Chapter 12 - It Wasn't Me Who Started It

41.6K 4.3K 81
                                    

Aku tidak bisa tidur. Tentu saja. Otakku berputar keras berusaha memproses apa yang terjadi. Ezra yang tiba-tiba muncul dan aku yang ternyata berada di apartemen miliknya. Dan yang lebih parah, aku terus membayangkan detail wajah Ezra. Alisnya hampir selalu menyatu setiap diam dan berfikir. Tangannya yang besar dan jari-jarinya yang panjang. Bibirnya ketika berbicara. Aku baru terlelap ketika matahari mulai terbit. Itu pun setelah aku terus bergumam mengulangi kalimat yang ratusan kali kuucapkan, "I've moved on. Way moved on. I'm over Ezra. Way over."

Aku baru bangun jam sembilan. Aku tau aku terlambat, tapi aku enggan bergerak cepat. Kalau tidak ingat aku membayar mahal untuk program ini, ingin rasanya aku hari ini tidak ke rumah sakit.

Aku masih menggeliat di atas kasur ketika aku mendengar suara dari luar pintu. Walaupun suaranya tidak jelas, tapi aku tau itu suara Ezra. Dan ada suara wanita bersamanya.

Entah apa yang kupikirkan, dengan cepat aku langsung berlari ke dalam kamar mandi. Apa yang kulakukan bersembunyi di sini? Aku merasa bodoh tapi tidak cukup berani untuk keluar. Aku belum sanggup untuk bertemu Ezra, apalagi dia membawa seseorang dengannya.

Kudengar suara pintu dibuka.

"What the hell were you thinking?!" Ezra terdengar marah. Aku deg-degan sambil menempelkan telinga di daun pintu kamar mandi. "You have no right, at all."

"Aku tidak tau kau akan kembali secepat ini." Ternyata perempuan yang bersama Ezra adalah Emma.

"Itu bukan alasan. Kau membawanya ke sini dan membiarkannya tinggal di apartemenku. Sungguh, Emma, kalau kau bukan kakakku, aku tidak tau apa yang akan keluar dari mulutku."

Aku sadar mereka membicarakanku. Aku tidak suka cara Ezra berbicara seperti ini, seolah dia sangat benci padaku. Aku tau dia tidak mengharapkan kemunculanku, tapi apa yang sudah kulakukan sampai dia segininya denganku?

---

EZRA

"Reaksimu berlebihan, kau tau itu?"

Aku memijat keningku geram. Emma sudah lancang membawa Kaniss ke apartemenku dan sekarang aku yang berlebihan?

"Kau tidak tau apa-apa."

"Tidak tau?" Dan sekarang Emma menantangku. Aku tau kakakku ini memang sangat menyebalkan, tapi ini kelewat batas. "Aku tidak lihat ada yang salah dengan Kaniss. Justru kau yang bersikap aneh."

Oke, cukup. "Dengarkan aku baik-baik. She's damaged. Completely. Dia ditinggal mati tunangan pertamanya dan butuh waktu lama untuk bisa hidup normal. Tapi ketika dia mencampakkan tunangannya yang kedua, kau tau siapa yang langsung dicarinya? Aku. Dia menungguku pulang ke rumah hanya untuk memberi kabar kalau dia baru menyudahi hubungannya. Menungguku pulang, Emma. Dua jam. Dia mau aku bertanggung jawab atas pertunangannya yang gagal. Dia terlalu berharap lebih. Dan sekarang dia di sini. Di apartemenku. She's mental."

Emma terdiam mendengar ucapanku. Bagus lah. Kuharap dia mengerti dan tidak lagi ikut campur dengan urusan hidupku.

Tiba-tiba bunyi pintu kamar mandi terbuka. Aku dan Emma sama-sama menoleh ke asal suara.

For fuck's sake.

"Aren't you supposed to be out by now?" lidahku reflek berucap.

Kaniss terdiam menatapku. Aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Bahkan lebih dari ketika malam itu dia menemukan kabar kalau tunangannya yang sudah mati ternyata pernah berselingkuh. Aku tidak sanggup melihat kedua matanya. Aku tidak bermaksud untuknya mendengar ucapanku barusan.

"Iya, gue pergi sekarang," jawabnya dingin.

Kulihat dia merapikan barangnya yang hanya segelintir lalu bergerak keluar. Tapi ketika dia sudah membuka pintu apartemen ini, dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahku.

Aku reflek membuang pandanganku dari wajahnya. Kenapa aku bisa tidak sadar kalau dia masih ada di apartemen ini?

"Dengar," Kaniss terdengar sangat geram. "Hidup gue baik-baik aja waktu lo pergi. Gue dateng ke sini sama sekali ga ada urusannya sama lo. Dan terserah kalo lo masih ga bisa percaya, tapi gue sama sekali ga tau lo tinggal di sini."

Sekilas kulihat Kaniss mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Emma. Emma menunduk, terlihat merasa bersalah. She deserves it. Dia sudah melewati batas dengan menyampuri urusanku dan menjebak Kaniss.

"Dan asal lo tau. Bukan gue yang mulai apapun yang kita lakuin."

Aku memberanikan diri menatap kedua matanya. Kedua mata yang sudah lama tidak kulihat tapi sekarang menatapku berkilat. Dia benci padaku. Aku tau itu. I deserve it.

"Kau harus meminta maaf padanya, Ezra," ucap Emma ketika Kaniss sudah menutup pintu apartemen ini dengan kasar.

Aku mengernyit tidak mengerti menatapnya. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal itu setelah menjadi penyebab semua ini?

"Kau yang seharusnya meminta maaf." Dengan melangkah cepat aku masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya kasar, berharap Emma sudah pergi ketika aku keluar. Fuck it. Baru kali ini aku menyesal sudah membangun apartemen studio seperti ini. Akan lebih baik kalau aku memiliki ruangan lain selain kamar mandi untuk menghindar dari tamu yang tidak diinginkan.

Tentu saja, aku tidak pernah mendapati tamu tidak diundang sebelum ini.

CollidedWhere stories live. Discover now