus-terusan seperti ini. Aku tidak mau terus-terusan mengingat kejadian itu hanya untuk menahan diri. Mengingatnya berulang-ulang tidak membuat hatiku lebih kebal. Cuma ada satu cara untuk membebaskanku dari dilema ini. Ezra tidak boleh ada di sini. Aku harus mengusirnya. Iya, ini giliranku untuk mengusirnya.

"Logan," panggilku. Logan yang baru saja pergi makan siang dan kembali menemaniku, menoleh. "Dia masih di luar?" tanyaku.

Logan tentu saja langsung mengerti siapa yang kumaksud. Dia mengangguk.

"Boleh tolong panggil dia ke sini?"

"Kau yakin?" tanyanya. Aku mengangguk. Logan masih diam menatapku sejenak sebelum akhirnya keluar.

Aku menarik nafasku dalam-dalam, bersiap-siap.

CollidedWhere stories live. Discover now