Chapter 37 - You're Smitten!

28K 2.8K 20
                                    

EZRA

Hari ini aku memutuskan untuk melihat kondisi perusahaan Dad yang ada di New York. Aku tidak tau apa lagi yang bisa kulakukan. Hariku terasa membosankan karena rencana awalku adalah berangkat ke Peru sebelum kembali ke London dan Kaniss merubah semuanya. Tapi aku tidak masalah menerima kebosananku seharian untuk menikmati malam bersamanya. She's that worth it.

And last night, when she caught me off guard by kissing me like that, I nearly lost it. Aku pikir dia akhirnya memutuskan untuk melakukannya denganku karena dia tidak pernah menciumku duluan sebelum itu. And the way she kissed me, it was... sexy. It was fucking sexy. Aku tidak tau bagaimana dia bisa menahan diri dan lagi-lagi menarik wajahnya dariku. Aku cukup percaya diri dengan caraku berciuman. Semua wanita yang kucium pasti begging me to bed. And now, I'm the one who's begging?

But whatever, tadi malam adalah sebuah kemajuan. Mungkin aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. Like I said, I won't push.

"Aku tau aku pasti menemukanmu di sini." Tiba-tiba Emma menyeruak masuk ke dalam kantorku dan membuyarkan lamunanku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" hardikku. Aku paling tidak suka kalau dia sudah muncul mendadak seperti ini. She's always annoying.

Emma dengan nyamannya duduk di sofa dan menyalakan TV. "Aku mencarimu di apartemen, tapi mobilmu tidak ada. Mrs. Everett bilang kau baru pergi siang ini, jadi kutebak kau kemari. Benar, kan?" Dia berbalik ke arahku sambil mengedipkan sebelah mata.

"Ketiga ponselmu rusak?" tanyaku sarkastik. Aku tidak pernah mengerti kenapa Emma harus menggunakan tiga ponsel sekaligus. It's not like she's the president or something.

"Aku harus menemuimu langsung untuk hal ini. Kau pasti akan kabur kalau tau aku mencarimu."

Dia benar. "Jadi untuk apa kau ke sini?"

Emma berbalik badan menghadapku dengan wajah tidak percaya. "Jangan bilang kau lupa dengan acara Sabtu ini?"

Aku membuang wajah sambil berdecak kesal. Aku lupa kalau Sabtu ini ada acara barbeque di rumah Mom yang memang diadakan hampir setiap dua bulan. Yang datang adalah keluarga besar Dad, dan aku tidak suka mereka kecuali Gram dan uncle Daryl. Dan aku suka uncle Daryl karena dia sama sepertiku, hanya datang karena terpaksa.

"Ayolah. Kau tidak pernah ada di New York setiap barbeque. Setidaknya kali ini selagi kau di sini, datang lah sekali-kali."

Aku berdecak sekali lagi. "Baiklah, akan kuusahakan."

"Pokoknya kau harus datang."

"Lihat nanti."

Kupikir dia akan pergi begitu pembicaraan ini selesai, namun rupanya dia malah semakin nyaman tiduran di sofa sambil menonton TV. "Kenapa kau masih di sini?"

Giliran Emma yang berdecak. "Memangnya tidak boleh? Ini perusahaanku juga."

Mataku menyipit kesal menatapnya, dan dia melakukan hal yang sama. "Kenapa kau tidak bersantai di rumah sakit saja?" usirku.

"Aku sedang libur," jawabnya ringan.

"Andai saja kau cukup laku untuk mendapat pasangan yang bisa menemanimu liburan," sindirku.

Tanpa menoleh, Emma mengangkat jari tengahnya ke arahku. Very mature.

Melihatnya dengan santai menonton TV, aku teringat sesuatu. "Kenapa kau meminta mantan kekasihmu untuk menjaga Kaniss?"

