Chapter 4 - All Prepared

49K 4.8K 59
                                    

Aku diterima untuk bergabung dengan para intern di bidang surgery di NYU Langone teaching hospital selama tiga bulan. Aku yakin Emma ada sangkut pautnya dengan ini karena tidak semudah itu untuk diterima dalam program tersebut karena hanya ada satu orang dari tiap residensi yang terpilih. Dan aku baru enam bulan berada di departemen bedah. Aku sadar orang-orang membicarakanku di balik punggungku. Tapi sudahlah, aku tidak peduli. Yang penting aku berangkat ke New York.

Meminta izin bunda dan ayah juga bukan hal yang sulit. Mungkin karena aku bukan seperti meminta izin, melainkan memberitahu kalau aku akan berangkat ke New York mewakili rumah sakitku untuk bergabung dengan program mereka selama tiga bulan. Berhubung hal ini memang baik untuk karirku, bunda dan ayah tentu saja bangga dan membantuku dalam mengurusi visa dan lain sebagainya. Hanya ada satu syarat yang mereka berikan; aku harus sudah di Jakarta ketika mas Adam menikah. Tidak masalah. Yang kuhindari hanya pernikahan Sasha, tentu saja aku harus hadir di pernikahan kakakku sendiri. Lagipula mas Adam akan menikah jauh setelah program di NYU Langone selesai.

Sebulan terakhir sebelum jadwal keberangkatan, Emma datang lagi ke Jakarta. Kami janjian bertemu untuk membahas soal tempat tinggalku di sana. Emma bilang dia tau tempat murah dan layak dekat dengan rumah sakit. Aku tau tidak seharusnya aku merepotkannya, tapi aku tidak kenal siapa-siapa di sana. Aku juga tidak berencana tinggal bersama dengan dokter-dokter lain yang berangkat dari rumah sakitku. Tidak ada yang kukenal dengan baik. Lagipula Emma yang ngotot ingin membantuku. Aku tidak mau terlalu ambil pusing.

"Ah, ini akan sangat menyenangkan! Walaupun bangunan surgery dan oncology berbeda, kita bisa sering bertemu untuk kopi seperti ini!"

Aku hanya tersenyum. Aku tidak mengerti kenapa Emma sesemangat ini. Dia bahkan lebih bersemangat daripada diriku sendiri.

"Kamu bisa berjalan kaki dari apartemen ke rumah sakit. Dan di sekitarnya banyak tempat makan dan kafe. Tempatnya sangat strategis. Kamu pasti suka."

Aku kembali memperhatikan layar iPad milik Emma. Dia terus-terusan mempromosikan apartemen studio ini. Memang tempatnya terlihat sangat bagus, tapi aku tidak yakin sesuai dengan budget-ku.

"Studio apartment bukannya mahal ya?"

"Tidak untuk yang satu ini. Aku bisa membantumu mendapat diskon karena dulu aku pernah tinggal di sana. Tempat ini dulunya sebuah townhouse, tapi dirubah oleh pemiliknya untuk dijadikan apartemen."

Bibirku mengerut berfikir. Biarpun dengan diskon, aku tidak yakin harganya sesuai.

Sepertinya Emma menyadari keraguanku, dia langsung menyebut harga sewa apartemen tersebut yang suprisingly bukan hanya sesuai dengan bajetku, tapi justru lebih murah dari itu.

"Hah? Ini beneran apartemen kayak gini harganya segitu?" aku tidak bisa percaya.

"Beneran."

"Furnished?"

"Fully furnished. Kamu cuma perlu groceries and your stuff."

"Wow." Mataku membulat takjub. "Kok bisa murah banget?"

"Kebetulan aku kenal sama yang punya. This is a really great deal."

"It is," gumamku sambil memperhatikan foto-foto apartemen tersebut. "Masih ada yang kosong?" Aku tidak yakin apartemen seperti ini, dengan harga seperti itu, dan di daerah strategis, masih memiliki slot kosong.

"Masih," jawabnya cepat. "Untuk apa aku mempromosikan tempat kalau aku belum yakin ada yang kosong?"

Benar juga. "Baiklah."

"Baiklah?"

"Iya, aku ambil apartemen ini."

Emma memekik girang. Aku pun mendengus tertawa sambil geleng-geleng kepala. Aku selalu lupa kalau dia empat tahun lebih tua dariku.

"Ingat, March masih terasa winter. Jadi jangan lupa siapkan pakaian tebal. Winter di New York bisa sangat menyiksa."

Aku manggut-manggut. Winter? Sepertinya aku benar akan terbang ke New York. Rasanya aku tidak akan percaya hal itu sampai aku menginjakan kaki di tanah New York.

---

Aku berangkat awal bulan Maret bersama-sama dengan tim rumah sakit yang akan mengikuti program ini. Bunda dan ayah mengantarkanku ke bandara. Beberapa hari sebelum keberangkatan, aku baru mulai bersemangat karena baru sadar kalau aku akan benar-benar berangkat. Aku belum pernah pergi lebih jauh dari Hongkong, dan sekarang aku akan menaiki dua puluh tiga jam penerbangan menuju bandara JFK, New York. Selama tiga hari berturut-turut bunda menemaniku berbelanja kebutuhanku di sana. Pakaian hangat terutama.

"Inget ya, Kaniss. Sampai sana langsung telfon Bunda. Kamu jangan sampe ilang. Jangan jauh-jauh dari grup kamu."

Aku tertawa. "Bun, Kaniss udah mau dua puluh tujuh, inget?" Jujur, aku malu dengan rekan-rekan dokterku yang lain. Mereka rata-rata sudah bukan diantar orang tua, melainkan pasangan hidup masing-masing. Malah ada yang diantar anak mereka yang sudah besar.

Terakhir kali Emma ke Jakarta, dia sempat bertemu bunda karena bunda ingin berkenalan dengan orang yang sudah membuatku memilih untuk tinggal di apartemen sendirian. Padahal aku sudah bilang pada bunda kalau itu keputusanku pribadi. Emma hanya membantu mencarikan apartemen. Tapi bunda tetap tidak mau tau. Dia merasa Emma akan menjadi orang yang bertanggungjawab atasku di sana. Untungnya Emma tidak risih maupun keberatan. If anything else, justru dia senang.

Bunda mengecup pipiku sekali lagi, lalu ayah, baru lah aku mereka lepaskan masuk ke dalam ruang tunggu bandara. For God's sake, aku cuma pergi tiga bulan. Ayah tidak berlebihan, tapi bunda bersikap seolah aku tidak akan pulang untuk bertahun-tahun lamanya. Mereka juga seharusnya sudah terbiasa aku tinggalkan dalam waktu lama seperti ketika aku tinggal di Bali.

Tapi ini bukan lagi Bali. Ini New York. Ini benua yang berbeda. Dua puluh tiga jam penerbangan.

This is gonna be awesome.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang