Chapter 67 - And He's Gone. Again.

27.1K 2.3K 7
                                    

Kupikir aku sudah mendapatkan closure yang kubutuhkan dengan menyadari kalau lagi-lagi aku menunggu Ezra yang tidak pernah pasti. Tapi nyatanya, sulit untukku menahan diri untuk tidak membahas soal Ezra di depan kakaknya dalam penerbangan dua puluh tiga jam ke Jakarta.

Enam jam pertama aku mampu menahan diri karena hampir sepenuhnya kami pergunakan untuk tidur. Tapi ketika baik aku maupun Emma sama-sama terlalu segar untuk terus beristirahat, kami pun mulai berbincang-bincang.

Awalnya topik-topik ringan seperti apa yang aku lakukan setelah kembali ke Jakarta. Emma berencana akan membuat penelitian soal kanker esopharengeal di Jepang dalam waktu dekat. Semakin aku berbicara dengannya soal dunia kesehatan, semakin aku terpukau dengan kepintarannya. Emma memang cantik—sangat cantik, tapi kecantikannya tidak ada apa-apanya dengan isi otaknya. And I can't help but to adore her even more.

Tidak sekali pun Emma menyebut nama adiknya atau membahas sesuatu yang berhubungan dengan Ezra. Maka aku tidak bisa sedikit pun menyalahkannya untuk kelemahanku bertanya soal Ezra.

"Semalam aku ke Murray Hill," aku mengaku tanpa ditanya. Emma menoleh ke arahku dan tersenyum tipis, tidak terkejut.

"I know."

"How?" tanyaku bingung.

"Kamu tidak membawa apapun begitu pulang dan mood-mu jelas memburuk."

Aku tidak menyangka Emma seperhatian itu. "Ezra tidak ada di apartemennya."

"I know," ucapnya lagi. Aku diam menunggu Emma menjelaskan apa yang ingin kuketahui dari awal; kemana Ezra? "Dia sudah di London sejak dua minggu yang lalu."

I knew it. Selalu. Ezra selalu pergi begitu saja tanpa kabar. Benar-benar pengecut. Dan aku dengan bodohnya mendatangi apartemennya. Benar-benar bodoh. That's it. Kalau masih ada sedikit saja di diriku berharap aku masih memiliki kesempatan bersama Ezra, semua sudah hilang. Fuck him.

Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap jendela pesawat agar air mataku tidak jatuh. Bukan air mata sedih. Ini air mata marah. Aku hanya berharap Emma tidak sadar.

Tentu saja dia sadar. Dia menatapku prihatin. "I'm sorry."

Aku cepat menoleh ke arahnya. "Engga, ini bukan salahmu," suaraku tercekat dan percuma aku berlagak tenang. "Dia... dia..." aku tidak tau kata apa yang tepat yang tidak akan menyinggung Emma. Bagaimana pun Ezra adiknya.

"He's difficult," ucap Emma membantuku. Aku diam sejenak lalu mengangguk tipis. "And it's my fault sudah membiarkan kamu tinggal di apartemen itu. Maafkan aku, kupikir Ezra tidak akan kembali dalam waktu dekat."

Aku diam menatap Emma. Kalau saja aku tidak mengiyakan tawaran Emma untuk tinggal di sana, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Tapi aku tidak mungkin menyalahkannya untuk apa yang sepenuhnya salahku; dengan bodohnya lagi-lagi jatuh ke perangkap Ezra. Dan aku tidak mungkin menyalahkan Emma, karena bagaimanapun sebagian besar memori indahku di New York adalah ketika aku dan Ezra bersama.

"Ini salahku. Ini sudah pernah terjadi dan bisa-bisanya aku terjebak perangkapnya lagi."

Emma membalikkan badannya untuk benar-benar menghadap ke arahku. Aku punya perasaan kalau Emma sebenarnya juga sudah lama menyimpan pertanyaan tentangku dan Ezra, dan saat ini dia tidak akan menahannya lagi.

"Kalau boleh tau, apa yang sebenarnya terjadi?"

Benar, kan?

Aku menarik nafas berat, tidak yakin apa aku mau membahas hal ini.

"We're just not for each other," jawabku singkat.

"What makes you say that?"

Aku mengangkat bahuku berat, aku tau jawabannya tapi terlalu berat untuk menjelaskan. Airmata sudah kembali menumpuk di pelupuk mataku. Kugigit bibir bawahku keras.

"Oh, honey, come here..." Emma dengan lembut menarikku ke pelukannya. Aku tetap bertahan untuk tidak menangis, tapi rasanya lebih ringan ketika Emma memelukku. "I'm so sorry for what he did to you," ucapnya lembut. Aku diam, tidak mengatakan apa-apa.

It's not what he did, it's what he didn't.

CollidedWhere stories live. Discover now