Chapter 5 - Dr. Farah?

46.4K 4.7K 6
                                    

"You like it?"

Aku berdiri di tengah-tengah studio apartemen yang kusewa dan Emma sudah berada di balik meja bar dapur. Gedung apartemen ini berlantai empat, dan apartemen yang kusewa berada di lantai tiga. Gedungnya memang tidak besar, hanya dua apartemen saling berhadapan di tiap lantainya, tapi dari bentuknya aku tau ini tidak seharusnya murah. Apalagi isi dalam studio apartemen ini. Bukannya mewah dan modern, tapi klasik. Berdinding batu bata merah, berlantai semen yang dilapisi karpet bulu tebal di beberapa bagian, dan beragam ornamen tua menghiasi ruangan yang kutaksir ukurannya enam kali enam meter—belum termasuk kamar mandi dan satu pintu menuju ruangan yang belum kuperiksa. Mungkin karena dulunya ini adalah townhouse, suasananya terasa lebih homey dan nyaman.

Aku manggut-manggut. "Aku masih belum percaya harga apartemen ini semurah itu."

Emma tertawa. "Jangan kaget, di New York ada banyak hal yang unbelievable."

"Iya, salah satunya cuacanya," timpalku. Emma semakin tertawa. Di perjalanan tadi dia bilang kalau ini sudah lebih hangat karena penghujung musim dingin, tapi bagiku cuaca di New York terlalu dingin. Jauh lebih dingin dari perkiraanku. Baru sampai di sini, aku sudah disambut salju, bayangkan itu. Ini bukan pertama kalinya aku melihat salju, jadi aku tidak sesumringah itu melihat kota berubah putih. Tapi sungguh, New York sangat indah. Dan aku baru melakukan perjalanan dari bandara ke apartemen. Aku tidak sabar ingin berkeliling melihat keadaan sebelum program internship dimulai besok.

"Tidak perlu khawatir, apartemen ini memiliki penghangat ruangan otomatis."

Aku manggut-manggut melihat sesuatu seperti alarm menempel di dinding dekat dengan TV. Kurasa itu mesin pengatur temperatur ruangan ini. "Apa kegiatanmu hari ini?"

Emma memeriksa jam tangannya. Ini masih pagi, aku tau. "Aku harus kembali ke rumah sakit. Sepertinya seharian aku akan berada di sana. Sebaiknya kamu beristirahat. Perjalananmu sangat panjang dan besok programmu akan dimulai. Apa kamu tidak capek?"

Ditanya seperti ini aku baru merasa lelah. Aku mengantuk. Tentu saja aku mengalami jetlagged. "Iya, agak ngantuk, sih."

Emma tersenyum. "Ya sudah, istirahat sana. Nanti siang kamu bisa makan di dekat sini. Ada bakery namanya Alice. Kamu harus coba mushroom soup mereka." Emma membuat bunyi decakan kagum dengan telunjuk dan ibu jarinya membentuk O. "Nanti malam kita bisa makan bersama. Aku akan datang kemari dan kalau cuaca mendukung, aku bisa mengantarmu berkeliling melihat-melihat. Tapi kalau menurutmu terlalu dingin, kita bisa pesan pizza dan makan di sini."

"Sounds good."

Aku mengantar Emma sampai di depan pintu apartemenku. Begitu dia pergi, aku menutup pintu dan menatapi apartemenku. Aku pernah tinggal di Bali, pernah juga tiga bulan di Australia, tapi ini berbeda. Kali ini aku benar-benar sendiri dan sangat jauh dari rumah. Tidak ada siapa pun yang kukenal kecuali Emma dan tim dari rumah sakitku yang tinggalnya lebih dekat dari rumah sakit dan lebih jauh dariku. Aku di New York. Tinggal di apartemenku sendiri.

"Woohoo!" aku berteriak pelan sambil berlari dan loncat ke atas kasur baruku.

Aku di New York!

---

"Dr. Farah."

Aku dan tim rumah sakitku baru saja selesai disambut pihak NYU Langone Medical Centre di ruang konfrensi mereka. Tidak ada yang penting, hanya beberapa sambutan yang diakhiri kepala tim kami, Dr. Ilyas, bersalaman dengan dokter dari NYU Langone, yang sepertinya juga pimpinan mereka. Acara sambutan selesai, kami semua berkumpul menunggu dipanggil oleh tim dari program masing-masing.

Aku masih termenung menunggu namaku disebut ketika sadar orang-orang sedang memperhatikanku.

"Dr. Farah?"

Aku menoleh ke arah dokter wanita paruh baya berkulit gelap tapi bermata biru terang yang sedari tadi bertugas memanggil nama dari papan yang dipeluknya.

"Oh," aku baru sadar kalau namaku yang dipanggilnya. "Cukup panggil aku Kaniss." Aku sengaja menyeringai berusaha mencairkan suasana.

Tapi dokter itu malah menatapku serius sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tipis, tidak menyetujui. Sepertinya aku melakukan kesalahan.

"Kau intern bedah, bukan?" tanyanya kaku, sama sekali tidak terlihat ramah.

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kau ikut denganku. Aku akan menjadi mentormu selama program ini berlangsung."

Aku menelan ludah. Kuharap ini bukan berarti aku sial.


CollidedWhere stories live. Discover now