Chapter 55 - Going In

24.1K 2.2K 11
                                    

Aku terpaku sesaat ketika menapakkan kaki di tempat kejadian. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan. Paramedik, dokter, suster, pemadam kebakaran, polisi, semua lalu lalang dengan panik berusaha menyelamatkan para korban. Sekilas aku bisa lihat puluhan orang terkapar di tenda penyelamatan. Suara tangis, suara jeritan, suara ambulans, suara komando, debu reruntuhan, bersaing menjadi satu. Aku menelan ludah.

Bukan ini yang kumaksud ketika aku berharap agar IGD sibuk.

Sebenarnya aku sudah di-briefing sedikit sebelum sampai. Aku juga sudah cukup terlatih untuk menghadapi bencana seperti ini. Tapi berada di tengah-tengah ini semua membuatku seketika kehilangan arah dan tidak tau harus berbuat apa. Untungnya komando timku segera memberi perintah.

"Louis, segera pergi ke tenda dan bantu korban dengan tag kuning. Allison, pergi ke inventory dan pastikan mereka punya apa yang mereka butuhkan, bawa semua supply yang kita punya. George, bantu evakuasi korban dengan tag merah. Farah, bantu paramedik memasang triage tag pada korban yang baru diselamatkan dari runtuhan."

Timku mengangguk mantap dan bergerak cepat, termasuk aku. Ditugaskan untuk memasang triage berarti aku harus berada dekat dengan titik nol kejadian. Ini semakin memompa adrenalinku, terlebih melihat banyaknya korban yang harus ku-assess kondisinya. Tag hijau untuk luka ringan, kuning untuk yang butuh pertolongan namun tidak kritis, merah untuk pasien kritis, dan hitam untuk yang sudah meninggal atau tidak mungkin bisa diselamatkan. Aku tidak boleh sampai salah. Ini hidup dan mati seseorang.

"Farah?"

Aku menoleh mendengar namaku disebut. Rupanya Dr. Weisz. "Dr. Weisz? Bukannya anda sudah pulang?"

"Aku tinggal dekat sini, jadi aku langsung datang begitu mendengar apa yang terjadi," jawab Dr. Weisz. Dia masih mengenakan pakaian bebas namun sudah lengkap dengan tas emergency dan steteskop menggantung di lehernya. "Siapa yang menyuruhmu ke sini?"

"Tidak ada," jawabku cepat. Wajah Dr. Weisz menunjukkan kalau sebenarnya aku tidak sepatutnya datang. Aku tidak ingat ada peraturan yang melarang international intern membantu penyelamatan bencana.

Untungnya Dr. Weisz tidak menyuruhku pulang. "Kau tau yang harus kau lakukan?" Aku mengangguk. "Baiklah, jangan bertindak bodoh, oke?" Aku mengangguk sekali lagi.

Tiba-tiba salah satu tim pemadam kebakaran menghampiri kami. "Dokter, ada korban terjebak di dalam, bisa ikut saya?"

Dr. Weisz menatapku sejenak. "Ikut aku," ajaknya membuatku seketika bersemangat dan merasa dibutuhkan.

Kami mengikuti langkah tim pemadam kebakaran ke dalam reruntuhan bangunan. Kami diberikan helm sebelum masuk. Kondisi bangunan ini sudah hancur dan tidak terlihat aman. Walaupun ragu, aku tetap mengekori karena selama tim pemadam kebakaran bersama kami, kami aman kan?

Kami berhenti tidak terlalu jauh dari luar—syukurlah. Tapi aku tidak bisa menemukan korban yang dimaksud tim pemadam kebakaran, sampai akhirnya dia menunjuk ke arah reruntuhan di depan.

"Hei, kami kembali!" seru pria yang membimbing kami kemari. Aku harus memasang telinga baik-baik untuk sayup-sayup mendengar suara dari dalam runtuhan yang ditunjuk tim pemadam kebakaran.

"Tadi dia masih bisa menjawab dengan jelas. Kami rasa keadaannya memburuk," terang si pemadam kebakaran. "Apa yang bisa dilakukan?"

"Apa yang bisa dilakukan?" protes Dr. Weisz. "Apa yang kalian bisa lakukan? Tidak mungkin kami bisa mengetahui kondisinya tanpa akses ke sana. Kalian sudah coba mengangkat reruntuhan ini?"

