Chapter 35 - Whatever Happened, Happened

26.6K 2.7K 16
                                    

"Apa yang sudah terjadi?" tanya Aiden begitu dia menutup pintu darurat di belakangnya. Tangga ini selalu sepi karena hampir semua orang lebih memilih menggunakan lift.

"Maaf," hanya ini yang bisa kukatakan. Masa aku harus bilang 'maaf, selama aku memegangi suction itu aku hanya bisa memikirkan bagaimana nasib orang-orang yang ditinggalkan jika pria itu meninggal dan aku semakin yakin kalau aku ternyata belum siap kembali menjadi dokter.'

Aiden menarik nafas panjang, tidak lagi terlihat marah. Atau dia hanya pintar menyembunyikan emosinya? Aku tidak tau.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya khawatir. "Tadinya aku tidak mau menanyakan hal itu karena kurasa bukan urusanku. Tapi jelas, kau belum baik-baik saja. Dan aku, sebagai mentormu, harus tau apa yang terjadi. Kau baik-baik saja kemarin saat aku meninggalkanmu di E.R. Apakah karena sesuatu yang kulakukan?"

"Tidak," aku membantah.

"Lalu apa?" Aiden terdengar lelah. Wajar saja, dia baru saja melakukan operasi enam jam penuh. "Aku tau kau tidak mengenal pasien yang meninggal kemarin. Dan aku yakin itu bukan pertama kalinya pasien meninggal di depanmu. Tapi kenapa sikapmu seperti itu? Apa sebaiknya aku tidak lagi memintamu berjaga di E.R? Kau hampir saja menyebabkan aku kehilangan pasienku hari ini."

Aku menunduk, tidak berani menatap wajah Aiden. "Aku hanya... aku memiliki trauma dan kematian pasien kemarin mengingatkanku soal itu." Ketika aku mengadah, Aiden mengernyit tipis. "Maafkan aku sudah hampir menggagalkan operasimu."

Aiden menghembuskan nafas berat. Dia berjalan melewatiku lalu duduk di salah satu anak tangga. Aku masih diam berdiri di tempat sampai Aiden mengadah ke arahku lalu memberi gestur agar aku duduk di sampingnya. Aku menurut.

"Waktu umurku sepuluh tahun, aku mengalami kecelakaan mobil bersama kedua orang tuaku ketika kami berlibur untuk merayakan ulang tahunku," Aiden mulai bercerita. Kedua matanya menerawang menatap lantai, lalu menoleh sekilas ke arahku. Aku memperhatikan wajahnya yang berubah serius dan dia terlihat berbeda dengan Aiden biasanya.

"Ibuku meninggal di tempat, sedangkan ayahku masih bernafas. Selama menunggu bantuan datang, aku berusaha menghentikan darah yang terus mengalir dari luka dekat dengan jantung ayahku. Lukanya sebesar ini,"—Aiden merenggangkan telapak tangannya—"dan tanganku masih terlalu kecil. Tapi aku tidak menyerah." Aiden menyeringai tipis yang membuatku pedih melihatnya. "Waktu darahnya berhenti mengalir, kupikir aku berhasil menyelamatkan ayahku. Tapi tentu saja itu karena jantungnya tidak lagi memompa. Dia sudah meninggal jauh sebelum ambulans datang. Dan sampai detik ini aku masih menyesal sudah memaksa mereka untuk berlibur bersama demi merayakan ulang tahunku."

Aku tidak tau harus merespon apa, maka aku hanya diam menatap Aiden prihatin. Dia menoleh ke arahku, memberi senyum manisnya yang biasa. Hanya dengan melihat ini aku sadar seberapa kuat Aiden. Aku tidak bisa membayangkan jika trauma sehebat itu terjadi padaku di usia semuda itu.

"Trauma akan selalu ada. Setiap orang memiliki trauma masing-masing. Tapi jangan sampai trauma itu justru menjatuhkan kita. Trauma itu ada untuk membuat kita lebih kuat. Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk merubah hal itu."

Aku menarik nafas berat. Ucapan Aiden benar. Aku sudah sering mendengar kalimat itu dari orang lain, tapi keluar dari mulut Aiden yang memiliki trauma serupa denganku, setiap kata-katanya baru bisa kupahami. Seolah selama ini aku tidak pernah mengerti maksud kalimat itu.

"Maafkan aku, soal orang tuamu," hanya ini yang bisa kukatakan.

Aiden menyeringai tipis. "Tidak perlu khawatir. Kejadian itu sudah lama terjadi dan bukannya aku lalu hidup sengsara di panti asuhan. Nenekku yang sangat berkecukupan merawatku setelah itu dan lihat, aku sudah menjadi salah satu dokter bedah jantung terbaik di kota ini." Aiden terkekeh bangga yang membuatku ikut tertawa pelan. "Kau hanya perlu fokus dengan apa yang membahagiakanmu dibandingkan apa yang membuatmu sedih," ucap Aiden kembali serius.

Untuk beberapa saat, aku dan Aiden hanya saling menatap. Kata-katanya membuatku terenyuh dan aku baru sadar ada garis keemasan di mata hijau milik Aiden. And they're beautiful.

Aku buru-buru mengalihkan pandanganku sebelum terlalu lama memperhatikan kedua matanya. "Baiklah." Aku bangkit berdiri, berharap tidak terlihat canggung. "Terima kasih," ucapku dan Aiden mengangguk sekali merespon. Aku melihat jam tanganku. "Aku sudah boleh pulang?"

Aiden menjawab tanpa melihat jam tangannya, "tentu saja."

Aku pun segera melangkah keluar dari tangga darurat ini dan menuju ruang loker. It feels weird with the intervention just now. Rasanya seperti Aiden benar-benar mengerti tanpa perlu aku menceritakan secara detail trauma yang kualami. Rasanya seperti sudah lama berteman dengannya. Dan tidak ada orang di sini yang tau soal traumaku selain Ezra.

Kupikir hanya Logan yang bisa membuatku merasa lebih baik di rumah sakit, rupanya aku salah. Aiden bisa membuatku lebih baik, and somehow aku tau efek ucapan Aiden tidak hanya sementara. Ucapannya merubah perspektifku lebih dari siapapun.

CollidedWhere stories live. Discover now