Chapter 44 - Empathy

22.8K 2.4K 22
                                    

EZRA

Mood-ku berantakan karena dihadapkan dengan pemandangan Kaniss jalan berdua keluar dari lift bersama Aiden sambil tertawa-tawa. As if they were actually going out together.

Fuck it. She's mine. And no matter how funny he is, she's still mine.

Kadang-kadang aku berfikir apa aku akan tetap se-anti ini dengan Aiden kalau dia tidak pernah membopong Kaniss dalam keadaan mabuk berat ke apartemenku tengah malam? Everytime I thought about that, I feel like laying a punch or two onto his face. Masalahnya, beruntung malam itu dia dibawa ke apartemenku, bagaimana kalau Kaniss memberikan alamat apartemennya yang kosong? Apa rencana Aiden saat itu? Menemaninya tidur? Menggantikan pakaiannya yang lembab?

Fuck it.

"Gue ke toilet sebentar," pamitku ketika Kaniss sedang memesan makanan pada waiter muda yang menatap Kaniss tidak santai. Matanya bahkan tidak berkedip menatapi Kaniss yang masih membaca buku menu. Apa dia tidak sadar kalau ada aku di sini? Now I feel like laying a punch or two onto his face.

Oke, this is getting crazy. I need a restroom.

Aku mencuci mukaku sekedar untuk menyegarkan diri. Aku benar-benar dibuat jengah dengan pemandangan Kaniss tertawa bersama Aiden. I mean, I don't see her as a laughing type. Sejak pertama kali aku bertemu dengannya, she's always bitter to almost anyone. She's polite, of course. Well behaved, and respectful. Tapi aku tau dia tidak mudah merasa nyaman dengan orang lain, let alone with him who she knows for only like what? A month? Dan bukan kali tadi saja aku melihatnya tertawa lepas bersama orang itu. I didn't know what he said, but she laughed and looked happy the other time, outside the surgery room. When she didn't even pick up my calls because she didn't want anyone else to be her mentor.

Honestly, she could be so much frustrating.

Knowing I won't feel better just by washing my face, aku kembali ke meja. Kaniss terlihat berbeda. Dia termenung menatapi meja yang masih kosong.

"Are you alright?"

"Hah?" Dia mengadah menatapku. "Oh, gapapa."

Aku masih diam curiga melihatnya bersikap aneh. Dia terlihat, I don't know, gugup?

"Are you sure you're alright?"

Dia mengangguk cepat sambil memaksakan diri untuk tersenyum. What the hell happened? She was totally fine when I left her for like two minutes.

Selagi Kaniss kembali sibuk dengan pikirannya sambil menatapi meja, aku melihat sekitar, mencari kemungkinan kalau ada yang membuatnya segugup ini. Tidak ada wajah familiar.

Sampai akhirnya aku sadar, Kaniss bolak-balik melirik ke arah pria paruh baya yang sedang mengepel lantai kafe ini.

"Did he do something to you?" tanyaku dengan dahi mengerut tajam.

"Hah?" Kaniss terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Dia menoleh cepat ke arah pria itu lalu kembali menatapku. "Engga," bantahnya panik. "Bukan gitu."

Aku mengernyit tidak mengerti, "terus?"

"Gue..." Kaniss menggigit bibir bawah, tanda kalau dia gugup, "gue ngerasa ga enak..."

Aku menarik wajahku semakin heran. "Ga enak? Maksud lo?"

"Iya..." Dia menatap meja kosong di antara kami. "Gue paling ga tega kalau liat bapak-bapak kayak gitu." Aku diam menunggu penuturannya, tidak lagi bingung karena aku sudah tau arah penjelasannya. "Masalahnya, Ez, kalau bapak-bapak gitu, gue kepikiran keluarganya. Dia punya keluarga ga ya, di rumah? Dia ngerasa gagal jadi kepala keluarga ga ya? I mean, lo mesti liat tadi pas dia permisi buat ngepel lantai di meja itu." Aku menoleh melewati bahuku ke meja yang ditunjuk Kaniss. Ada empat anak muda yang sedang tertawa menikmati makan mereka. "Orang itu yang numpahin minumannya. Tapi pas bapak-bapak itu ngepel di bawah kakinya, dia ngegeser juga engga. Malah ketawa-ketawa sama temen-temennya seolah-olah bapak itu ga ada." Kaniss bergidik sambil mengusap lengannya sendiri. "Gue paling ga bisa liat yang kayak gitu."

Aku mengulum senyum melihatnya masih gugup melirik ke arah bapak-bapak itu. She always amuses me in someways. "You know what? Let's go somewhere else."

"What? Jangan malah jadi pergi gara-gara gue."

"Well, yeah," aku mengangkat bahuku ringan, tidak peduli kalau Kaniss keberatan. Aku mengangkat tanganku memanggil waiter yang tadi mengambil pesanan kami. "Tolong bungkus makanan kami, dan segera bawakan bill." Waiter muda itu mengangguk. "Dan satu lagi," aku merogoh kantongku mencari dompet, lalu mengeluarkan selembar uang seratus dolar. Wajah waiter ini berubah syok sekaligus senang. Mungkin dia mengharapkan ini tip untuknya. You wish. "Berikan uang ini pada bapak-bapak itu. Kau tidak perlu bilang siapa yang memberikannya."

Masih dengan wajah syoknya, waiter ini menoleh mencari bapak-bapak yang kumaksud. "Semuanya?" Dia menatapi satu lembar seratus dolar yang sudah di tangannya.

"Of course, dumbass." Aku sudah bersiap disela Kaniss yang protes dengan pilihan bahasaku, tapi kali ini dia diam saja. Aku baru kembali menoleh ke Kaniss ketika waiter itu beranjak dari meja kami.

"Itu seratus dolar?" tembak Kaniss dengan wajah tak percaya. Aku hanya mengangkat kedua alisku singkat, malas membahas jumlah yang kukeluarkan.

CollidedWhere stories live. Discover now