"Mereka satu departemen dan kurasa itu bukan hal yang aneh," jawab Emma tanpa menoleh. "Tunggu." Barulah Emma berbalik badan. "Bagaimana kau tau soal itu? Kau bertemu Aiden? Atau kau dan Kaniss sudah baikan?" Mataku menyipit jengah mendengar rentetan pertanyaannya. "Baguslah kalau kau dan Kaniss baikan. Tidak baik kalau bertetangga tapi musuhan. Ngomong-ngomong aku tidak tau kau masih tinggal di sana kalau sedang di New York. Kupikir kau tinggal di apartemenmu di Upper East. Lagipula bukannya kau bilang kau mau ke Peru?"

Oh, God, kenapa kakakku bawel sekali?

"Beritahu Aiden kalau kau tidak lagi membutuhkan bantuannya untuk menjaga Kaniss," perintahku tanpa menggubris ocehannya.

Alis Emma mengernyit heran menatapku. "Maksudmu?" Lalu reaksinya mendadak berubah. Kedua alisnya terangkat seolah baru menyadari sesuatu. "Tunggu sebentar! Kau dan Kaniss?"

Aku hanya memutar bola mataku menanggapinya. Dan kemudian dia memekik kencang sampai telingaku sakit. Sudah kutebak reaksinya pasti akan seheboh ini.

"Ah, aku senang sekali! Sejak awal aku sudah tau kalau kalian itu berjodoh! Dan, ingat! Aku yang membawa Kaniss ke sini, jadi aku yang berjasa. Kau berhutang besar padaku!"

Terkadang aku suka lupa berapa usia Emma sebenarnya. Dia bertingkah layaknya anak remaja yang baru saja mengalami puber.

"Kau harus membawanya ke acara Sabtu ini!"

"Apa? Tidak," reflekku membantah. "Lagipula Kaniss tidak akan mau." Aku tidak tau Kaniss akan menolak atau tidak, tapi dengan membawanya ke acara itu, aku akan menjadi pusat perhatian. Untuk datang saja malas, apalagi menjadi orang yang harus menanggapi setiap pertanyaan yang mereka ajukan.

"Biar aku yang coba."

Melihat tangan Emma terangkat meletakkan ponselnya ke telinga, aku reflek berdiri untuk menghentikan usahanya. Tapi sebelum aku sampai ke Emma, Kaniss sepertinya sudah menjawab.

"Halo?" suara Emma annoyingly cheerful. Bisa kubayangkan Kaniss mengernyit heran menerima telfon dari Emma. "Apa kabar?... Oh, bagus. Aiden menjagamu dengan baik berarti." Emma melirik ke arahku sambil menyeringai licik. Aku tau dia sengaja mengatakan itu untuk membuatku kesal.

"Berikan padaku," geramku berusaha menarik ponselnya dari telinganya. Tapi Emma menghindar.

"Sssst!" desis Emma sambil menjauhkan ponselnya sesaat. "Jadi begini Kaniss, hari Sabtu kamu libur, kan?... Bagus. Aku mau ngundang kamu ke acara barbeque di rumah ibuku. Mudah-mudahan kamu bisa datang dan pastikan Ezra juga datang."

Aku diam, penasaran dengan jawaban Kaniss.

"Oh, yay! That will be great. I'll see you there then."

Tanpa sadar aku membuang nafas lega. "Sini," dengan paksa kurebut ponsel Emma dari tangannya. "Hai," sapaku.

"Hai." Seringai tipis Kaniss terlintas di benakku, membuatku reflek ikut menyeringai.

"Lo beneran mau dateng ke acara keluarga gue?"

"Kalo lo dateng."

Aku mengulum senyum mendengar jawaban Kaniss. Aku yakin dia melakukan hal yang sama. "Okay, then. Have you changed your emergency call number?"

"Done."

"Nice. I'll see you tonight then."

Emma menatapku dengan wajah seperti menahan angin ketika aku menutup telfon ini dan menyerahkan ponselnya kembali. "Apa?" hardikku.

"Kau tersipu!" What the hell? "Adikku bisa tersipu!"

"Shut up." Aku kembali ke balik mejaku, berharap Emma segera pergi.

CollidedWhere stories live. Discover now