Chapter 49 - Another Emergency Exit Session

22.6K 2.3K 9
                                    

Aiden tidak bohong waktu dia bilang hari ini aku akan melakukan sesuatu yang menarik. Operasi double valve replacement. Aku pasti loncat kegirangan dan bersemangat setengah mati di dalam ruang operasi seandainya saja ini terjadi di hari lain. Hari ini aku tidak cukup fokus untuk merasa beruntung sudah diberi kesempatan meng-assist operasi sebesar ini. Untungnya, kali ini aku tidak berubah bodoh dan menyebabkan Aiden marah padaku. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan dengan baik. Hanya saja minus semangat dan suara. Aku tidak banyak bertanya selama operasi sepuluh jam ini berlangsung.

Namun rupanya, itu saja tidak cukup untuk Aiden. Ketika operasi selesai dan kami sudah mencuci tangan, Aiden menghampiriku di luar pintu ruang operasi.

"Aku bisa menjadi pendengar yang baik asal ada tangga darurat," ucapnya ringan sambil berjalan beriringan di sampingku.

Aku menoleh ke arahnya sambil menyeringai tipis. "Kau tidak mau dengar. Ini masalah cengeng."

Aiden ikut menyeringai. Tapi bukannya mendengarkan nasihatku, dia malah membuka pintu darurat yang kebetulan kami lewati. Kepalanya memberi gestur untukku masuk.

Aku diam sejenak memperhatikannya. Dia masih berdiri menahan pintu menungguku masuk. Do I really wanna talk about this?

Yes, I do. I need to.

Aku pun masuk ke tangga darurat lalu duduk di salah satu anak tangganya. Aiden menutup pintu tersebut lalu duduk di sampingku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin menungguku untuk memulai.

"Sepertinya hubunganku dan Ezra sudah berakhir." Aku menyerah. Tadinya kupikir orang pertama yang kuceritakan soal ini adalah Logan, tapi Aiden bukan pengganti yang buruk. Better even—sorry, Logan.

Aiden terlihat terkejut, tapi dia berusaha menutupinya. "Apa yang terjadi?" tanyanya tenang.

Aku diam memperhatikan raut wajah Aiden sejenak. Mengira-ngira akan seperti apa reaksinya. Kalau Logan, bisa kupastikan dia akan menganggapku bodoh karena memusingkan hal seperti pernikahan. Apa Aiden akan memikirkan hal yang sama?

"Apa aku salah kalau mengharapkan setidaknya Ezra akan menikahiku suatu saat?" wow, aku tidak menyangka aku terdengar sebodoh ini ketika mengeluarkan isi kepalaku. Aku sekarang terdengar menyedihkan. Aiden pasti menganggapku perempuan cengeng.

Dan benar saja, Aiden menundukan kepalanya sambil mendengus tertawa dan geleng-geleng kepala.

"Aku tau ini memalukan. Aku menyedihkan." Aku memutar bola mataku kesal.

"Bukan itu." Aiden mengadah lalu menyeringai tipis menatapku. "Hanya saja, masalahmu terdengar familiar." Aku mengernyit tidak mengerti. "Kau mau dengar pendapatku?" Aku mengangguk. "Aku cukup kenal Ezra untuk tau kalau dia bukan tipe yang percaya dengan pernikahan. Waktu aku tau kalian bersama, kupikir kau juga memang satu visi dengannya soal itu."

"Maksudmu dengan tidak percaya dengan pernikahan?"

"Begini. Mungkin sulit untukmu untuk mengerti karena ini berbeda dengan budaya yang diajarkan di tempatmu berasal. Di sini, pernikahan bukan lah hal yang wajib. Orang-orang tidak akan peduli kau menikah atau tidak akan pernah menikah. Jadi itu tergantung prinsip masing-masing."

Aku diam sejenak menelaah ucapan Aiden. Jadi maksudnya Ezra tidak ingin menikah bukan berarti tidak mau serius? Aku tidak mengerti. Lalu mau Ezra apa? Selamanya berpacaran? Itu kan bodoh.

Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Logan. "Ada apa?" tanyaku langsung begitu kuangkat. Aku masih sedang ingin berdiskusi lebih lanjut dengan Aiden soal ini, dan telfon dari Logan menggangguku.

"Kau sudah selesai operasi?"

"Sudah."

"Bagus lah. Aku sudah di apartemenmu, tapi aku lupa membeli bir. Mungkin kau bisa bawa beberapa di perjalanan pulang?"

Aku membuang nafas bosan. "Oke."

"Bagus. Dan satu lagi, aku mengajak Marissa ke sini tidak apa-apa?" Marissa adalah salah satu suster yang tidak jarang berkumpul bersamaku dan Logan di jam makan siang.

"Tentu saja tidak masalah."

"Baiklah. Segera pulang!" Dan Logan menutup telfonnya sebelum aku sempat merespon.

"Kau sudah harus pulang?" tanya Aiden begitu aku memasukan ponselku ke dalam kantong scrub-ku.

"Kau dengar Logan barusan?"

"Suara speaker ponselmu cukup kencang."

"Oh," aku menyeringai tidak enak. "Apa kau masih membutuhkan tenagaku malam ini?"

Aiden mengusap kedua pahanya lalu berdiri. "Tidak. Kau boleh pulang. Aku juga akan pulang."

Melihat Aiden berjalan hendak keluar dari tangga darurat ini, aku merasa janggal. Masih ada yang ingin kubahas dengannya. "Kau mau ikut?" aku reflek mengajaknya.

Aiden menoleh. "Ikut apa?"

Aku pun segera berdiri. "Iya, Logan mengadakan pesta kecil-kecilan di apartemenku dengan tujuan ingin menghiburku. Well, bukan pesta, sih. Lebih seperti slumber party. Kalau kau sedang tidak ada acara, kau boleh datang."

Aiden mengangkat kedua alisnya. "Tentu saja. Asalkan ada minuman gratis."

Aku tersenyum lebar, senyum tulus pertamaku hari ini. "Iya, aku akan membeli minuman di perjalanan pulang. Kau suka minuman apa?"

Aiden tersenyum, "biar aku menemanimu membeli minuman."

CollidedWhere stories live. Discover now