Chapter 42 - Move In With Me

24.6K 2.4K 12
                                    

"Kamu yakin ga mau tidur di sini? Banyak kamar kosong," bujuk tante Fira ketika aku dan Ezra pamit pulang.

Aku memandangi rumah ini sekali lagi. Tentu saja ada banyak kamar kosong. Kami sedang berdiri dekat dengan kolam renang, dan sementara anak-anak kecil sudah masuk kamar, para orang dewasa kembali berkumpul di pekarangan menikmati bir dan snack malam. Sebenarnya aku sangat tertarik dengan tawaran tante Fira, tapi besok aku kerja dan Ezra sudah merengek mau pulang.

"Lain kali, ya, Tante. Besok saya kerja."

Tante Fira tersenyum maklum walaupun terlihat kecewa. Giliran Emma yang memelukku. "Terima kasih ya, sudah mau datang." Aku tersenyum. "Aku usahakan lebih sering mengunjungi kalian di apartemen."

"Please don't," sela Ezra.

Aku reflek memelototinya, dan Emma dan tante Fira tertawa.

"Alright, big guy," ledek Emma. Dia kembali menoleh kepadaku. "Sampaikan salamku buat Aiden, ya."

Somehow aku tau Emma sengaja mengatakan itu. Begitu kulirik Ezra, dia sudah dengan sadis menatap Emma tajam. Aku tidak mengerti, ada apa antara Ezra dan Aiden? Kenapa kesannya Ezra sangat antipati dengan pria baik itu. Apa mereka dulu musuhan? Aku sama sekali tidak mengerti.

"Let's go." Mood Ezra mendadak tidak enak.

Aku tersenyum tidak enak pada tante Fira dan Emma. "Makasih banyak, ya."

Tante Fira mengangguk anggun. "Datang aja ke sini kapan pun kamu mau." Beliau menoleh kepada anaknya si-grumpy. "Kamu juga. Lagi cuti, kan? Stay here once in while sebelum kamu kembali ke London."

Ezra hanya mengangkat kedua alisnya singkat lalu mencium pipi mamanya. Benar, juga. Kenapa Ezra ga tinggal di sini? Well, sekarang mungkin karena ada aku. Tapi sebelum aku muncul, kenapa dia tidak menginap di sini? Dia lagi liburan, kan? Kalau aku jadi dia, definitely ga bakal ninggalin tempat kayak gini.

Semua rasa penasaranku kutanyakan di perjalanan pulang.

"I like that house so much, tapi gue lebih prefer that apartment because it's mine."

Jawaban Ezra memang ada poinnya, tapi aku tetap tidak mengerti. Studio apartemen yang kami tempati memang bagus, tapi tidak ada apa-apanya dengan rumah itu. Sudah begitu, aku tidak mengerti kenapa Ezra mau tinggal di apartemen semurah itu padahal aku yakin dia mampu lebih. What's so special about that apartment?

"I see. Gue juga pasti lebih nyaman tinggal di tempat yang gue beli pake uang sendiri." Tidak juga, sih. Tapi, ya sudah lah, Ezra pasti punya alasan sendiri.

Sembari menatap jalanan di depan, Ezra mengangkat bahunya ringan. "Well, I didn't buy it. My grandpa gave it to me. It was one of his first investments."

"Hah? Kakek lo pernah tinggal di apartemen itu?" Aku sama sekali tidak bisa membayangkan hal itu.

"It used to be a townhouse. Gue yang rebuilt it into studio apartment. You know, for business opportunity. Dari pada kosong ga ada yang nempatin."

"Wait, what?!" seruku kaget. "The whole building is yours?!"

Ezra malah menoleh ke arahku dengan wajah seolah reaksiku bodoh. "You didn't know?" tanyanya ringan. "Don't say you're paying the rent?"

"Of course!" seruku. Aku tentu saja tidak protes soal biaya sewanya. Aku hanya kaget aku baru tau sekarang.

Dan Ezra tertawa puas. "Seriously?" Aku merengut kesal. "Gue pikir Emma ngasih tau, makanya lo tinggal di situ."

"Maksud lo?" rasa kesalku berubah emosi. Enak aja, dia pikir aku mau tinggal gratisan? Lagipula kalau di masa itu Emma memberitahuku informasi ini, tidak mungkin aku mau tinggal di situ.

"I'm sorry, I'm sorry." Ezra berusaha mengontrol tawanya, tapi ekspresinya justru membuatku semakin kesal. "Gue tau lo ga bakal mau tinggal di situ kalau tau itu punya gue. I'm sure that's why Emma hide the fact and letting you pay."

Ezra benar, tapi tetap saja aku tidak setuju dengan cara Emma. Pantas dia benar-benar mendorongku untuk tinggal di sana. Apa memang sudah rencananya untuk mempertemukanku dengan adiknya?

"How much you're paying?"

Aku berdecak sambil membuang muka. "Mau ngebalikin? No way."

"Gue bukan mau ngebalikin," ujarnya sambil tertawa. "Cuma pengen tau aja."

Masih dengan ekspresi kesal, aku menyebutkan nominal yang kubayar untuk tiga bulan tinggal di apartemen itu.

"Oh." Ezra manggut-manggut.

"Oh apa?" hardikku.

"Nevermind."

"Apaan?"

Ezra melirik ke arahku sejenak. "Gue kira Emma letting you pay the full fee. She's not that evil after all."

Kedua alisku menyatu tajam. "Emangnya berapa rent-fee aslinya?"

Lagi-lagi Ezra melirik ke arahku, seperti mengobservasi akan seperti apa aku bereaksi. "It's much more."

"Berapa?" paksaku. Aku tidak akan diam sampai mendapatkan nominal yang sebenarnya. Aku tidak mau dianggap mengambil kesempatan tinggal dengan harga murah. Aku punya harga diri.

"It's what you're paying..." Ezra berdesis, "...times four."

"What?!" Ga mungkin biaya sewanya semahal itu. "Lo serius?!"

Ezra mengangkat kedua alisnya mengiyakan.

Shit. Sekarang bagaimana aku bisa berlagak bilang kalau aku akan membayar sisanya? Aku tidak menyangka harga aslinya semahal itu. Pantas saja Logan sangat sirik denganku bisa tinggal di apartemen seperti itu dengan harga serendah itu. I'm doomed.

"Ga usah dipikirin," ujar Ezra melihatku syok. "You aren't supposed to pay in the first place anyway."

"Engga," bantahku. "Gue bakal marah pokoknya kalo lo sampe ngebalikin duit gue." Aku menatap Ezra memastikan kalau dia mengerti ucapanku. "Maunya gue bayar sisanya, tapi gila mahal banget."

Ezra terkekeh geli. "I have another solution."

"What?"

"Move in with me."

"Ngaco lo," reflekku cepat. Memang dia ngaco.

"Why? You're practically lives in my apartment. It's efficient. Lo ga perlu bolak-balik ambil baju or anything."

Memang aku lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen Ezra sekarang-sekarang ini, tapi bukan berarti aku mau merelakan apartemenku begitu saja. Dan sekarang aku tau the whole building is his, aku berfikir untuk mencari tempat lain untuk menjadi 'zona'-ku. Bagaimana kalau sesuatu terjadi, dan aku tidak punya tempat tinggal sendiri?

"Nope. I'm keeping my place," tolakku tegas.

"Alright, relax." Dia mengernyitkan dahinya sambil mendengus tertawa. "Just letting you know the offer is on the table."

Aku mendengus tersenyum melirik Ezra di sampingku. "Alright."

CollidedWhere stories live. Discover now