Chapter 61 - She Wants To See You

26K 2.5K 37
                                    

EZRA

"Hei."

Aku yang sudah tengah menutup mataku berat seketika tersentak. Teman gay Kaniss berdiri di hadapanku dengan wajah jengahnya, seolah aku juga berbuat salah padanya. Tentu saja aku tidak peduli. Masih banyak hal lain yang kupusingkan.

"Ada apa? Kaniss baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Aku menurunkan kedua kakiku dari lengan sofa dan duduk tegak.

"Dia mau bertemu denganmu."

Kedua alisku terangkat. Aku tidak salah dengar kan? Semalam ketika Aiden menyampaikan pesan Kaniss padaku, aku tidak kaget. Tidak heran kalau Kaniss tidak mau bertemu denganku. Apa yang sudah kuperbuat, bukan sesuatu yang bisa dimaafkan. Tapi aku terlalu cemas untuk pulang. Itu makanya aku memilih untuk tetap di rumah sakit meskipun Kaniss menolak keberadaanku.

"Dia ada di kamar dua satu lima."

Aku masih duduk diam ketika Logan pergi. Kenapa tiba-tiba Kaniss mau bertemu denganku? Bodoh kalau aku mengira Kaniss memaafkanku. Apa pun alasannya, paling tidak dia mau bicara denganku. Dia mau bertemu denganku.

Dengan tegang aku melangkah menuju kamarnya—kamar tempatku menghabiskan waktu semalaman tadi. Iya, semalam Aiden memberikan nomor kamar Kaniss dengan mewanti-wanti agar aku datang hanya ketika Kaniss sudah tertidur. And I did just that. Selama beberapa jam sampai matahari mulai terbit, aku duduk diam di samping kasur Kaniss, memperhatikannya. Melihat dia tidur nyenyak lah yang akhirnya bisa membuatku tenang.

Kaniss sedang termenung di kasurnya ketika aku datang. Dia tidak terlihat sadar dengan kedatanganku. "Hai," sapaku pelan—tegang. Kaniss tersentak lalu menoleh ke arahku. "Your friend said you want to—"

"Iya," selanya dingin lalu membuang muka. Aku tidak pernah mendengarnya sedingin ini. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali seseorang bisa membuatku setegang ini hanya dengan satu kata.

Aku diam menunggu Kaniss mengatakan sesuatu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. I'd give anything just for her to say something.

Dia sudah bersih dari tanah, debu, dan darah kering, tapi wajahnya terlihat lebih pucat. Aku takut kalau ternyata keadaannya lebih buruk dari yang Aiden jelaskan padaku. And what kills me even more is that all I can do is standing here, two meters away from her, like an idiot I am.

"How are you feeling?" tanyaku, tidak tahan dengan diam yang tegang ini

"Gue mau lo pulang."

Aku diam sejenak, menarik nafas. Seharusnya aku tidak kaget dia mengusirku seperti ini. Dia bahkan enggan menatapku. I deserve this.

"I'm sorry," ucapku. Apalagi yang bisa kukatakan? "Gue tau sorry is nothing to what I did to you. Tapi gue—"

"Gue cuma minta lo pulang," ucap Kaniss sekali lagi, masih dengan membuang muka. "Lo ga ada urusan di sini, jadi gue mau lo pulang."

Bibirku mengatup rapat. Kupejamkan mataku sejenak. "Oke." Aku berbalik hendak keluar.

"Gue ga mau lo di rumah sakit," tegas Kaniss, menghentikan langkahku.

Aku berbalik menatapnya. Aku diam sejenak memikirkan kalimat yang tepat. "I won't disturb you if that's what worries you."

"Lo udah ganggu gue dengan ada di rumah sakit ini," ucapnya sinis, masih juga tidak mau menatapku. "Dan lo ga berhak khawatir soal gue, di ruang tunggu, or anywhere else. Lo bukan siapa-siapa gue."

