Chapter 26 - First Date

31.7K 3.1K 10
                                    

Aiden salah.

Pasienku—pasien Dr. Weisz—meninggal di meja operasi. Walaupun aku hanya berdiri menyimak tanpa sama sekali menyentuh pasien, tetap saja aku merasa tidak enak. Apalagi karena itu mood Dr. Weisz berubah semakin buruk dan mood -nya selalu berbanding lurus dengan suasana hariku.

"Tough day, huh?"

Aku baru bisa pulang jam delapan malam dan sesuai dengan janji Ezra, dia menjemputku di rumah sakit.

Aku menoleh ke arahnya yang sedang menyetir. Dia sudah berganti pakaian dari tadi pagi. Sama kasualnya, t-shirt, celana jins, dan jaket.

"Hm," jawabku. "Pasien gue meninggal."

Ezra sekilas menoleh ke arahku, tidak terlihat prihatin. Dia mengangkat bahunya santai. "You'll get used to it. Pasien Emma meninggal tiap saat."

"Ck!" hardikku sambil melotot. Ezra sama sekali tidak ada empatinya jadi orang.

Dan bukannya meminta maaf, Ezra malah tertawa. "Itu salahnya juga ngambil oncology. Cancer patient died all the time." Aku hanya bisa geleng-geleng kepala tidak habis pikir. "Lo surgeon kan?"

Aku mengangkat alisku singkat. "Belum. Masih on the way."

"Lo mau jadi surgeon apa? Better not oncology."

Aku mengigit bibir bawahku berfikir. Aku belum memutuskan mengambil spesialis bedah apa, aku masih di tahun pertamaku. "Belom tau. Bedah saraf kayaknya keren, tapi mentor gue dokter bedah saraf yang bikin gue ilfeel sama saraf." Tiba-tiba Aiden terlintas di benakku. "Bedah jantung mungkin."

Ezra hanya manggut-manggut dengan kedua ujung bibirnya ditekuk ke bawah. Aku tidak berhenti memperhatikan wajahnya. Aku tidak tau apa-apa soalnya. Setidaknya tidak sebanyak dia tau soalku. Dia tau detail masa laluku, he have witnessed my breakdown. Well, dia pernah curhat soal masa lalunya dan kenapa dia berhenti jadi pengacara, tapi itu tidak cukup.

"Stop staring at me. It's getting creepy."

Aku mendengus tertawa lalu memperhatikan jalan di depan. "Kita mau kemana?"

Ezra sekali lagi menoleh singkat ke arahku dengan seringai tipisnya. "Gue sebut juga lo ga bakal tau."

---

Dan kami makan burger di Central Park.

"Central Park sih gue tau. Udah pernah juga," ucapku begitu kami menemukan bangku kosong dan duduk di sana.

Ezra menyerahkan bungkusan burger yang tadi kami beli di perjalanan ke sini. Di kios kecil pinggir jalan. "Sambil makan burger ini malem-malem?"

"Engga sih."

Ezra mengangkat bahunya dengan ekspresi menangnya. "You aren't New Yorker before tasting this burger." Ezra mengangkat burger miliknya lalu menyuapnya. "I've traveled the world, this is the best," ucapnya dengan mulut penuh. "Hmm."

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkahnya. Awalnya aku tidak percaya, kupikir dia berlebihan. Tapi setelah satu gigitan besar... damn he's right. "Wow," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku yang penuh.

Ezra tertawa. "Told ya."

"Wow." Aku pun ikut tertawa.

Berkonsentrasi menikmati burger ini, aku diam selama tiga gigitan pertama. Tapi setelah terbiasa dengan rasa burger yang luar biasa ini, aku mulai kembali berbicara. "Lo ngapain aja sekarang?"

"Hm?" Ezra menoleh ke arahku yang duduk di samping kirinya. "Doing things."

Mataku menyipit menatapnya. Jawaban macam apa itu? "Lo balik jadi pengacara?"

"Not really," Ezra menelan gigitan besar burgernya. "Gue ngurusin perusahaan bokap. But good thing I'm a lawyer, gue ga perlu hire law consultant. They are way too expensive and bunch of idiots."

Aku mendengus sambil tersenyum sinis. Ezra tidak berubah. "Emma bilang lo di London."

"Iya," jawabnya ringan. "Sebelum meninggal bokap branching out ke London, jadi banyak yang harus diurus di sana sebelum bener-bener di-handle sama PIC." Ezra menoleh ke arahku. "Person In Charge," tambahnya takut aku tidak mengerti.

"Oh," aku manggut-manggut. "Udah kelar sama urusan di London?" yang mau kutanyakan sebenarnya apa dia akan kembali ke London dalam waktu dekat.

"Dikit lagi. But I decided to take a break. I haven't travelled for awhile. Tadinya rencana gue sebentar aja di New York terus ke Peru sebelum balik ke London."

"Tadinya?"

Ezra menoleh kepadaku, masih dengan wajah santainya menikmati burger yang hampir habis. "Well, there's you now."

"Jadi?" Aku tidak mengerti, bukankah seharusnya ini pembicaraan yang cukup serius? Ezra terlihat dan terdengar sangat santai seperti biasa.

"Jadi... I don't know, haven't figure it out." Dia mengangkat bahunya ringan. "But I'll stick around. Gue bisa postpone Peru." Dia menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Unless lo mau ikut."

Hah?

Dan dia tertawa. "Just kidding. I know you can't leave the program."

Sungguh, Ezra ajaib. Bisa dibilang ini official first date kami, dan dia sudah menawariku traveling ke luar negeri? Aku tau dia bercanda, tapi dari caranya sesantai itu mengajakku, kemungkinan itu ada. Sangat ada. Sepertinya aku tidak tau apa yang kuhadapi dengan memutuskan untuk berpacaran dengannya.

Apa aku takut? Tidak. To be honest, this is exciting.

---

Setelah makan burger di Central Park, aku menemaninya mencari barang di salah satu toko musik tua. Aku baru tau kalau ternyata Ezra pengoleksi vinyl—pantas di rak di dinding apartemennya penuh dengan koleksi vinyl.

Oke, satu hal lain yang baru kutau soal Ezra. This is a good start.

Pulangnya, Ezra menarikku masuk ke apartemennya ketika aku hendak berjalan menuju pintu apartemenku sendiri. Kami berciuman, tapi sebelum terlalu hangat, aku sudah menarik diri. Seperti malam sebelumnya, kami end up tidur bersama di apartemennya. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan kami beberapa malam selanjutnya. Dan sebelum kusadari, ketika aku bertugas on call dan menginap di rumah sakit, aku kesulitan tidur sendirian.

This only means one thing; in just a short period of time, I'm already attached to him.

CollidedOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz