Chapter 66 - The Final Days

26.8K 2.4K 21
                                    

Aku lulus ujian internship-ku dengan nilai pas-pasan, meskipun menurut Dr. Weisz lebih baik dari perkiraannya. Yang tidak kusangka, Dr. Weisz memberiku hadiah kenang-kenangan berupa pena mewah yang sebenarnya hadiah keluarga pasien untuknya. Tetap saja aku terharu bisa membawa sesuatu yang mengingatkanku pada perjuangan menjadi dokter magang di bawah mentor Medusa. Kalimat terakhir yang Dr. Weisz ucapkan sebelum aku pulang dari NYU Langone untuk terakhir kalinya adalah, "jangan membuatku malu di Indonesia."

Tim dokter dari Indonesia mengadakan acara makan malam bersama untuk merayakan berakhirnya masa magang kami. Petinggi-petinggi rumah sakit turut datang. Sejujurnya acaranya membosankan, tapi sangat tidak sopan kalau aku tidak datang—aku jarang berkumpul dengan mereka selama masa internship, jadi setidaknya aku datang di hari terakhir.

Selesai acara bersama rekan-rekan dari Indonesia, Logan mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan di Nick's. Ada aku, Logan, Marissa, Aiden, dan beberapa teman yang lain. Emma datang agak telat, dia harus menyelesaikan operasinya terlebih dahulu. Acaranya tentu lebih menyenangkan dibandingkan makan malam formal bersama petinggi rumah sakit. Bukannya aku tidak menikmati, hanya saja aku masih terus kepikiran soal satu orang itu. Satu orang yang tidak pernah kulihat lagi semenjak dia pergi dari apartemen Logan. Satu orang yang sekali lagi harus kuhapus namanya dari kamusku.

Untuk melupakan orang itu, aku mengalihkan perhatianku ke Emma dan Aiden. Mereka bersikap biasa, layaknya teman lama. Bercanda, beberapa kali menari bersama. Tapi aku bisa lihat—aku tidak tau yang lain sadar atau tidak—Aiden masih menyimpan perasaan pada Emma. Mungkin Aiden berhasil bersikap seperti biasa, atau mungkin karena terbiasa, tapi kedua matanya tidak bisa bohong. Beberapa kali aku melihat Aiden menatap Emma sedetik terlalu lama, atau memperhatikannya dari jauh ketika Emma mengobrol dengan yang lain. Hanya menjadi penonton saja aku terenyuh. I wish I have someone who looks at me like Aiden looks at Emma. Seseorang yang memperhatikanku meskipun aku tidak di sampingnya.

Dan wajah Ezra muncul.

Sial. Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Cukup.

Aku kembali memperhatikan Aiden dan Emma, semata-mata untuk melupakan Ezra. Aku berusaha menyibukkan otakku dengan memikirkan bagaimana kira-kira perasaan Emma terhadap Aiden.

Berbeda dengan Aiden, Emma sangat sulit ditebak. Kedua matanya tidak lebih bersinar ketika melihat Aiden. Dia menatap Aiden sama seperti dia menatap Logan atau yang lain. Tidak sekali pun aku pernah menangkap Emma diam-diam memperhatikan Aiden. Tapi ketika mereka berdua bercanda, atau ketika menari bersama, ada aura yang berbeda yang mereka ciptakan. Mereka seperti berada di bubble berdua tapi tetap bisa berinteraksi dengan yang lainnya seperti biasa. Penjelasanku mungkin gamang, tapi memang sulit dijelaskan. Aku tidak pernah tau kehidupan percintaan Emma. Aku hanya tau Aiden masih single. Aku harap mereka berjodoh.

Kemudian aku ingat cerita Aiden, kalau Emma tidak percaya pernikahan. Dia dan adiknya sama saja. Mungkin aku dan Aiden bisa membentuk klub korban klan Reinhard. Hhh. Aku mendengus geli sendiri.

Aku minum cukup banyak malam itu. Untungnya aku tidak pulang langsung esok harinya karena paginya aku merasa tidak enak badan. Aku baru pulang ke Indonesia dua hari kemudian. Emma ikut, karena dia bilang dia memang berencana ke Indonesia. Tentu saja aku tidak masalah ditemani perjalanan dua puluh tiga jam. Emma juga cukup pengertian karena semenjak dia sadar hubunganku dan adiknya tidak baik, dia tidak pernah sekali pun menyebut nama Ezra di depanku.

Ezra. Dua minggu berlalu semenjak hari itu di apartemen Logan sampai hari terakhir aku di New York. Sekali pun aku tidak mendengar kabarnya. Aku memang berusaha melupakan dan mengikhlaskannya tapi sesekali aku merasa lemah dan ingin sekali mendengar suaranya. Lebih baik kalau bisa melihat wajahnya. Tapi tidak. Apa yang lebih parah dari menyedihkan? Itu lah aku kalau sampai menghubungi Ezra. Aku sudah jujur berkata padanya kalau masalahku adalah prinsip kami yang berbeda dan dia merespon dengan meninggalkanku. Apa lagi yang bisa dibicarakan? Lagipula sampai kapan dramaku dan Ezra dilanjutkan? Drama yang jelas-jelas tidak akan berujung baik—setidaknya untukku.

Tapi di malam terakhir aku menyerah. Aku menginap di apartemen Emma karena kami akan berangkat pagi-pagi keesokan harinya. Logan menangis ketika aku keluar dari apartemennya untuk terakhir kali. Melihatnya menangis, aku ikut menangis. Biarpun baru tiga bulan kami berteman, Logan adalah salah satu orang terbaik yang pernah kukenal. Entah apa jadinya nasibku tanpa Logan di sini. Logan selalu ada saat aku punya masalah dan dia yang menampungku ketika aku menjadi gelandangan di kota New York. Dia berjanji akan mengunjungi Indonesia dalam waktu dekat karena aku berhasil menggodanya soal Bali. Kami berencana akan berlibur ke Bali bersama akhir taun ini.

Oke, balik lagi ke bagian aku menyerah. Kau tau apa yang kulakukan? Aku berbohong pada Emma bilang kalau ada barang yang tertinggal di apartemen Logan. Dia menawarkan untuk mengantarku kesana, tapi kubilang aku bisa naik taksi. Aku tidak mungkin mengiyakan tawarannya karena aku pergi ke apartemen Ezra. Iya, aku mendatangi apartemen Ezra.

Itu adalah keputusan yang sangat berat. Berkali-kali aku membatalkan niatku tapi aku selalu lemah dengan pikiran kalau ini kesempatan terakhir aku akan bertemu Ezra. Aku pun berangkat dengan niat untuk benar-benar mengucapkan selamat tinggal karena tidak mungkin aku mengakhiri kisahku dan Ezra pergi begitu saja sebelum percakapan kami selesai. Sebut saja itu closure. Aku hanya akan datang, dan mengucapkan selamat tinggal. Iya, hanya selamat tinggal.

Sesampainya di apartemen Ezra, aku masih berdiam bodoh di lorong di antara apartemennya dan bekas apartemenku. A rush of memory comes to mind. Ingatan soal pertama kali aku bertemu Ezra di apartemennya, ketika aku dengan bodoh sedang membuat coklat hangat di dapurnya. Ingatan ketika kami masih bersama dan aku sering melewati lorong ini untuk mengambil barang di apartemenku lalu menghabiskan waktu di apartemen Ezra. Dan ingatan ketika aku mengetuk pintu kamar Ezra untuk menemukannya bersama cewek lain lalu mengusirku.

Deg.

Bagaimana kalau ketika aku mengetuk pintunya sekarang dan dia lagi-lagi muncul dengan wanita lain? Meskipun itu sudah menjadi haknya karena dia bukan siapa-siapaku lagi, tetap saja akan menyakitkan.

Aku pun semakin ragu. Sampai-sampai aku menempelkan telingaku di daun pintu apartemen Ezra untuk memastikan tidak ada suara orang mengobrol di dalam. Memastikan kalau tidak ada suara perempuan.

Hening. Tidak ada suara apa-apa.

Aku pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu apartemennya karena dalam hati ragu apa Ezra ada di dalam. Dan benar, berkali-kali kuketuk, tidak ada yang menyahut.

Sekarang aku bisa apa? Tidak mungkin aku menelfon Emma. Bertanya soal Ezra hanya akan membuka percakapan soal adiknya yang bisa-bisa akan kami bahas sepanjang perjalanan besok. Aku tidak mau itu.

Akhirnya aku ke bawah, untuk menemui wanita tergalak kedua setelah Dr. Weisz yang kukenal di sini; Mrs. Everett. Darinya aku tau kalau sudah beberapa hari Ezra tidak terlihat. Sebelum aku mengucapkan selamat tinggal, Mrs. Everett sudah menutup pintunya. Padahal niatku baik ingin berpamitan.

Sendirian, aku duduk di bawah tangga menuju apartemen Ezra dan bekas apartemenku. Seharusnya aku langsung pulang atau mencoba menelfonnya kalau aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Tapi yang kulakukan justru berdiam diri duduk di sana, menunggu ketidakpastian.

Perasaan ini familiar. Hal ini pernah terjadi sebelumnya. Hampir setahun yang lalu, di Jakarta.

Mengingat kejadian itu, aku berdiri dan cepat melangkah keluar. Aku tidak akan membiarkan diriku lagi-lagi dibodohi Ezra. Urusanku dengan Ezra sudah selesai. Bagaimanapun akhirnya, harus kuterima.

It's over.

CollidedWhere stories live. Discover now