Chapter 43 - Why Is He Still Around?

24.1K 2.4K 25
                                    

"Kau tidak boleh bilang tidak kalau dia menawarkan tinggal bersama!" seru Logan ketika aku bercerita soal tawaran Ezra.

"Memangnya kenapa? Dia bukannya memaksa juga. Lagipula, kami belum lama resmi berpacaran. Baru berapa lama, sebulan?" Aku sudah lebih dari satu bulan dalam program ini, dan yang kuingat kami berpacaran tak lama setelah aku memulai program ini. Wow, sudah selama itu, ya?

"Iya sih, tapi..." Logan menghela nafas panjang. Kami berdua sedang istirahat makan siang di kafetaria. "Bagaimana kau bisa bilang tidak pada wajah itu?" tanyanya sambil bertopang dagu. Aku tertawa melihatnya desperate seperti ini. "Dan juga, bayangkan kalau kalian resmi tinggal bersama. Pikirkan tentang seks setiap saat."

Aku tersedak minumanku.

"Kau bercanda, kan?" Logan menatapku tidak percaya, padahal aku tidak mengatakan apa-apa.

"Apa?" tanyaku balik, sok polos. Aku tau jelas apa yang ada di pikiran Logan.

"Kalian masih belum melakukannya?!" seru Logan sampai aku harus memintanya menurunkan volume suaranya.

Aku memang pernah cerita pada Logan kalau aku belum berhubungan seks dengan Ezra—aku terpaksa bercerita karena Logan memaksa meminta detail sepandai apa Ezra di ranjang. Aku bilang padanya kalau aku menunggu waktu yang tepat. Aku tidak menjelaskan kalau yang kumaksud dengan waktu yang tepat adalah pernikahan, karena tampaknya hal itu sangat memalukan untuk diakui. Logan akan menganggapku freak, and probably we won't be friends anymore. Mungkin aku berlebihan, tapi biarlah hal itu menjadi urusan pribadiku.

"Belum ada waktu yang tepat," aku memberi alasan.

"Apa?" saking syoknya Logan sampai tidak mampu bersuara. "Sudah sebulan dan masih tidak ada waktu yang tepat?" Aku mengangkat kedua bahuku ringan. "Jujur, apa kau diam-diam gay?" Tawaku meledak. "Atau dia yang gay? Kumohon Tuhan, biarkan dia yang gay."

"Tidak ada yang gay," bantahku.

"Lalu apa masalahnya? Apa yang bisa membuat kalian bertahan? Dengarkan pesanku baik-baik, segera lakukan itu atau hubungan kalian tidak akan bisa lebih lama dari ini. Aku memang tidak kenal laki-laki tampanmu itu, tapi percaya padaku, semua laki-laki itu sama dalam urusan membawa pasangan mereka ke ranjang. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang bisa membuat laki-lakimu sesabar ini. Tapi kalau kau masih berlagak jual mahal, ini tidak akan berakhir baik."

---

"Hey, melamun?"

Aku baru sadar kalau sedari tadi aku di dalam lift, ucapan-ucapan Logan terus terngiang dan membuatku kepikiran. Aku bahkan tidak sadar ketika Aiden sudah bergabung denganku di dalam lift. Aku sudah bersiap pulang, Ezra sudah menunggu di lobi. Dan dilihat dari pakaiannya, Aiden juga sepertinya mau pulang.

"Oh, hai," sapaku telat. "Tidak ada operasi malam ini?" Suasana hati Dr. Weisz sedang baik, sehingga begitu selesai kelas teori, aku diijinkan pulang.

"Tidak," jawab Aiden sembari memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. "Kau sendiri, pulang cepat?"

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. "Dr. Weisz sedang baik."

"Oh, ya?" Pintu lift terbuka, dan kami berjalan bersama-sama menuju lobi dekat pintu keluar. "Kalau besok dia masih baik, akan kucoba meminta izin supaya kau bisa di servisku dan ikut dalam operasi besar besok. Itu kalau kau tidak keberatan tentunya."

"Keberatan?" Aku hampir memekik kegirangan. "Tentu saja tidak!" Dr. Weisz memang cukup baik akhir-akhir ini, tapi bersama Aiden aku lebih sering menginjakan kaki di ruang operasi dan melihat langsung aksinya. Aku tidak mungkin melewatkan kesempatan kalau bisa dimentori Aiden lagi.

Aiden tertawa tipis melihat reaksiku. "Ini sebenarnya rencana licikku untuk menarikmu ke dunia jantung."

Aku tertawa mendengar gurauan Aiden sampai tidak sadar kalau Ezra sudah berdiri di hadapanku.

"Oh, hai, Ez," sapa Aiden yang setiap kalinya semakin dingin. Ini salah Ezra. Dia selalu bersikap antipati setiap ada Aiden di sekitar kami.

"Aiden," sapa Ezra balik sambil mengangguk singkat dan kedua tangan berada di dalam kantong celananya. Aku masih penasaran kenapa hubungan mereka sedingin itu, tapi tidak pernah kutanyakan langsung pada Ezra karena ujung-ujungnya pasti jadi bertengkar.

Sadar situasi mulai berubah canggung, Aiden pun pamit. "Baiklah, Kaniss, sampai bertemu besok."

Aku mengangguk sambil tersenyum tidak enak. Ini semua karena sikap Ezra. Dan benar saja, begitu aku mengalihkan pandanganku dari Aiden yang menjauh ke Ezra yang masih berdiri di hadapanku, kedua alisnya masih menyatu tajam sambil menatapku seperti vampir yang kelaparan dan membutuhkan darahku. Atau lebih masuk akalnya, dia menatapku seolah aku baru saja berselingkuh di depan matanya.

"Apa?" hardikku tidak mau terintimidasi tatapannya itu. Aku berjalan melewati tubuhnya menuju pintu keluar.

"Dia udah bukan mentor lo lagi, kan?" Ezra mengeluarkan pertanyaan retorisnya. Pertanyaan yang dia sudah tau jawaban dan tidak mengharapkan aku menjawab. "Then why the hell he's still around?"

Aku menarik nafas panjang dan berat sebelum menjawab dengan bosan, "as I've told you thousand times, Aiden satu departemen sama gue. That's how he's still around." Awalnya kupikir Ezra seperti ini karena dia cemburu, tapi sekarang aku yakin pasti ada alasan lain. Karena, satu, Ezra terlalu antipati untuk sekedar cemburu. Dua, apa yang mau dicemburuin? Aku bahkan tidak sedekat itu dengan Aiden.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang