Chapter 2 - The Other Reinhard

60.5K 5.2K 24
                                    

Keesokan harinya, aku mendatangi seminar yang ditawarkan prof Chandra. Selain karena aku memang tertarik dengan program tersebut, ini juga alasan bagus untukku tidak berlama-lama di rumah. Tante Erna benar-benar tidak bisa diam. Dia terus-terusan mengeluh soal keadaan di rumah yang menurutku sudah sempurna. Sebentar-sebentar AC kamarnya kurang dingin lah, makanannya kurang hangat, es batu habis. Ugh. Dan yang lebih mengesalkannya lagi, sekalinya bicara denganku, dia pasti membahas soal anaknya yang sebentar lagi akan menikah padahal usianya jauh lebih muda dariku. Ayolah, aku baru dua puluh enam hampir dua puluh tujuh. Tante Erna melihatku seolah aku ini perawan tua.

Di ruang seminar, aku duduk agak di belakang di samping teman kerjaku yang sebaya. Kursi-kursi di depan sudah diisi oleh dokter-dokter spesialis dan petinggi rumah sakit. Aku mengeluarkan jurnalku, siap mencatat.

"Lo ga ngambil buklet seminar di depan?" tanya Sasha yang duduk di sebelahku. Dia dokter umum yang belum berniat mengambil spesialis.

Aku mengangkat kedua alisku. "Oh, belom," jawabku melihat buklet di tangannya. "Coba liat."

Sasha menyerahkan buklet tersebut kepadaku, dan aku dengan cepat membaca isinya. Ada tiga pembicara yang didatangkan dari NYU Langone, satu dari departemen onkologi, satu dari bedah, dan satu lagi dari pediatrik. Mataku langsung tertuju pada nama pembicara dari departemen onkologi. Dr. Reinhard. Untuk sepersekian detik aku merasa seperti terkena serangan jantung.

Reinhard. Ezra Reinhard.

Sial. Kenapa aku harus memikirkan orang itu? Hanya nama yang kebetulan sama. Ada jutaan orang lainnya yang memiliki nama belakang Reinhard.

Aku berusaha untuk berkonsentrasi mendengarkan pembicara dari departemen pediatrik menjelaskan soal program dan keadaan di rumah sakit itu. Disusul oleh dokter dari departemen bedah. Dan ketika MC memanggil dokter dari bidang onkologi untuk maju ke podium, serangan jantungku barusan terjadi lagi.

Reinhard. Emma Reinhard.

Aku tidak pernah tau Emma Reinhard seorang dokter. Ini kebetulan yang tidak masuk akal. Apa Ezra di sini juga?

Apa yang kupikirkan? Mana mungkin seorang Ezra menemani kakaknya seminar. Belum tentu juga dia di Jakarta. Sudahlah, bukan urusanku. Inget Kaniss, you've moved on, way moved on.

Walaupun aku tidak lagi memikirkan soal Ezra, otakku terus berputar memikirkan bagaimana aku tidak pernah tau sebelumnya kalau Emma seorang dokter. Dan dia sekarang di sini, memberi seminar, di rumah sakit tempatku bekerja. Tidak ada yang bisa lebih random dari ini.

Kupikir aku sudah aman karena duduk di belakang, tapi di tengah-tengah seminarnya, mata Emma Reinhard menemukanku dan seketika ekspresinya berubah cerah. Aku reflek mengalihkan pandanganku dari wajahnya ke jurnal di atas mejaku. Emma dan Ezra memiliki tatapan yang serupa.

---

"Hai, Kaniss!"

Aku tau aku tidak mungkin bisa menghindar. Segera setelah seminar selesai, aku keluar dari ruangan. Kupikir aku sudah berhasil menghindar, tapi Emma muncul begitu saja begitu aku berhasil keluar. Thanks to antrian orang-orang yang membuatku membutuhkan waktu lama untuk keluar.

"Hai," balasku menyapanya dengan senyuman secerah yang kubisa.

"Kamu juga dokter?" Emma tidak menutupi keterkejutannya. Dalam hati aku juga bertanya hal yang sama, tapi tidak kuucapkan karena ini pertanyaan tidak penting. Sudah jelas ternyata Emma seorang dokter. Begitu juga denganku yang mengenakan jas putih ini.

"Iya. Aku ga pernah tau kamu dokter juga."

"Oh, Ezra tidak pernah cerita?"

Hh. Mendengar namanya disebut saja aku malas. "Tidak."

Emma manggut-manggut santai, tidak terlihat kecewa. "Kamu juga daftar untuk program ini?"

Baguslah kami tidak melanjutkan pembicaraan tentang orang itu. "Belum tau, masih mikir-mikir."

Kedua alis Emma mengerut. "Why? You should! Programnya bagus. Kamu bisa merasakan jadi intern di NYU Langone. Buat CV kamu juga bagus."

Aku menyeringai tipis. Memang benar ucapannya. Aku juga sangat tertarik. Tapi setelah tau ternyata Emma Reinhard juga bekerja di rumah sakit itu, rasanya nyaliku jadi ciut. "Iya nanti aku pikirin lagi."

"Let me know kalau kamu jadi daftar. Aku akan bantu sebisaku."

Oke, as much as I hate her brother, Emma Reinhard orang yang baik. Senyumnya sangat menawan, dan sangat sulit untuk tidak membalas dengan sama lebarnya.

"Oke, kamu ada kelas atau kerjaan sekarang?" tanyanya setelah aku mengangguk atas tawarannya.

Oh, tentu saja aku tau arah pertanyaannya. Aku memang tidak ada kerjaan, tapi aku tidak berniat untuk menemaninya. Aku sudah hendak berbohong, tapi wajah Emma terlalu memelas. Aku tidak tega. "Ga ada."

"Great!"Emma terlihat sangat sumringah. "Temani aku minum kopi, boleh?"    

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang