Chapter 8 - Cold Night

43.7K 4.3K 10
                                    

Seminggu berlalu sejak hari pertamaku di NYU Langone Medical Centre. Setiap harinya aku semakin terbiasa dengan sikap Dr. Weisz. Aku juga sudah berkenalan dengan beberapa staff lainnya, tapi aku paling dekat dengan Logan. Kami hampir selalu makan siang bersama dan sudah dua kali aku mengundangnya bermain di apartemenku, menemaniku berbelanja di swalayan, dan membantuku mendekorasi apartemenku agar terasa lebih nyaman. Dia juga membantuku belajar setiap harinya untuk menghadapi Dr. Weisz yang sering kali menembakku dengan pertanyaan sulit di hadapan pasien. Aku tidak mau sampai memberinya kepuasan dengan terlihat bodoh karena tidak mengerti pertanyaannya. Aku beruntung bisa bertemu dengan Logan, dan fakta kalau dia tidak suka perempuan membuatku semakin merasa nyaman berada di sekitarnya. Jujur, awalnya aku masih tidak percaya kalau Logan itu gay, karena dia sangat terlihat 'laki'. Sikapnya, caranya berbicara, semua terlihat normal untukku. Tapi setelah beberapa saat, aku mulai bisa merasakan sisi orientasi seksualnya dan aku dengan cepat terbiasa.

Aku tidak pernah lagi makan siang bersama Aiden sejak hari pertamaku itu, karena sudah ada Logan dan beberapa teman baruku. Tapi tidak jarang aku berpapasan dengannya dan yang kulakukan hanya tersenyum menyapanya yang dibalas dengan senyum menyapa serupa. Semakin aku bergaul dengan para suster dan dokter intern, semakin aku sadar dengan barrier antara kami dan para dokter senior seperti Aiden. Walaupun Aiden masih terlihat muda—aku masih belum tau usianya, tapi aku yakin tidak lebih dari tiga puluh lima—tetaplah dia sudah menjadi seorang dokter bedah jantung. Beda kasta, itu istilah yang Logan gunakan.

"Hey, Logan. Kau masih lama?" Aku bertopang dagu di atas kaunter suster. Aku sudah berganti pakaian dari scrub-ku. Logan berada di balik meja, sibuk dengan file-file yang ada.

Wajah pria bermata biru itu berubah cemberut. Dia mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya begitu."

"Jones." Seseorang yang kutau sebagai kepala residen memanggil Logan. "Dr. Adams memanggilmu. Dia ada di kamar pasien 2061."

Logan membuang nafas panjang dan berat sebelum berdiri memeluk beberapa file. "Kau pulang saja duluan. Hati-hati, udara sangat dingin malam ini. Kurasa akan turun salju lagi." Logan melenggang pergi menuju panggilannya. "Aku mulai yakin tahun ini spring dibatalkan," ucapnya sambil berjalan menjauh.

Aku menyeringai sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap punggung Logan. Aku pun segera beranjak menuju lift, khawatir akan berpapasan dengan Dr. Weisz karena pernah sekali dia menahanku untuk pulang karena ada satu pasien yang menurutnya menarik untuk aku observasi semalaman. Hasilnya, tidak ada yang terjadi dengan pasien itu dan aku baru diijinkan tidur di on call room selama dua jam sebelum aku harus kembali memulai programku pagi harinya. Inti program yang kuikuti ini memang agar kami, para dokter dari Indonesia, bisa belajar dan merasakan pengalaman menjadi dokter di salah satu rumah sakit di negara maju. Menjalani hari-hari layaknya seperti dokter lokal. Tapi itu bukan berarti aku sudah mulai harus menginap di rumah sakit di minggu pertama program ini dimulai, bukan? Timku dari Jakarta sempat mengadakan makan malam bersama dua malam yang lalu untuk berbagi cerita pengalaman masing-masing. Dua kesimpulan yang kudapat dari pertemuan itu; satu, aku beruntung tidak tinggal bersama mereka di mess dekat rumah sakit—mereka terlalu sering berkumpul bersama dan menurutku itu tidak asik—dua, tidak ada mentor yang lebih sadis dari Dr. Weisz. Mungkin karena faktor usia juga, rekan-rekanku terdengar lebih dihargai dan dihormati oleh mentor mereka. Sedangkan aku hanya seperti anak baru yang selalu diremehkan oleh mentorku sendiri. Tapi tentu saja aku tidak mengadukan sikap Dr. Weisz terhadapku pada mereka. Sangat memalukan kalau aku melakukan itu.

