Chapter 19 - At A Loss For Words

41.5K 3.7K 79
                                    

"Gue udah telat. Gue mesti ke rumah sakit," tolakku ketus. Kepalaku semakin berdenyut kencang. Apa sebaiknya aku tidak kerja hari ini?

"Just for a while." Dia menatap lantai. "Please."

Aku cukup syok melihat Ezra terdengar segusar ini. Sejahat apapun Ezra terhadapku, aku tidak tega melihatnya seperti ini.

"Oke, tapi gue ga bisa lama-lama," ucapku masih dengan berusaha terdengar ketus.

Ezra melepaskan tangannya lalu berjalan dan kembali duduk di sofa. Aku mengikutinya, dan duduk menghadapnya. Aku sadar dia sangat serius dan jantungku mulai berpacu menunggu apa yang mau dikatakannya.

Ezra masih tidak berani menatapku. Dia gugup. Tapi kenapa?

"I want to apologize," Ezra mulai berbicara. Aku menarik nafas tajam. "For what I told Emma about you, I'm sorry. Gue ngomong gitu cuma supaya Emma berhenti ikut campur soal kita. I didn't mean it."

"All of it?"

Ezra masih tidak mau melihat wajahku. "Well, most of it, yeah."

"Most of it?" nada suaraku mulai naik.

Ezra berdecak. "Well, I can't lie." Dia memijat tengkuknya. "You scared me."

Mulutku sudah terbuka hendak protes, tapi Ezra keburu melanjutkan pidatonya. "But that's not all on you. It's on me too." Aku pun diam, mulai merasa positif dengan apa yang akan Ezra ungkapkan. "I used to be completely secure with myself. Gue brengsek, gue tau. But I would never, ever, going after another man's woman. Never, until you. Gue ga bertingkah normal around you. I don't even know myself. Dan lo tiba-tiba ngasih tau kalo lo udah putus dari tunangan lo. You caught me off guard."

Ezra menggigit bibir bawahnya, gugup. Sulit untukku tetap bertahan emosi sementara pemandangan di hadapanku terlalu memikat. Ezra selalu terlihat percaya diri dengan tatapannya yang menghipnotis, tapi justru ketika dia terlihat vulnerable seperti ini aku dibuatnya terhipnotis. Dan untuk apa yang dikatakannya, aku tidak tau harus merespon apa.

Dengan kedua matanya menatapku, Ezra berkata, "you drives me crazy." Dia menarik nafas sejenak. "And I'm sorry that I left."

Lagi-lagi aku dibuat menarik nafas tajam. Untuk beberapa saat kami saling bertatapan tanpa ada suara. Ini giliranku berbicara, tapi aku tidak tau harus bilang apa. Aku sama sekali tidak menyangka dia akan meminta maaf soal itu.

"Oke..." jawabku akhirnya. "Gue juga minta maaf udah bikin lo takut," lanjutku dalam hati berharap terdengar sarkastik tapi sepertinya gagal.

Ezra tidak mengatakan apa-apa, hanya menunduk menatap meja di antara kami. Merasa suasana semakin canggung, aku pun berdiri. "Gue... gue mesti ke rumah sakit."

Ezra masih diam di posisinya. Aku pun melangkah keluar tanpa sedikit pun melirik ke arahnya lagi karena semakin aku melihat wajahnya, aku merasa semakin lemah.

Tepat sebelum aku membuka pintu, Ezra bersuara, "lo sama Aiden..." aku menoleh ke arahnya yang sedang menatapku kalut, "...are you guys, like, um, a thing now?"

Maunya aku langsung menyentaknya lagi dan berkata kalau itu sama sekali bukan urusannya, tapi melihatnya vulnerable setelah pengakuannya yang mengejutkanku, aku tidak tega. "No," jawabku sambil menggelengkan kepala. Aku tersenyum miris sejenak lalu berbalik hendak keluar.

"Wait."

Apa lagi?

Aku menarik nafas panjang sebelum lagi-lagi berbalik badan. Ezra kali ini sudah berdiri dan berjalan ke arahku. Dia terlihat gugup. Begitu berada di hadapanku, dia berucap, "do you think..." sesaat Ezra menatap lantai, lalu kembali menatapku, "you and I... can work?"

Kedua mataku membelalak tipis. Aku berusaha menelaah ulang apa yang barusan Ezra tanyakan. Pertanyaan macam apa itu? Apa Ezra baru saja memintaku jadi pacarnya? Ini... ini tidak mungkin. Aku tidak akan sekaget ini kalau ini terjadi delapan  bulan yang lalu, tapi sekarang? Apa Ezra sedang mempermainkanku lagi? Tapi kedua mata itu...

"A..." aku benar-benar kehabisan kata-kata.

Untungnya Ezra segera menyela, "lo ga perlu jawab sekarang. I mean..." Ezra benar-benar terlihat gugup. Ezra dan gugup tidak seharusnya berada di satu kalimat. "There's a lot to think about. I'm a jerk, that's oneWell, I used to... I guess. I hope."

Oke, ini terlalu banyak untuk otakku yang mau pecah. Ezra yang mendadak meminta maaf, lalu memintaku jadi pacarnya—sort of, dan sekarang saking gugupnya dia berkicau tidak jelas. What's happening?

"Okay, the thing is, gue mau sebelum lo jawab pertanyaan gue, lo bener-bener tau yang lo hadapin. I'm not a boyfriend material, you can asked my ex who cheated with my Dad." Ezra terkekeh miris sambil menatap lantai. Tidak sekalipun aku berkedip selama menatap wajahnya. Ini serius. Dia benar-benar memintaku jadi pacarnya. 

"I don't do romantic shit thing. You shouldn't expect me putting hundreds of candles while romantic songs played. Or even a surprise. I don't do surprises." Baru ketika kedua matanya terangkat bertemu dengan mataku, Ezra sepertinya sadar kalau dia sudah bicara tidak jelas. Entah mataku yang salah atau benar wajahnya memerah. Dan aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari wajah itu.

Ezra mengambil satu langkah mendekat. "I know I left you. But here you are. And it takes every ounce of me not to kiss you right now."

My heart skip a beat. Literally, skip a beat. Sekarang bagaimana caraku untuk bertahan membantah kalau aku juga ingin menciumnya. Aku pikir aku sudah membuangnya dari hidupku, mendengar namanya saja sudah tidak mau. Tapi detik aku bertemu lagi dengannya, aku tau aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku, mengatakan semua ini...

"I know it's too late, but if there's a chance you think it's not, come back here tonight."

Aku baru sadar aku sudah menganga tipis entah sejak kapan. Aku pun menelan ludah lalu mengangguk kaku. Ezra tersenyum tipis. Masih dengan wajah plongo dan pikiran penuh, aku membuka pintu dan akhirnya keluar. Begitu pintunya kututup, aku memegang jantungku sendiri.

Apa yang baru saja terjadi?

CollidedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora