Chapter 11 - Unexpected Encounter

40.8K 4.3K 23
                                    

KANISS

Aku masih mematung menatap Ezra yang berdiri di pintu bahkan ketika cangkir yang tadi kupegang sudah menghantam lantai dan membuat bunyi yang nyaring. Ezra menatapku sama syoknya. Sama sekali tidak bergeming dengan bunyi barusan.

Baru beberapa detik kemudian aku mengalihkan pandanganku dari Ezra dan segera berlutut merapikan pecahan gelas walaupun lebih seperti memindahkan pecahan-pecahan tersebut tanpa benar-benar merapikannya. Aku masih syok. Sangat syok. Dan aku yakin Ezra juga sama karena baru beberapa saat kemudian kulihat kedua kaki Ezra cepat melangkah dan dia kemudian ikut berlutut di hadapanku. Ikut merapikan pecahan gelas ini.

"Sorry, I'm so sorry," gumamku tidak jelas. Tidak berani menatap wajahnya. Aku tidak tau apa aku meminta maaf karena sudah memecahkan gelas ini, atau karena hal lain. Aku terlalu gugup.

Ezra tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa melihat tangannya bergerak merapikan pecahan gelas. Aku terlalu tegang untuk melihat wajahnya. Ezra di sini? Apa apartemen ini miliknya? Apa yang sedang terjadi?

Ketika lantai dapur sudah bersih dari pecahan kaca, aku kehabisan akal harus melakukan apa lagi untuk menghindari situasi canggung ini. Aku masih berdiri dengan bodoh di tempat ketika Ezra tanpa berkata apa-apa berjalan menuju sofa dekat dengan kasur dan duduk di sana.

"Sit here." Akhirnya dia bersuara. Suaranya masih berat, masih parau, masih menenangkan, masih sama seperti dulu.

Sadar kalau dia bicara padaku, aku perlahan berjalan mendekat sambil menggigit bibir bawahku tegang. Belum pernah aku merasa seingin ini untuk menghilang.

Aku duduk dengan tegang di sofa single di hadapannya. Aku meremas celana piyamaku menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi Ezra hanya menutup wajahnya dengan sebelah tangannya yang bertumpu di atas pahanya--beberapa kali memijat pangkal hidungnya. Kuambil kesempatan ini untuk memperhatikan penampilannya. Rambut ikal coklat keemasannya sudah lebih panjang dari terakhir kali aku melihatnya. Kulitnya terlihat lebih cerah, mungkin karena sudah lama tidak hidup di daerah tropis. Dia seharusnya berada di London, bukan?

"Lo..." Ezra mulai berbicara, masih dengan wajahnya di balik tangan. Aku menarik nafas tegang. "Kok... bisa..." Ezra menarik nafas panjang. "Did you even know this is my apartment?"

Ternyata benar. Ini apartemennya. Sekarang apa yang harus aku katakan? Ini benar-benar memalukan. Kenapa Emma tidak mengatakan hal ini sebelumnya? Ini bukan hal yang mungkin dia lupa katakan padaku. Oh, Kaniss, ini kunci apartemenmu, dan ngomong-ngomong Ezra tinggal di seberang lorong. Dia memang sekarang di London, tapi jangan kaget kalau tiba-tiba dia muncul. Dan lebih baik lagi kalau kamu tidak sedang berada di apartemennya ketika dia datang. Apa sulitnya memberiku sekedar peringatan?!

Aku menggelengkan kepalaku menjawab pertanyaannya. Sadar kalau Ezra tidak menatap langsung ke arahku, baru aku bersuara, "engga, gue ga tau."

Barulah Ezra mengadah menatap kedua mataku. Dan ini membuatku semakin tegang. Terlebih dengan caranya menatapku tanpa mengatakan apa-apa dan justru menghela nafas panjang.

"Gue beneran ga tau."

"How'd you even here? Di New York. Di apartemen gue."

Aku setengah mati ingin tau apa yang dia fikirkan sekarang. Apapun itu kuharap dia tidak berfikir kalau aku seorang psikopat yang mengikutinya kemana pun dia pergi. "Ceritanya panjang."

"I'm listening," ucapnya cepat. Dia terlihat... geram? Apa dia marah? Tentu saja dia marah. Aku muncul begitu saja di apartemennya mengenakan piyama dan kasurnya sudah berantakan.

"Gue..." aku tidak tau mulai dari mana, "gue ikut program internship tiga bulan di NYU Langone."

Aku belum selesai bicara tapi Ezra sudah membuang nafas seolah akhirnya mengerti situasi yang sebenarnya. "Emma," gumamnya pelan tapi aku masih bisa dengar dari gerakan bibirnya. "Did she give you this apartment?" Kali ini dia benar-benar terdengar geram.

"Iya, tapi—"

"How long have you been here?"

Aku masih mau melanjutkan jawabanku untuk pertanyaannya yang sebelumnya, tapi tidak jadi kulakukan. "Seminggu."

Ezra berdecak sambil membuang wajahnya. Aku masih tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan.

"Gue bukan tinggal di sini seminggu. I mean, gue nyewa apartemen di seberang apartemen lo. Penghangat ruangannya lagi rusak, jadi gue dikasih kunci apartemen ini dan Mrs. Everett bilang gue boleh di sini sampai besok pagi. Gue baru di sini beberapa jam doang."

"Mrs. Everett..." lagi-lagi Ezra bergumam sendiri.

"Tapi lo ga perlu khawatir. Sekarang juga gue balik lagi ke apartemen gue. Lagian udaranya udah ga sedingin tadi," lanjutku cepat.

"It's still freezing," bantah Ezra cuek. Dia terlihat sedang berfikir keras. Dahinya mengerut kencang.

"Well," aku cuma punya satu pilihan. "Gue bisa ke hotel."

"No..." Ezra menarik nafas panjang. "It's late. You can stay."

Kedua alisku terangkat. Aku boleh menginap di sini? Secara reflek, otakku memutar memori ketika terakhir kali aku bertemu dengan Ezra. Bukan yang paling terakhir, tapi ketika kami menghabiskan malam bersama di kamarku. Wajahku langsung memanas dan jantungku semakin berdegup tidak karuan.

"Gue aja yang ke hotel."

Aku cepat mengadah karena Ezra sudah berdiri. "Oh," aku bahkan tidak sadar aku kecewa sampai suaraku sendiri yang membuktikannya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ezra berjalan menuju pintu keluar.

Sebelum aku bisa menahan diri, aku sudah bersuara, "koper lo?" Duh. Aku sekarang terdengar seperti mengusir Ezra dari apartemennya sendiri. Padahal bukan itu maksudku.

Ezra melirik ke arah kopernya yang masih berada dekat dengan dapur. "Gue ga butuh, kan? I thought you'd be leaving by morning?"

Ouch. "Iya."

Ezra pun keluar dari apartemen ini dan menutup pintunya.

Apa yang baru saja terjadi?

CollidedWhere stories live. Discover now