Chapter 57 - Not To Her

24.3K 2.5K 17
                                    

EZRA

"Bagaimana rencanamu pergi ke Peru?" tanya uncle Daryl. Dia yang selalu rajin menemaniku semenjak aku menginap di Katonah seminggu ini.

"Tidak jadi," jawabku sambil menenggak minuman alkohol gelas ke dua di Jimmy's bar langgananku dan uncle Daryl. "Sepertinya aku langsung ke London."

And yet I'm still here. Setelah seminggu luntang-lantung tidak jelas di New York, aku memutuskan untuk mencari udara segar di Katonah. Kupikir aku akan bisa merasa lebih baik, tapi nyatanya tidak.

This whole thing is even more messed up that I thought it'd be. This time, I have no idea what to do. Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri untuk bicara dengan Kaniss, meminta maaf—because I should, right? Tapi aku tidak yakin Kaniss mau melihatku lagi. Yang kulakukan padanya sudah jauh melebihi batas—aku mengusirnya for God's sake. Jadi kurasa aku sudah tidak ada kesempatan. Kaniss will be better off without me.

And yet I'm still here. Aku belum juga berhasil mengumpulkan keniatan untuk keluar dari New York seperti rencanaku sebelum mengetahui keberadaan Kaniss di negara ini. Seharusnya aku sudah menapakkan langkahku ke Peru dan menjelajahi Amerika Selatan sebelum kembali ke London untuk urusan pekerjaan. Seharusnya aku tidak luntang-lantung tidak jelas di New York. I have to go. I have to travel.

But I just can't. Somehow I know, if I choose to leave again this time, that'll be it. Kalau aku pergi, aku tidak akan bertemu Kaniss lagi. And that thought alone pains me.

Fuck.

"Menyeramkan sekali, bukan?"

Aku mengadah, sadar kalau uncle Daryl bicara denganku, tapi matanya tertuju pada layar tv di atas rak minuman. Aku ikut melihat apa yang dia dan seisi bar ini perhatikan. Berita soal pertokoan yang hancur karena tertimpa crane. Lokasinya di Manhattan, tidak terlalu jauh dari apartemenku.

"Yeah," sahutku pelan, tidak terlalu tertarik.

"Sudah terhitung lebih dari tiga puluh korban jiwa dalam kejadian ini," terang bartender di depan kami.

"Sebaiknya aku menelfon teman-temanku di kota, memastikan kalau mereka baik-baik saja," ucap uncle Daryl sambil mengeluarkan ponselnya. Aku baru sadar kalau orang-orang di sekitar kami juga melakukan hal yang sama, menelfon memastikan tidak ada yang mereka kenal menjadi korban.

Aku mendengus. "Aku pergi."

"Hei, kau mau kemana?" tanya uncle Daryl masih dengan ponselnya di telinga.

"Pulang," jawabku singkat sudah membelakanginya berjalan keluar bar.

Berbeda dengan keadaan di dalam, di luar bar terasa hening. Memang Katonah selalu hening, tapi kali ini terasa lebih hening dari biasanya. Matahari baru saja tenggelam dan keheningan ini membuat cuaca terasa lebih dingin.

Aku mengeratkan jaketku ketika ponselku berbunyi. Ada telfon dari nomer yang tidak kukenal.

"Halo?"

"Dengan Mr. Reinhard?" tanya suara pria yang tidak terdengar familiar.

"Iya, ini siapa?"

"Saya dari NYU Langone Hospital." Dahiku otomatis mengernyit dalam mendengar informasi ini. Jantungku mulai berpacu cepat, tapi aku tidak mau berfikir yang tidak-tidak. "Saya menelfon untuk mengabarkan kalau Dr. Kanissa Farah mengalami insiden ketika menyelamatkan korban bangunan runtuh di Manhattan. Kami menghubungi anda sebagai kontak daruratnya."

Hah?

Pandanganku mulai buram dan kedua kakiku lemas. "Bagaimana keadaannya?" No, no, no, no, she can't be...

"Belum bisa dipastikan. Untuk sekarang Dr. Farah masih di tempat kejadian. Terakhir yang kami tau, tim masih berusaha mengevakuasi Dr. Farah."

Pria yang menelfonku masih sedang berbicara ketika aku matikan telfonnya. Secepat mungkin aku berlari menuju mobilku dan dengan pikiran kalut kutancapkan gas menuju tempat kejadian, tidak sadar berapa lampu merah yang kuterobos.

No, no, no, this can't be happening... not to her, please no.

CollidedWhere stories live. Discover now