Chapter 41 - This Is Perfect

24.2K 2.5K 10
                                    

Aku pun dengan rela berkumpul bersama para wanita yang duduk di sekumpulan sofa, sementara para paman dan suami sedang sibuk membakar makanan sambil menenggak bir tak jauh dari kami. Lima menit aku berbincang-bincang, aku melihat Ezra akhirnya lepas dari bocah-bocah dan bergabung bersama para paman dan suami-suami sepupunya. Dia sempat melihatku dan tersenyum. I don't think I ever saw his smile that sweet.

"Jadi bagaimana ceritanya kalian bertemu?" pertanyaan dari aunt Marie membuatku melepas pandanganku dari wajah tampan Ezra.

"Oh, aku suka sekali cerita awal bertemu!" aunt Lisa membubuhi. Mereka berdua seperti partner komedian yang suka mengakhiri kalimat satu sama lain.

Sesuai dengan permintaan, aku bercerita soal pertemuanku dan Ezra. Tentu saja aku menghilang detail-detail seperti aku depresi ditinggal Tama, atau ternyata aku sudah bertunangan dengan pria lain ketika pertama kali berciuman dengan Ezra. Hal itu membuat cerita lebih singkat dan less complicated, tapi segitu pun mereka yang mendengarkan sudah sangat puas. Mereka kelewat bahagia mendengar ceritaku, menurutku. Dan aku mulai khawatir ketika mereka sudah mulai menanyakan hal seperti bagaimana rencanaku selanjutnya dengan Ezra.

Untungnya, ada Ezra to the rescue. "Ladies, boleh kupinjam Kaniss sebentar? Aku mau menunjukan danau padanya."

"Danau?" Ada danau di sini?

"Of course," jawab tante Fira. Beliau lalu menoleh kepadaku. "Danau itu kesukaannya Ezra waktu kecil. Kamu harus liat."

Aku mengangguk pelan lalu menyambut uluran tangan Ezra dan bangkit dari sofa ini.

"Jangan lama-lama. Nanti keburu gelap," tante Fira memberi pesan.

"Hei bicara Inggris, please," sanggah aunt Lisa. "Tidak semua yang di sini dual bahasa."

Mereka tertawa, begitu juga denganku.

"Oh, maaf. Kaniss membuatku rindu Indonesia," jawab tante Fira.

"Ayo," ajak Ezra dan aku pun menjauhi kumpulan keluarga ini menuju hutan pinus.

"Beneran ada danau?" tanyaku begitu kami masuk ke hutan. Hutannya saja sangat indah dengan pohon-pohon menjulang.

"Masa gue bohong?" Ezra memimpin di depan tanpa melepaskan genggamannya pada tanganku. "Ga jauh kok."

Benar ucapan Ezra, setelah kira-kira lima menit berjalan melewati hutan, kami sampai di pinggir danau yang tidak begitu besar tapi tetap saja membuatku terpana. Tidak ada orang di bagian ini, hanya ada dek kosong dan beberapa angsa berenang.

"Wow," hanya itu yang bisa kuucapkan. Kutoleh Ezra dan dia tersenyum jenaka menatapku. Senyum anak kecilnya. I can totally see that this is his favorite place.

"Suka?"

"Suka?" Kedua tanganku melayang terbuka. "Ini bagus banget, Ez."

Ezra tertawa. "Come here," dia mengajakku duduk di pinggiran dek. "Lepas sepatu lo." Aku melakukan apa yang diminta. Dia melakukan hal yang sama lalu merendam sebagian kakinya ke dalam air.

Pelan-pelan kucoba merendam kakiku juga, tapi airnya dingin. "Brrr." Kupaksakan untuk merendam kakiku, dan begitu berhasil, aku mulai terbiasa dengan temperaturnya. Aku memainkan kakiku karena airnya terasa sangat segar. Udaranya juga segar. Semua yang ada di sini benar-benar membuatku segar. Aku pun menghela nafas panjang.

"What?"

Aku menoleh ke Ezra di sampingku. Kami sama-sama meletakkan kedua tangan kami di samping tubuh masing-masing memegang ujung dek.

"Gapapa. Rumah lo, kota ini, udaranya, hutannya, danaunya, it feels magical. It's crazy that you ever left. Ke Indonesia, lagi." Bukannya aku merendahkan negaraku sendiri. Tempat seperti ini atau yang jauh lebih indah tentu banyak di suatu bagian yang belum pernah kukunjungi di Indonesia, tapi yang pasti bukan Jakarta.

Ezra tersenyum tipis. "Gue marah banget waktu pertama kali pindah. I was a teenage boy. I didn't realize that my parents were separated at that time. Back on together years after, tapi gue udah tinggal di Boston." Ezra kembali menghadap kepadaku. "To be honest, gue sempet lupa how wonderful this place is. But you reminds me of that." Dia tersenyum lembut.

Aku mendengus meledek dengan kedua mata kusipitkan. "Gimana ceritanya lo butuh sesuatu buat ngingetin tempat kayak gini se-amazing apa?"

Ezra menyeringai sambil menunduk sejenak lalu kembali mengadah menatapku. "You like this place so much, huh?"

"So much."

"Well," Ezra tersenyum menggoda. Mencurigakan. "I'll inherit this place someday. And if you like it so much, we can both live here, someday."

"Oh, sekarang kita ngomongin masa depan?" aku balas menggoda, berusaha menutupi perasaanku yang jelas saja terkena efek omongan bercanda Ezra barusan. Bayangan hidup berdua dengan Ezra di rumah ini terlalu indah, sampai aku tidak berani membiarkan diriku membayangkannya.

Ezra mengangkat kedua bahunya. "I don't know. But this is perfect," ucapnya sebelum mencium bibirku lembut.

God, I love him.

CollidedWhere stories live. Discover now