Chapter 65 - This Is It. It's Over.

26.9K 2.5K 42
                                    

KANISS

Aku membuang wajahku dari Ezra, tidak sanggup melihatnya memohon seperti ini. Yang membuat ini sangat berat adalah kenyataan kalau aku percaya padanya. Sebagaimanapun sakit yang kurasakan pagi itu, aku tau Ezra benar-benar menyesal. Entahlah, aku hanya tau.

Dan satu poin penting, technically I've broken up with him at that time. Aku sendiri yang memutuskan hubungan kami. Jadi kalau dibilang Ezra berselingkuh, secara teknis itu salah.

Lihat seberapa kacaunya hubungan ini? Setelah apa yang Ezra lakukan, aku masih membelanya melawan perasaanku sendiri. Ini tidak sehat.

Aku harus segera menegaskan padanya kalau kami berbeda. Ini harus segera diakhiri. Tidak baik aku membiarkan Ezra tersiksa merasa tindakannya yang menyebabkan semua ini. Prinsipnya lah yang menjadi masalah utamaku.

Kupikir tadinya aku tidak perlu menjelaskan masalah ini padanya. Kami sudah putus. Kupikir Ezra juga sudah menyerah. Kupikir dia tidak akan lagi muncul di hadapanku setelah aku memintanya di rumah sakit hari itu. Bukan seperti ini. Memohon agar kami kembali bersama. Mengatakan kalau dia merindukanku, kalau yang dia mau hanya aku. Aku tidak pernah melihat Ezra semenyedihkan ini. And it hurts me.

"Ez, this is too complicated. What we have is too complicated," ucapku, memberanikan diri mengadah menatapnya.

Ezra menatapku tidak percaya. "Complicated apa?" Aku tau dia mau berteriak, tapi tidak dia lakukan. "It's simple. Kasih gue kesempatan, gue ga bakal ngecewain lo. Never again I mistrust you. I'll do anything, anything, for you to understand that I love you. I... fucking... love... you." Kalimat terakhir Ezra ucapkan dengan penuh penekanan.

Melihatnya seperti ini membuatku kehilangan kata-kata sesaat. Tapi aku tidak boleh lemah. "Ini udah bukan masalah lo sama Nadine. Kita beda, Ez. We're not for each other."

Ezra terlihat semakin bingung. "What are you talking about?"

Kualihkan padanganku dari kedua matanya. Aku tidak tau harus bagaimana menjelaskannya. "Lo lebih pantes sama Nadine, bukan gue." I know I said it wrong. Seharusnya aku mencari kalimat yang lebih baik.

Mendengar ucapan bodohku, Ezra menjambak rambutnya sendiri. Ketika dia mengadah menatapku, bisa kulihat matanya berkaca-kaca. Jantungku detik itu juga seakan diremas.

"Why are you doing this?" tanyanya lirih. "Do you love me or not?"

I DO! SO MUCH! Teriakku dalam hati. Mungkin sebaiknya aku berbohong dan berkata kalau aku tidak mencintainya dan berharap dia benar-benar pergi dari hidupku. Mungkin itu akan mempermudah semuanya. Tapi nyatanya kalimat itu tercekat di tenggorokanku. Aku tidak sanggup untuk sekedar berkata tidak. Aku mengadah menatap atap dapur, tidak mau air mataku jatuh.

"I do," jawabku akhirnya. "Tapi gue ga bisa ngasih yang lo mau."

Kening Ezra mengernyit tipis, tapi aku bisa lihat ada sedikit rasa lega di matanya karena aku mengaku masih mencintainya. "What? Sex? Kaniss, gue bukan binatang. Gue bisa nunggu sampe lo siap. I'm sorry for how I behave that night. Gue ga akan pernah maksa lagi. I want you. And I'll wait for however long it'll takes." Ezra sudah terlihat lebih tenang. Dia melangkah semakin dekat. Dia mengulurkan sebelah tangannya berniat meraih wajahku, tapi aku menolak.

"Gue ga bakal pernah siap kalo sama lo," ucapku tegas. Aku lelah. Ini harus segera berakhir.

Kening Ezra kembali mengernyit heran. Dia menurunkan tangannya yang tadi menggantung karena aku menjauhkan wajahku dari sentuhannya. "Maksud lo?" tanyanya pelan.

Aku hanya menatap matanya. Aku yakin dia tau apa yang kumaksud. Aku yakin dia sudah tau sebelum ini. Dia hanya tidak mau percaya, atau berharap aku tidak seserius ini soal itu.