"Oh, hai Kaniss."

Aku baru mengadah ketika pintu lift terbuka dan Aiden berada di dalamnya, sendirian.

"Dr. Miles." Dengan sopan aku mengangguk tipis menyapanya sebelum masuk ke dalam lift dan berdiri di sampingnya.

"Dr. Miles?" Sebelah alisnya terangkat menatapku.

Oh, aku sampai lupa kalau aku memang memanggilnya dengan first name basis. Perbedaan kasta yang Logan jelaskan membuatku lupa akan hal itu.

"Maaf, aku hanya berusaha lebih sopan."

Aiden malah tertawa. "Mereka sudah menjelaskan padamu soal perbedaan kasta itu bukan?"

Aku menyeringai mengharapkan makluman. Rupanya soal kasta itu sudah menjadi hal umum di rumah sakit ini.

"Jangan dengarkan mereka. Kau berhak memanggilku dengan nama depanku. Aku memanggilmu Kaniss." Aiden menyeringai tipis. "Kecuali kau mau kupanggil Dr. Farah?"

Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Kaniss lebih baik."

Aiden lagi-lagi tertawa pelan. "Di mana Jones?"

"Dia masih bekerja." Aku tidak tau kalau Aiden sadar aku dekat dengan Logan.

"Senang melihatmu cepat berbaur di rumah sakit ini. Setidaknya aku tidak khawatir akan menemukanmu sendirian di tangga darurat lagi."

Aku terkekeh, malu.

"Seharusnya Emma sudah bisa berhenti mengkhawatirkanmu." Aku manggut-manggut setuju. "Kau belum bertemu dengannya lagi?"

Emma sempat menemaniku makan malam di hari kedua, tapi itu terakhir kali bertemu dengannya. "Tidak. Sepertinya dia sibuk sekali."

"You don't say," gumam Aiden lebih seperti kepada dirinya sendiri. Aku seketika teringat dengan fakta kalau mereka pernah berpacaran. Kenapa aku bisa terkejut ketika Logan memberitahu hal itu? Emma dan Aiden benar-benar terlihat serasi bahkan sebelum aku melihat mereka berdua berdampingan.

"Kau pulang sendirian?"

Pertanyaan Aiden membuyarkan lamunanku, tepat ketika pintu lift terbuka. Kami berdua sama-sama keluar dan berjalan menuju pintu utama.

"Iya."

"Mau kuantar?"

Apa sudah menjadi budaya orang-orang di sini untuk menawari setiap orang yang mereka temui di pintu keluar untuk pulang bersama? "Tidak perlu, apartemenku sangat dekat. Aku sudah biasa berjalan kaki."

"Kau yakin? Udara sangat dingin malam ini."

"Iya. Lagipula aku hanya perlu berjalan lima menit untuk sampai. Tapi terima kasih untuk tawarannya."

Aiden masih menatapku sesaat untuk memastikan kalau aku tidak berubah pikiran. Dan ketika aku tetap diam tersenyum, dia pun mengangguk. "Baiklah. Sampai bertemu besok."

"Sampai bertemu besok."

Aiden pun berjalan menuju parkiran sedangkan aku berjalan menuju trotoar, menunggu agar bisa menyeberang untuk menyusuri jalanan menuju apartemenku. Tidak salah aku memilih untuk tinggal di apartemen itu. Thanks to Emma.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang