Chapter 58 - Complicated, huh?

24.7K 2.5K 11
                                    

KANISS

"Apa yang kubilang soal hati-hati?" Dr. Weisz menggerutu. "Kau benar-benar tidak tau caranya mengutamakan keselamatan diri, bukan? Melepaskan helm di dalam runtuhan bangunan yang tidak stabil... aku tidak menyangka kau bisa sebodoh itu."

Dr. Weisz sudah seperti ini sejak setengah jam yang lalu, ketika tim pemadam kebakaran akhirnya berhasil mengevakuasi aku dan Izzi. Beberapa bagian bangunan runtuh ketika aku sudah hampir berhasil melepaskan tangan Izzi. Untungnya tidak ada yang menimpa kami dengan fatal. Kepalaku terbentur, iya, dan beberapa luka lainnya, tapi aku dan Izzi baik-baik saja. Aku memang sempat tidak sadarkan diri sejenak, tapi tim pemadam kebakaran dengan cepat mengevakuasi kami karena—thank God—runtuhan yang kusebabkan membuat akses ke tempatku dan Izzi berada lebih mudah.

Izzi sendiri sudah dibawa ambulans ke rumah sakit. Karena lukaku tidak separah itu, aku menolak untuk segera dibawa ambulans. Lebih baik yang membutuhkan yang diutamakan.

"Kau akan ikut ambulans setelah ini, oke? Aku tidak mau mendengar penolakan lagi. Lukamu harus dijahit dan isi kepalamu harus segera diperiksa. Aku tidak mau bertanggungjawab seandainya kau mengalami gegar otak."

Aku hanya bisa manggut-manggut. Kepalaku memang pening, tapi aku rasa aku akan baik-baik saja. Dr. Weisz pun melenggang pergi sementara aku masih duduk di antara korban terluka sambil berselimutkan kain dari pemadam kebakaran. 

Tak lama setelah Dr. Weisz pergi, kulihat Alec berjalan menghampiriku. Baru sekarang aku melihatnya lagi setelah dia dan teman-temannya mengevakuasi aku dan Izzi.

"Aku salut padamu. Kau benar-benar berani," ucapnya sambil geleng-geleng kepala.

Aku hanya tersenyum tipis. Aku tidak merasa tindakanku tadi sebuah keberanian—atau aku belum sadar karena masih terpacu adrenalin dan overwhelmed dengan perasaan lega Izzi baik-baik saja.

"Dari mana asalmu?" tanya Alec.

"Indonesia."

Dia manggut-manggut.

"Permisi, Dr. Farah, ambulans sudah siap untuk mengantar anda," salah satu paramedik menghampiri kami. Dia terlihat kewalahan. Tentu saja, semalaman ini mereka semua bekerja keras.

"Baiklah," ucapku lalu berdiri. Alec mengulurkan sebelah tangannya kepadaku dan aku menyambutnya.

"Kerja yang baik hari ini," ucapnya sambil tersenyum.

"Kau juga," sahutku membalas senyumnya.

---

"Aku dengar apa yang terjadi, kau baik-baik saja?" Aiden setengah berlari menghampiri gurney-ku di ruang IGD. Semua dokter sedang sibuk menangani korban yang terus berdatangan, sehingga aku yang terlihat baik-baik saja mereka abaikan.

"Iya, hanya luka-luka kecil," jawabku. Tapi tentu saja Aiden tidak percaya. Masih dengan wajah cemasnya dia memeriksa luka di kepala dan lenganku, karena dua luka itu yang terlihat paling mengkhawatirkan.

Aiden menarik rak medical kit ke dekat kami. "Kenapa belum ada yang menjahit luka ini?" protesnya sambil membuka bungkusan suntikan baru. Dengan cekatan dia merawat lukaku. "Bagaimana ceritanya kau bisa ikut celaka?" tanyanya di tengah usahanya menjahit luka di kepalaku.

Bagian lukaku memang sudah disuntik anastesi lokal, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman. "Aku terkena runtuhan bangunan saat berusaha menyelamatkan satu korban," terangku singkat.

Aiden berdecak. "Seharusnya aku tidak membiarkanmu ikut tim paramedik ke sana," ucapnya sarat dengan rasa bersalah.