"Look at me," tegasku. Kaniss masih diam menatap televisi yang tidak menyala. "Look at me."

Kaniss pun memejamkan kedua matanya sambil menarik nafas berat. Dia terlihat kesakitan membuatku seketika melunak, cemas kalau dia sampai kenapa-napa. Aku sudah mau mendekat, tapi kemudian Kaniss membuka matanya dan akhirnya menatapku. I know I'll never forget how she looks at me right now.

"Mau lo apa, Ez?" tanyanya dengan suara bergetar.

Aku diam. Aku tau benar apa yang dia tanyakan, tapi aku tidak tau jawaban yang tepat. Tidak ada jawaban yang tepat. I was basically accused her for something she didn't do, had sex with other woman, threw it to her face, and kicked her out of my building—her apartment. Kalau ada jawaban yang paling tepat, itu adalah aku mau menghajar diriku sendiri. Iya, semua ini karena kebodohanku.

"Kalo lo mau pergi dari hidup gue, please, by all means, pergi," pinta Kaniss memelas. Aku masih diam, hanya sanggup menatap matanya. "Lo yang mau gue pergi dan sekarang lo di sini." Aku menunduk dari tatapannya. I never this close wanting to punch my own face. "But that's okay, Ez. Gue udah maafin lo. Gue cuma mau lo pergi."

Aku mengadah dan keningku mengernyit menatapnya. "No you don't."

"Iya. Gue mau lo pergi. Dan iya, gue udah maafin lo. Please, pergi."

Aku semakin menatapnya tidak percaya. "Stop bilang kalo lo udah maafin gue. You don't and you shouldn't." Aku tidak tau kenapa dia harus berbohong. Aku mau dia marah, berteriak. Dengan begitu aku bisa terus meminta maaf sampai sakit hatinya berkurang. Bukan seperti ini. "And I'm not going. Not until you're completely fine." Keputusanku bulat. Tidak mungkin aku keluar dari rumah sakit ini tau kalau Kaniss masih tidur di kasur itu.

Kaniss membenamkan wajahnya ke kedua tangan. Dia terlihat akan teriak, but that's what I want. I need that.

But instead, dia hanya menarik nafas panjang lalu mengangkat wajahnya sedikit, hanya untuk melirik ke arahku. "Pergi, Ez. Gue ga mau liat lo lagi."

She's not lying, not this time. Not by how she looks at me. She hates me. As she should.

Tapi aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa mengatakan apapun. Aku hanya sanggup diam menatap kedua matanya. Kedua mata yang benar-benar ingin aku menghilang.

"Kaniss, ay—"

Kaniss reflek menoleh ke pintu kamar, aku juga melakukannya sesaat lebih lambat. Aiden berdiri canggung di sana, tidak sadar sebelumnya kalau aku di sini.

Aiden melirik ke arahku dan Kaniss bergantian, mungkin berusaha menilai situasi apa yang dia hadapi. "Um, hai Ez," sapanya kikuk. Aku hanya diam menunggu apa tujuannya kemari. Tidak, aku tidak marah padanya. How can I? Berkatnya, aku bisa menemani Kaniss semalam.

"Sebaiknya aku datang lagi nanti," ucapnya yang berarti dia memutuskan kalau situasi ini terlalu tegang untuk dia ganggu.

"Tidak," seru Kaniss cepat. "Ezra sudah mau pergi. Kau mau menjemputku untuk CT scan?"

This whole thing is a mess. Aku menatap Kaniss, tapi dia enggan menoleh ke arahku. Ketika aku melihat Aiden, dia sudah tengah menatapku canggung. Aku melirik ke arah Kaniss sekali lagi, tapi dia masih tidak mau melepaskan pandangannya dari Aiden.

Okay, I get it.

Aku masih diam menatap Kaniss, tau kalau kecil kemungkinan aku akan bertemu dengannya lagi. I've lost her.

Defeated, I walk out the room.

CollidedWhere stories live. Discover now