Chapter 56 - It Went Black

24.1K 2.3K 14
                                    

Aku mulai merangkak. Tapi baru beberapa langkah, aku sudah cemas. Peneranganku hanya dari senter di kepalaku dan tidak ada yang bisa kulihat selain runtuhan bangunan. Bagaimana kalau ternyata celah ini semakin menyempit dan aku terjebak? Bagaimana kalau runtuhan ini tidak sestabil yang mereka kira dan aku mati tertimpa?

Hush. Kaniss. Jangan berfikir macam-macam.

"It'll be fine, I'll be fine," ucapku berulang-kali selama aku merangkak. Sampai akhirnya aku mendengar suara.

"T-tolong."

"Hei!" seruku memanggil. Suaranya terdengar dekat, berarti sebentar lagi aku sampai.

"T-tolong," suaranya semakin jelas. Suara perempuan.

Rupanya Alec benar. Lepas dari lorong sempit ini, ada ruang cukup luas untukku bisa bergerak lebih leluasa. Di situ lah aku melihat gadis terkapar di antara reruntuhan.

Dengan sigap aku menghampirinya. "Hei," panggilku. Matanya sayup-sayup terbuka. Senyumnya merekah melihat wajahku.

"Akhirnya kalian datang," bisiknya. "Tolong aku."

Wajahnya sangat pucat. Aku cemas ada luka terbuka di tubuhnya yang bisa menyebabkan dirinya kehabisan darah.

"Kaniss! Kau sudah di dalam?!" terdengar seruan Alec.

"Iya!" jawabku.

"Gunakan walkie talkie yang kau punya!"

Oh. Aku baru ingat. "Alec?" panggilku ragu setelah menekan on di walkie talkie yang kusematkan di bahu kiriku. Aku sebenarnya tidak terlalu paham aku bicara dengan siapa kalau bicara lewat alat ini.

"Hei Kaniss," sahut Alec lewat walkie talkie ini. "Bagaimana keadaan korban?"

"Sebentar." Aku menoleh memperhatikan gadis malang ini. "Hei, aku Kaniss. Siapa namamu?"

Gadis ini mendengus lalu terbatuk. Tubuhnya penuh pasir sampai aku tidak bisa menilai warna kulitnya. "Izzi," jawabnya.

"Izzi," panggilku, "kau ingat apa yang terjadi?"

Izzi mengernyitkan dahinya, terlihat kesakitan. "Aku hendak belanja hadiah untuk ayahku. Aku masuk ke dalam sebuah toko. Apa yang sudah terjadi? Apa sudah terjadi gempa? Apa ayahku baik-baik saja?"

Sebelum aku menjawab rentetan pertanyaannya, aku menghubungi Alec. "Responsif dan ingatannya baik. Aku tidak lihat ada darah mengalir." Aku memperhatikan seluruh bagian tubuh Izzi. "Oh," aku terdiam tegang, menatap tangan kiri Izzi yang terjepit reruntuhan. "Tangan kirinya terjepit bangunan. Izzi," panggilku. "Apa kau bisa menggerakan tangan kirimu?"

Izzi tidak langsung menjawab. "Aku tidak bisa merasakan tangan kiriku," jawabnya kemudian, panik. "Apa yang terjadi?" dia mulai menangis, membuatnya kesulitan bernafas dan jantungnya berpacu terlalu cepat.

"Hei, hei, hei," aku berusaha menenangkan. "Kau baik-baik saja. Tanganmu hanya terjepit, itu saja." Izzi masih belum mau tenang. "Aku dokter, aku tau benar kau baik-baik saja," aku harus berbohong, aku tidak tau bagaimana keadaan gadis ini sebenarnya. Izzi masih panik. "Hei, siapa nama ayahmu?"

Barulah Izzi mulai tenang. "James. Kenapa? Apa dia baik-baik saja?"

"Ayahmu di mana waktu kau belanja?"

"Di rumah."

"Ayahmu baik-baik saja. Yang terjadi adalah crane bangunan sebelah menimpa pertokoan ini. Kau juga akan baik-baik saja. Kita hanya perlu mengeluarkan tanganmu dari situ." Aku tersenyum hanya untuk menenangkannya.

Masih sesenggukan, Izzi mengangguk. Kutaksir umurnya tidak jauh di bawahku.

"Sekarang aku harus pergi mengambil alat untuk membebaskan tanganmu, oke?"

CollidedWhere stories live. Discover now