Chapter 39 - Katonah

25.8K 2.4K 18
                                    

Sabtu datang lebih cepat dari yang kukira. Tadinya aku benar-benar santai soal undangan Emma untuk datang ke acara keluarganya. What's the worst thing could happen? Kalau keluarganya suka padaku, bagus, kalau tidak, aku yakin Ezra bukan tipe yang peduli dengan pendapat keluarganya. Aku aman.

Tapi sekarang, satu jam sebelum kami berangkat—kata Ezra, rumah keluarganya di pinggir kota, jadi cukup jauh—aku mulai merasa panik. Aku membongkar isi lemariku dan tidak ada yang sepertinya pantas kukenakan.

"Kalo yang ini?" tanyaku begitu keluar dari kamar mandi—kali ini, aku dan Ezra hang out di apartemenku. Ezra sedang tiduran di sofa sambil memegang buku yang sudah dibacanya sejak pakaian ketiga yang kucoba. Dan sekarang sudah pakaian ke enam. Dress kasual berbahan katun berwarna putih tulang yang panjangnya sedikit di atas lutut.

Kepala Ezra bergerak muncul dari balik bukunya. "Perfect," jawabnya, lalu kembali tenggelam dalam bacaaannya.

"Dari tadi jawaban lo perfect," gerutuku. Kudengar Ezra bergumam sesuatu yang tidak jelas. "What?"

Ezra menoleh kembali kepadaku sambil menggelengkan kepalanya. "Nothing. You look perfect in anything."

Mataku menyipit kesal melihatnya tidak menanggapiku serius.

"Listen," akhirnya Ezra meletakkan bukunya. "It's only a barbeque party. You can wear your sweater and jeans if you want."

Aku diam sejenak. Sebenarnya aku lebih memilih mengenakan dress ini, tapi cuaca di luar tidak mendukung. Seharusnya sudah masuk Spring, tapi udara masih dingin. "Oke," ucapku lalu berbalik kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti baju dan keluar sudah dengan denim jeans favoritku dan kaos hitam lengan panjang yang rencananya akan kutumpuk dengan sweater merahku.

"I knew you'll ended up with that," ucap Ezra setelah aku mengenakan sweaterku. Dia akhirnya berdiri dan berjalan mendekat. Aku menatapnya kesal, tapi dia memeluk pinggangku. "Shall we go?"

"Lo ga ganti baju?" tanyaku menatap t-shirt putih dan celana jeans yang dia kenakan.

Ezra melepaskan pelukannya. "Nope. I look perfect in anything," ujarnya ringan sambil melenggang pergi menuju dapur.

Walaupun ucapannya benar, tetap saja mengesalkan. Tapi aku tidak mau menggubrisnya, melainkan mengambil sepasang sepatu boots hitamku yang panjangnya hampir menutupi betis. Aku duduk di sofa untuk mengenakan sepatu yang kubeli bersama Logan minggu pertama aku di sini. Ah, Logan. Sudah lama aku tidak bermain dengannya di luar rumah sakit.

"Rumah nyokap lo di mana?" tanyaku sembari mengenakan sepatu ini.

Ezra yang berdiri membelakangiku karena mencari makanan di dalam kulkas, berbalik menjawab, "kalo gue sebut, emangnya tau?" ledeknya.

"Ish," geramku kesal dan dia tertawa.

"It's in a town called Katonah, still New York. Sejam dari sini. It's outskirt, but lovely. You'll like it there."

---

Like it? Love it saja masih belum cukup menurutku.

Setelah perjalanan panjang melewati jalan tol, aku akhirnya sampai di kota yang disebut Katonah. Nama yang aneh. Atau mungkin aku belum terbiasa. Suasananya tenang dan asri. Banyak orang yang berjalan kaki dan saling menyapa satu sama lain. Ezra sempat beberapa kali menurunkan kaca jendelanya untuk menyapa bapak-bapak tua, ibu-ibu paruh baya, sampai anak remaja. Ezra lahir dan besar di sini sampai sebelum pindah ke Indonesia, jadi dia kenal cukup banyak orang di sini. Dia bilang waktu dia kuliah di Harvard—ini pertama kalinya dia menyebutkan soal Harvard dan aku masih belum bisa percaya dia lulusan kampus itu—dia masih sering datang berkunjung. Tapi semenjak dia sibuk traveling dan sibuk menghindari keluarganya sendiri, dia sudah hampir tidak pernah ke sini.

"Gue bakal ke sini setiap weekend kalo gue punya hometown kayak gini," ujarku bersemangat. 

Tapi rupanya kekagumanku belum seberapa sampai Ezra memasuki driveway dan berhenti di depan pintu rumah megah yang pekarangannya sangat indah dengan tanaman-tanaman yang memukau.

"Here we are."

"Ini rumah lo?" tanyaku tidak percaya.

Bukannya menjawab, Ezra malah tertawa lalu turun dari mobil. Aku masih diam beberapa saat baru kemudian ikut turun. Ezra tidak menunggu seseorang untuk membukakan pintu, tapi toh pintunya tidak dikunci. Dan begitu aku masuk, aku dibuat lebih menganga lagi. Tangga besar dan megah melingkar terpampang di hadapanku, dan desain rumah ini, lantainya, temboknya, pajangannya, dan beberapa ruangan yang sedikit terlihat dari tempatku berdiri, semua ini... semua ini adalah tipe rumah yang biasa kubangun di dalam game the Sims kalau aku sudah menggunakan cheat untuk unlimited money. Mewah, dan terkesan vintage.

"Hey."

Aku mengenyahkan lamunanku. Ternyata aku masih berdiri di pintu dan Ezra sudah beberapa langkah di depanku. Dia menatapku bingung.

"What's wrong?"

"Nothing." Aku menggelengkan kepalaku cepat, dan begitu Ezra berbalik badan aku bergumam pelan dan panjang, "wow."

Aku mengikuti Ezra entah kemana. Setiap aku melewati pintu, aku penasaran setengah mati ruangan apa yang ada di baliknya. Aku sempat melihat yang sepertinya dapur. Gila, ini benar rumah keluarga Ezra bukan White House? Aku tau aku mungkin berlebihan, tapi rumah ini memang megah. Ini seperti melihat majalah interior in real life. Saking megahnya, sampai terasa untouchable. Dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bukannya seharusnya sedang ada pesta BBQ saat ini?

Ketika Ezra membuka pintu menuju halaman belakang, aku langsung dihadapkan dengan balkon luas dan mewah. Ezra berhenti di ujungnya lalu menjulurkan sebelah tangannya memintaku datang.

CollidedWhere stories live. Discover now