Chapter 45 - Did I Say That Out Loud?

22.8K 2.5K 22
                                    

Tak lama makanan dan bill kami datang. Usai membayar, aku menunggu sejenak. Ketika Kaniss bertanya kenapa aku masih diam, kubilang aku hanya mau memastikan kalau waiter ingusan itu memberikan uang yang kutitipkan padanya langsung ke bapak itu. Enak saja kalau dia menelan uang itu sendiri.

"Kenapa ga ngasih sendiri kalo gitu?" tanya Kaniss ketika kami akhirnya keluar dari kafe ini setelah memastikan kalau lembar seratus dolarku sudah di tangan bapak itu. Sangat jelas, bapak itu senangnya bukan main. Tapi yang kuperhatikan hanya raut wajah Kaniss yang seketika berubah cerah. And that's all that matters.

"Kecil kemungkinannya dia nerima. Dia pasti takut dimarahin bosnya kalau nerima uang dari pelanggan. Besides, it saves him his dignity," jawabku santai. Dan ketika kulirik Kaniss yang berjalan di sampingku, dia tengah menatapku sambil mengulum senyum. "What?"

Masih sambil mengulum senyum dia menggelengkan kepalanya. What's wrong with her?

"Sekarang kita mau ke mana?" tanyanya begitu kami sudah masuk mobil.

"I'm thinking... pizza?" alisku terangkat satu melirik Kaniss.

"Terus ini?" Dia mengangkat bungkusan makanan kami.

"I have something in mind. For now, kita makan pizza dulu."

Aku mengajaknya ke parlor pizza favoritku. Tempatnya sangat kecil, tapi pizzanya luar biasa. Dan pemiliknya, orang asli Italia, sudah membangun parlor ini sejak tiga puluh tahun yang lalu.

Aku memesan satu loyang pizza medium untukku dan Kaniss.

"Makannya berdiri?" bisik Kaniss, padahal belum tentu ada yang mengerti bahasa Indonesia di sini.

"Yap." Memang tempat ini tidak memiliki bangku. Hanya beberapa meja bundar yang cukup tinggi untuk para customer makan.

"Oke," ucap Kaniss kemudian berlagak seperti warga lokal yang sudah terbiasa makan di sini.

Setelah dua puluh menit, pizza yang kami pesan habis. Well, I took more than half. Kaniss sudah bersiap pergi dari kafe kecil yang ramai ini, tapi aku menahannya.

"Sebentar." Kaniss menatapku bingung, tapi aku meninggalkannya sejenak untuk mengambil pesanan pizza untuk kubawa pulang. Total, dua puluh kotak pizza. Tentu saja satu orang pekerja di parlor ini membantuku membawa semua pizza ini ke dalam mobil.

Kaniss tentu saja terkejut. "Banyak banget?!" Kedua mata bundarnya tidak santai sejak aku membawa pizza ini sampai ke dalam mobil. "Buat apaan, Ez?"

"You'll see," ujarku sambil menyeringai licik dan menjalankan mobil ini.

Aku membawa Kaniss ke daerah Manhattan yang paling banyak dihuni gelandangan; Harlem dan Midtown. Makanan yang kami bungkus dari restoran itu kami berikan pada gelandangan pertama yang kami lihat. Awalnya Kaniss masih tidak percaya dengan apa yang akan kami lakukan. Tapi kemudian dia semakin bersemangat. Kami menyusuri jalanan sembari memberikan pizza-pizza tersebut kepada gelandangan yang kami temukan.

Jujur, aku sendiri juga tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tidak dengan jumlah pizza sebanyak ini. But it just happened. I didn't think much. Aku cuma mau melihat lagi senyum Kaniss ketika melihat bapak di restoran itu bahagia menerima uangku. I'm not exaggerating. That smile really is addictive.

Awalnya aku sempat khawatir, karena bukannya senyum itu yang kulihat, melainkan kedua matanya yang berkaca-kaca tidak tega melihat nasib gelandangan-gelandangan ini.

But then I saw it. That smile. That brighten eyes.

I'm hooked.

Selama membagikan makanan ini, yang kuperhatikan hanya wajah Kaniss. Alright, I'm also happy doing this for these grateful homeless people. Tapi bagaimana aku bisa mengalihkan pandanganku from something this beautiful? She seems truly happy and I never seen her like this. She cried, she laughed, and she even hugged those people willingly. Bukannya aku berlagak or anything, tapi siapa yang tau kapan terakhir kali mereka mandi?

Dan ketika kotak pizza kami habis, I cursed myself for not buying more. I don't mind buying the whole parlor just to see her like this for a little bit longer.

"Thank you banget, banget, Ez, for doing this," ucap Kaniss ketika kami sudah berada di dalam mobil setelah membagikan kotak pizza terakhir. "You've made me so, so, so much happy. Ngeliat mereka seseneng itu cuma gara-gara sekotak pizza? Hhh... gue ga pernah ngerasa sebersyukur ini sama hidup gue. And trust me, udah lama banget gue ga tau rasanya bersyukur. This is just..." Melihat Kaniss kehabisan kata-kata, suaranya sampai bergetar, aku hanya bisa terpaku. Aku tau Kaniss akan senang dengan hal ini, tapi aku tidak sangka akan sampai sesenang ini. "Thank you," ucapnya sungguh-sungguh dengan kedua mata berbinar itu.

And I'm completely stunned. I never felt anything close to this.

"I love you."

Kedua alis Kaniss terangkat tipis. "Hah?"

Did I just say that out loud?

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang