Chapter 40 - BBQ Party

24.6K 2.5K 13
                                    

Aku menyambut tangannya lalu kembali dikejutkan dengan apa yang ada di hadapanku. Ada kolam renang cukup luas di bawah kami dan di seberangnya ada pekarangan hijau luas yang dikelilingi hutan pinus di mana akhirnya aku melihat sekumpulan orang sedang pesta BBQ bersama.

Yang pertama sadar kemunculan kami adalah Emma. Tapi dari jarak sejauh ini, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang pasti dia melambaikan tangannya dan berteriak, "Ezra! Kau datang!"

Karena teriakannya, semua orang yang ada di sana menoleh ke arah kami. Mereka semua melambaikan tangan meminta Ezra cepat ke sana. Aku reflek menelan ludah.

"Denger," Ezra berbisik di telingaku. "they'll definitely like you, but you don't have to like them. They are annoying most of the time. Kalo lo udah ngerasa ga comfortable, give me a code and we'll leave this place right away."

"Leave this place?" aku menatap Ezra heran. "I don't wanna leave this place." Aku kembali memandangi apa yang ada di sekelilingku. Bagian belakang rumah ini bahkan jauh lebih megah dari bagian depan.

Kami harus berjalan melewati kolam renang dan peretelannya untuk mencapai tempat BBQ berada. Tidak heran dari luar dan dalam rumah tidak terdengar apa-apa. It takes like what, ten minutes? Cuma untuk berjalan dari depan rumah sampai ke pekarangan belakang.

"Keluarga lo ga takut ada orang jahat masuk? Pintunya ga dikunci dan ga ada orang di depan."

"Will you be suprised kalo gue bilang pintu rumah gue pake sensor jari, makanya gue bisa masuk?"

Mulutku menganga lebar. Sensor jari?

Lalu Ezra tertawa. "Bercanda. Ada CCTV di seisi rumah ini dan ada security yang merhatiin di control room."

Mataku menyipit kesal sambil membuang nafas. "Kirain." Walaupun CCTV dan control room terdengar keren, tetap tidak segila sensor jari.

"Ezra, aku senang kau memutuskan untuk datang." Mamanya Ezra memeluknya hangat, bertepatan dengan Emma menyapa dan memelukku singkat. Aku tau itu mamanya Ezra karena aku pernah bertemu dengannya sekali, waktu acara debutante bertahun-tahun yang lalu. Dan, God, beliau bahkan terlihat lebih cantik dari waktu itu.

"Kau harus berterima kasih padanya, Mom." Emma mendorongku pelan menghadap mamanya. Seketika tubuhku berubah kaku. Aku tidak tau bagaimana harus bersikap.

"Tentu saja." Dengan ramah mamanya Ezra memelukku. "Emma sudah bercerita banyak soal kamu." Aku cukup kaget ketika mamanya Ezra menggunakan bahasa Indonesia. Aku tau beliau memang orang Indonesia keturunan Arab—beliau tantenya Rizky, remember? Tapi tetap saja aku terharu beliau menggunakan bahasa Indonesia denganku. Membuatku lebih merasa diterima. Hanya saja sekarang aku bingung harus menggunakan bahasa apa dengan siapa.

"Semoga yang baik-baik, ya," ucapku berusaha santai.

Tante Fira mendengus tertawa. "Tentu saja. Tante udah suka sama kamu sebelum kamu muncul."

Aku melirik curiga ke arah Emma, penasaran dengan apa saja yang dia ceritakan.

"Ayo, anggap saja rumah sendiri." Tante Fira merangkulku mengajak untuk berkumpul dengan keluarga mereka. Giliran Ezra yang kulirik, berharap meminta bantuan, tapi dia malah mengulum senyum seolah terhibur.

Begitu sampai di kumpulan orang-orang itu, Ezra yang mengambil alih mengenalkanku pada keluarganya. Butuh waktu sampai lima belas menit untukku akhirnya berkenalan dengan seluruh orang yang ada di sini, yang ternyata tidak ada orang Indonesianya. Mungkin mereka semua keluarga Ezra dari pihak ayahnya.

Ezra mengenalkanku pada semua orang yang ada di sana. Ada tiga pamannya, dua di antaranya membawa istri dan anak-anak mereka, ada nenek Ezra yang dia panggil Gram, ada sepupunya, dua perempuan yang kira-kira seusia kami tapi sudah membawa suami masing-masing, satu laki-laki yang sedikit lebih muda, dan kuhitung ada lima anak kecil kira-kira dari umur empat sampai sepuluh tahun. Wow, keluarga Ezra dari pihak ayahnya cukup besar juga.

And I'm pretty much bad with remembering names, jadi yang kuingat hanya uncle Daryl karena dia yang terlihat paling dekat dengan Ezra karena Ezra terlihat beneran senang ketika mengenalkan pria tersebut padaku—uncle Daryl itu yang belum menikah, by the way, dan usianya kuperkirakan akhir tiga puluhan. Lalu aku ingat aunt Marie dan aunt Lisa, karena mereka kelewat ramah dan bicara cukup banyak denganku sehingga aku mau tidak mau hafal nama mereka. Dan tentu saja aku ingat Gram, karena beliau hanya mengenalkan diri sebagai Gram. Walaupun sudah tua, Gram terlihat penuh semangat dan senang sekali ketika Ezra mengenalkanku pada beliau. Bisa kulihat juga, Ezra sangat sayang dan hormat pada Gram. Kedua mata Ezra memancarkan hal itu—sesuatu yang hampir tidak pernah kulihat dari Ezra. Ezra dan hormat tidak pernah berada di satu kalimat positif.

Dan rupanya kedua mata Ezra terus bercahaya selama aku diajaknya berkeliling berkenalan dengan keluarganya, terlebih ketika lima bocah itu mengerubunginya. Ezra langsung mengangkat bocah laki-laki yang paling kecil ke atas pundaknya. Ini sama sekali di luar dugaanku. Ezra selalu bersikap seolah dia anti dengan keluarganya, tapi rupanya hari ini dia membuktikan hal yang bertolak-belakang. Di sekitar uncle Daryl, Gram, dan lima bocah ini, Ezra menunjukan sisi yang tidak pernah dia tunjukan sebelumnya. Dan ini membuat hatiku terenyuh. I feel like I wanna kiss him, right here right now.

Dan saking gemasnya, aku sampai membisikan hal itu pada Ezra. "You have no idea, sepengen apa gue nyium lo sekarang." Aku sengaja berbicara dengan bahasa Indonesia agar Jason, yang masih duduk di pundak Ezra, tidak mengerti.

Ezra terlihat terkejut dengan ucapanku. Dia diam syok sesaat sebelum akhirnya merespon, "well, you can kiss me." Mataku melotot galak karena dia menggunakan bahasa Inggris. Apa dia tidak mengerti kalau aku tidak mau sampai bocah empat tahun ini dengar?

"Iya, kau bisa mencium uncle Ez." Benar, kan? Jason menyahuti Ezra dengan polosnya.

"Ez," tegurku geram, masih sambil memelototinya.

"What?" tanyanya sambil tertawa. "You heard what Jason said."

"Kiss him! Kiss him!" Dan somehow bocah-bocah lain yang tadi bermain di sekitaran kami sekarang menjadi paduan suara yang memintaku mencium Ezra.

Benar-benar, ya, bocah Amerika. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berjalan menjauh dari mereka sebelum aku beneran harus mencium Ezra. Well, tentu saja aku sangat mau mencium Ezra, tapi tidak di depan orang-orang, terlebih anak kecil. Aku belum se-'barat' itu.

CollidedWhere stories live. Discover now