"Hei, ini bukan salahmu. Aku justru menjadi pahlawan karenamu. Gadis yang kuselamatkan baik-baik saja. Dan aku juga baik-baik saja. Itu yang paling penting, kan?"

Dengan bibir mengatup rapat Aiden menatap mataku tidak setuju. Tapi dia tidak bicara apa-apa lagi dan tak butuh waktu lama untuknya menutup luka di kepalaku. Emma tiba-tiba datang ketika Aiden baru mau mulai mengobati luka di lenganku.

"Kaniss! Thank God, you're alright!" serunya dengan sebelah tangan diletakkan di atas dada. Dia terlihat panik dan aku merasa bersalah sudah membuat orang-orang ini cemas.

Emma berdiri di samping Aiden memperhatikan luka-lukaku. Aku baru sadar kalau ini pertama kalinya aku melihat mereka berdampingan. They really do look good together.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Emma kepada Aiden yang masih sibuk dengan lenganku. Somehow aku bisa merasakan kalau Aiden mendadak tidak nyaman dengan keberadaan Emma. Berbeda dengan Emma—dia terlihat santai saja.

"Lukanya tidak ada yang serius, tapi Kaniss butuh CT scan untuk tau kondisi pasti kepalanya," terang Aiden. Mereka berdua bicara seolah aku tidak di sini. Dan Aiden, dia pandai menutupi ketidaknyamanannya. Pasti tidak mudah. Aku yakin dia masih menyimpan perasaan pada Emma.

"Huff," Emma menghembuskan nafas lega meskipun keningnya masih mengerut cemas. "Ezra will kill me if something happened to you."

Ezra. Nama itu sanggup membuat hatiku terasa lebih perih dari lukaku yang sedang dijahit. Suddenly I feel a rush of emotion, and it doesn't feel good. Tiba-tiba aku sadar kalau yang terjadi barusan benar-benar berbahaya, dan entahlah, baru sekarang aku merasa ketakutan. Tidak hanya itu, aku merasa tegang, sedih, marah, semua bercampur-aduk. Above all, I miss him. Dan aku benci diriku sendiri sudah merasa demikian. Ezra mungkin sedang bersenang-senang dengan pacar barunya.

"Ugh," kepalaku tiba-tiba terasa menusuk. Aku menggigit bibir bawahku untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Kaniss?" seru Aiden dan Emma bersamaan.

Aku meringis sejenak, "tidak apa-apa, kepalaku tiba-tiba sakit sedikit," ucapku tidak mau mereka lebih khawatir dari ini.

"Kau akan kubawa langsung ke radiologi setelah jahitan di lenganmu selesai," ujar Aiden lebih seperti mengancam.

Emma tersenyum miris ke arahku sejenak sebelum menoleh ke Aiden. "Aiden, ada yang harus kulakukan. Aku bisa mempercayakan Kaniss kepadamu, kan? Rawat dia sebaik-baiknya, dan berikan dia kamar yang terbaik."

"Tidak perlu," sanggahku cepat.

"Tentu saja, kau tidak perlu khawatir. Nanti kukabari kalau Kaniss sudah masuk kamar," ujar Aiden. Baik dia maupun Emma tidak ada yang menggubrisku.

Barulah Emma kembali menoleh ke arahku. "Ezra sudah tau?"

God, kalau saja aku tidak menghormati Emma, aku sudah berteriak kencang memintanya berhenti menyebut nama adiknya. Tapi dia tidak salah, Emma tidak tau keadaan kami.

Aku hanya sanggup menggelengkan kepala.

"Ya sudah, biar nanti aku yang menghubungi Ezra."

"Jangan," tegasku terlalu cepat.

Ekspresi Emma seketika berubah, dari kaget menjadi mengerti. Untungnya dia tidak melanjutkan perbincangan ini. Dia hanya menarik nafas lalu mengangguk. "Baiklah."

Begitu Emma pergi, Aiden yang masih berkutit dengan lenganku mendengus pelan. "Rumit, bukan?" tanyanya meledek.

"Tidak lebih rumit dari yang kau alami," sindirku kesal. Aiden tertawa, berarti benar dia masih menyimpan perasaan pada Emma. Melihatnya bisa menertawai nasibnya sendiri, aku pun ikut tertawa pelan.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang