Chapter 7 - You're Not My Type

44.4K 4.7K 90
                                    

Walaupun jelas-jelas tertera di agenda program kalau jam pulangku adalah jam lima sore, setelah kelas selesai—setiap harinya aku akan mengikuti kelas teori dari jam tiga—aku baru diijinkan pulang jam delapan malam. Ini baru hari pertama dan aku sudah lembur. Yang bodohnya lagi, aku tidak dibayar untuk ini, melainkan justru membayar, mahal. Program ini harus bermanfaat untuk karirku. Harus.

Cuaca sangat dingin. Aku menggosok-gosok kedua tanganku sebelum memasukannya ke dalam kantong jaketku ketika keluar dari rumah sakit ini. Aku rindu panasnya Jakarta. Oh, tidak, Bali lebih baik. Ah, jangan bilang aku sudah home sick di hari keduaku.

"Hai."

Aku menoleh. Seorang pria sudah ikut berjalan di sampingku. Aku ingat wajahnya. Dia salah satu suster yang sempat berurusan dengan Dr. Weisz tadi. Aku hampir tidak mengenalinya tanpa scrub hijau muda yang tadi dikenakannya.

"Hai," balasku. "Kau baru pulang juga?"

Pria itu melakukan apa yang barusan kulakukan—menggosok-gosok kedua tangannya sebelum memasukannya ke dalam kantong jaket. Rupanya cuaca di New York ini memang dingin. Bukan cuma karena aku yang belum terbiasa.

"Yes, thank God. Aku baru saja menyelesaikan shift tiga puluh lima jamku tanpa henti."

Aku tersedak. "Tiga puluh lima jam?"

Pria itu menatapku heran. "Iya, itu hal yang biasa."

Dan aku baru saja mengeluh karena sebelas jam berada di rumah sakit ini. Di Jakarta aku cukup sering mengambil shift dua puluh empat jam, tapi tidak pernah mengeluh. Di bawah intimidasi Dr. Weisz membuat sebelas jam terasa satu minggu.

"Terlebih rumah sakit sedang kekurangan suster. Kuharap mereka bisa lebih layak menggaji suster-suster. Tidak cuma menghabiskan uang memanjakan para dokter." Dia kemudian melirik kepadaku sambil berdesis. "Maaf."

"Oh, tidak apa-apa. Aku tidak dibayar di sini."

"Wow. Aku lebih beruntung darimu berarti." Dia tertawa. Tawanya terdengar renyah dan menular. Aku ikut tertawa. "Aku Logan. Logan Jones." Dia mengulurkan sebelah tangannya.

Aku menyambut tangannya. "Kaniss."

"Aku tau." Aku mengernyit bingung. "Kau sudah dikenal sebagai korban baru Dr. Weisz yang diimpor dari Asia." Aku mendengus tertawa. Logan menoleh ke arahku sambil menyeringai tipis. "Dan juga, kau makan siang dengan Dr. Miles. Otomatis kau menjadi bahan gosip hari ini."

Kedua alisku terangkat. "Oh ya? Memangnya kenapa?"

"Ayolah, kau tau kenapa."

Aku menggelengkan kepalaku polos.

Logan menghela nafas. "Apa kau tidak menganggap Dr. Miles terlalu tampan untuk menjadi seorang dokter?"

Dahiku mengernyit. Memangnya ada istilah terlalu tampan untuk menjadi seorang dokter? Memang Aiden termasuk tampan, tapi menurutku, yang masih fresh datang dari Indonesia, banyak pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik bertebaran di sini. Logan salah satunya. Mata birunya terlihat bercahaya dengan rambut blonde-nya.

"Maksudmu, Aid—Dr. Miles bukan dokter yang baik?"

"Oh, tidak, tidak." Logan buru-buru meluruskan. "Dia salah satu dokter bedah jantung terbaik. Justru itu, dia tampan dan cerdas. Kau beruntung bisa menarik perhatiannya di hari pertamamu di sini."

"Ooh, tidak, tidak. Bukan seperti itu." Aku mengibaskan sebelah tanganku di depan muka. "Dia menemaniku karena temanku memintanya mengawasiku di sini. Temanku terlalu khawatir."

Giliran Logan yang mengernyit. "Temanmu siapa?"

"Emma. Emma Reinhard. Kau kenal? Dia dokter onkologi di sini."

Kedua mata Logan membelalak. "Tentu saja! Siapa yang tidak kenal Dr. Reinhard! Bagaimana kau bisa berteman dengannya?"

Otakku secara otomatis menuturkan cerita bagaimana aku bisa kenal dengan Emma, yang tentu saja berawal dari adiknya, tapi untungnya mulutku enggan menyuarakannya. "Panjang ceritanya."

"Wow. Sudah kuduga kau bukan orang biasa. Biar kuperingati orang-orang untuk tidak lagi sembarangan bergosip soalmu."

"Maksudmu?"

"Dr. Miles dan Dr. Reinhard itu seperti cool kids di rumah sakit ini. Siapapun yang berteman dengan mereka otomatis terlihat keren. Mereka itu bisa dibilang prom king dan prom queen NYU Langone Medical Centre. Sayang sekali mereka sudah tidak bersama."

Dahiku mengernyit dan bibirku menyeringai tipis tidak percaya. "Mereka pernah bersama?"

"Kau tidak tau?"

Aku menggelengkan kepalaku.

Logan mendengus tidak percaya. "Ya sudah, kau tanya sendiri saja pada salah satu dari mereka. Aku tidak mau bergosip."

Aku manggut-manggut. Jadi Emma pernah berpacaran dengan Aiden? Ini absurd. Tapi setelah dipikir-pikir, walaupun aku baru berkenalan dengan Aiden, aku bisa membayangkan mereka berdua sebagai sepasang kekasih. Dan Logan benar, mereka terlihat sangat pantas untuk satu sama lain.

"Kau tinggal di mana?"

Aku mengadah. "Oh. Aku tinggal di daerah Murray Hill."

"Mau kuantar? Aku bawa kendaraan."

"Tidak, tidak perlu. Aku bisa berjalan kaki."

"Ayolah. Aku sudah pasti lewat sana juga. Langit sudah gelap dan salju mulai turun lagi."

Aku diam sejenak berfikir. Walaupun Logan terlihat baik dan jelas dia bekerja di rumah sakit ini, aku tetap saja khawatir kalau diantarnya pulang berduaan. Kami baru berbincang-bincang lima menit. Aku harus bisa menjaga diri.

Sepertinya wajahku mudah terbaca. "Tenang saja, kau bukan seleraku."

What?

"Oh, maaf bukan seperti itu maksudku," Logan buru-buru membenarkan ucapannya yang gamblang barusan. "Kau sangat cantik, tentu saja. Tapi seleraku lebih kepada Dr. Miles."

Hah?

Logan berdecak tidak sabar karena aku masih menatapnya bingung. "Aku gay."

CollidedWhere stories live. Discover now