"Sekarang masih belum cukup stabil untuk mengangkat runtuhan ini. Kami sudah coba, satu orang bisa masuk tapi aksesnya mengecil sebelum sampai ke tempat korban. Terlalu sulit," si pemadam kebakaran menjawab. "Kami ingin tau apa kalian bisa menentukan kondisi korban tersebut dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Hanya untuk tau apa dia masih bisa diselamatkan atau tidak."

Dr. Weisz menatap pria itu tidak percaya. "Kalian mau kami menentukan hidup dan mati seseorang hanya berdasarkan pertanyaan?" Tim pemadam kebakaran tersebut diam. Dr. Weisz pun mendengus lalu bergerak mendekat ke arah satu-satunya akses mencapai korban tersebut.

"Hati-hati," tim pemadam kebakaran mengingatkan.

"Terlalu sempit, aku tidak mungkin bisa masuk," ujar Dr. Weisz berjalan menjauh dari akses tersebut. Selagi Dr. Weisz membuat rencana dengan para tim pemadam kebakaran, aku mengambil kesempatan untuk mendekat dan melihat akses itu lebih jelas.

"Aku bisa," ucapku tiba-tiba, tanpa kupikirkan sebelumnya. Aksesnya memang sempit, tapi kalau dicoba kurasa aku muat.

Dr. Weisz dan tim pemadam kebakaran menoleh ke arahku serentak. "Kau yakin?" tanya Dr. Weisz ragu. Aku mengangguk. Aku hanya perlu masuk dan memastikan keadaan korban, kan? Tidak sulit seharusnya.

Dr. Weisz menoleh ke tim pemadam kebakaran. "Bagaimana situasi di dalam?"

"Seperti yang kubilang tadi, aksesnya mengecil sebelum sampai ke korban, tapi kalau bisa melewatinya, akan ada cukup ruang untuk memberi tindakan pada korban."

Dr. Weisz diam, mulutnya terkatup rapat. Dia berfikir keras. "Apa runtuhan ini aman?"

"Yes, m'am. Selama tidak dicoba untuk diangkat, runtuhan bagian ini cukup aman."

Dr. Weisz menarik nafas, dia menoleh ke arahku serius. "Kau hanya perlu memeriksa keadaannya, oke? Kalau korban sudah meninggal atau tidak lagi bisa ditolong, segera tinggalkan. Kalau korban masih bisa diselamatkan, kau hanya perlu melakukan yang perlu dilakukan. Kita akan berusaha menyelamatkannya tanpa membahayakan siapa-siapa. Ingat kata-kataku, jangan bertindak bodoh. Keselamatanmu lebih utama."

Aku mengangguk. Ucapan Dr. Weisz hanya membuatku semakin deg-degan. Aku belum begitu sadar seberapa serius tindakanku ini. Apa resiko yang kuhadapi untuk menyelamatkan orang yang tidak kukenal. Tapi aku seorang dokter, aku tidak boleh menjadi pengecut.

Ditemani satu pemadam kebakaran, aku memasuki celah yang luasnya masih lumayan. Semakin kami dekat dengan celah sempit yang dimaksud, aku semakin tegang. Tapi aku tidak mungkin mundur, ini tugasku.

"Bisa masuk?" tanya tim pemadam kebakaran yang menemaniku ketika kami sampai di celah sempit itu.

Aku mencoba. Begitu setengah tubuhku berhasil masuk, aku kembali keluar. Bahkan dengan maskerpun aku tetap terbatuk-batuk karena pasir-pasir yang beterbangan. "Bisa," jawabku.

Si pemadam kebakaran menyerahkan kotak P3K padaku. "Kau hanya perlu merangkak beberapa meter. Aku yakin dari suara korban, dia tidak terlalu jauh." Aku mengangguk sambil menyelempangkan kotak P3K itu. "Aku Alec, by the way." Si pemadam kebakaran mengulurkan sebelah tangannya ketika aku sudah membungkuk hendak melewati celah sempit ini.

"Kaniss," jawabku menyambut uluran tangannya.

Dia tersenyum tipis. "Hati-hati," ucapnya.

CollidedWhere stories live. Discover now