Benar saja. Ekspresi bingung Ezra memudar. "You know I don't believe in marriage," ucapnya lebih seperti berbisik. 

Kecewa itu pahit, sangat. "I do."

Ezra menatapku tidak percaya. "Why? It's just a status."

"Buat lo iya, buat gue engga." Kecewa yang kurasakan membuatku seketika ketus.

"Yea but that status will destroy our relationship, or any relationship. Oh, God." Ezra menarik nafas berat sambil membuang wajahnya dariku sesaat. "Bukannya gue udah bilang dari awal kalo gue ga kayak cowok-cowok lo sebelumnya? Bukannya lo udah tau marriage is just never for me."

Oh. Jadi ini sekarang salahku? Iya, memang benar ini salahku. Seharusnya aku tidak langsung terbuai dengan perasaan ini. Seharusnya aku tidak pernah menerimanya jadi pacarku. "Lo bener. Harusnya kita ga pernah pacaran," ucapku ketus.

Ezra tidak menggubris ucapanku. Dia terlihat masih dalam transisi mempercayai permasalahan yang sedang dia hadapi. Yang sedang kami hadapi. "What if I'm not the same after I marry you."

Bahkan aku bisa lihat raut wajah Ezra berubah begitu dia mengatakan 'I marry you'. Aku mendengus mengasihani diriku sendiri. Ini menyedihkan sekaligus memalukan.

"You mean what if I'm not the same after you marry me?" sindirku sinis. Ezra diam. "Just accept it, kita beda. We're not for each other," ucapku jengah.

"No, I won't," bantah Ezra tegas. "Kenapa lo gini? Lo bahkan ga religius."

"Ini prinsip gue, Ez. Ini yang bikin kita beda. Kita dididik dengan cara yang beda, di lingkungan yang beda. Gue bukan minta lo nikahin gue secepatnya. Gue cuma mau kalo kemungkinan itu ada. Kalo masa depan sama lo itu ada."

"Marriage sama masa depan itu bukan hal yang sama. Dan gue mau hal yang sama. Gue mau masa depan sama lo juga. Can't you see that?"

"Lo mau punya anak?" tantangku. Entah bagaimana tiba-tiba aku seberani ini.

Ezra tidak langsung menjawab. "I don't know, maybe."

Aku tersenyum tipis. Senyum miris. "Ez, percaya sama gue, this is for the best. Lebih baik sekarang daripada lebih nyakitin lagi nantinya."

Ezra tetap memasang wajah protesnya. "Why are you so sure? Mungkin suatu saat lo berubah pikiran. Kita bisa cari jalan tengah."

Aku hanya menatapnya, tau kalau dia sendiri tidak meyakini apa yang dia ucapkan.

"Mungkin gue yang berubah," ucapnya lagi. Dan kali ini lebih tidak yakin.

Sebelum aku mengatakan sesuatu, Logan keluar dari kamarnya. Aku bahkan lupa kalau masih ada Logan di apartemen ini. Aku jadi merasa tidak enak. Apa dia mendengar percakapan kami? Kalau iya, apa dia mengerti? Aku harap tidak. Hanya di sini aku merasa malu mempunyai prinsip seperti ini.

"Maaf, aku bukannya mau mengganggu, tapi aku harus ke rumah sakit," ucap Logan. Dia sudah bersiap berangkat kerja.

Aku mengangguk; anggukan permohonan maaf sudah membawa drama ini ke apartemennya. Logan menatapku penuh makluman.

"Mau berangkat bareng?" tanyanya. Logan tau sebenarnya aku masih diijinkan beristirahat sehari lagi, tapi aku yakin dia hanya bermaksud untuk menyelamatkanku dari situasi ini.

Aku tidak tau apa aku mau diselamatkan atau tidak.

Ezra yang menjawab kebingunganku. Tanpa mengatakan apa-apa, dia berjalan cepat menuju kamarku. Aku dan Logan saling berpandangan bingung dan tegang. Tak lama, Ezra kembali dengan sudah mengenakan jaket dan sepatunya.

"Terima kasih untuk tumpangannya," ucap Ezra dingin pada Logan, bukan padaku.

Logan hanya mengangguk sementara aku terdiam melihat sikapnya.

Tanpa menoleh sedikit ke arahku sedikit pun, Ezra melangkah keluar dari apartemen ini.

Meskipun ini yang kumau, jantungku tetap terasa perih. Terlebih, aku punya perasaan cukup kuat kalau aku tidak akan bertemu Ezra lagi.

This is it. It's over.

CollidedWhere stories live. Discover now