Chapter 32 - I'll Be There In Five

26.7K 2.9K 5
                                    

EZRA

Ponselku berdering membangunkanku. Aku baru tidur ketika matahari terbit karena semalaman aku berusaha mengenyahkan bayangan tentang Kaniss dan Aiden. Aku tidak serius menyuruhnya tidur di kasur Aiden. Kalimat itu keluar begitu saja tanpa sempat kusortir karena aku emosi. Tentu saja. Dia lebih memilih mantan Emma daripada aku, pacarnya. Apa sulitnya meminta dokter lain untuk jadi mentor sementaranya? I don't think he's that good anyway.

Kupikir Kaniss akan pulang ke apartemenku tadi malam dan kami akan berbicara layaknya dua orang dewasa. Lalu berciuman, mungkin. Make up make out is always great. Well, cleary, make up sex is better but she's still not ready and I won't push. Untuk pertama kalinya aku bersama wanita yang sama selama ini tapi tidak ada yang kulakukan lebih jauh dari mencium bibirnya. I've only been in a real relationship once before, tapi itu pun kami sudah berhubungan seks sebelum officially dating.

But this time is different. Kaniss is different. I want her, more than anything I could imagine. I want to—I have to be her first and only. Khayalan tentang Kaniss menjadi milikku seutuhnya saja sudah cukup membuatku senang. Itu kenapa aku bersabar. She's worth it. This relationship is worth it.

And I ruined it.

No. She ruined it. She picked him over me. Dan aku bahkan tidak tau di mana dia tidur semalam. I wanna punch a wall over the thought that she's with him. Perhaps drunk, again.

"Argh." Aku terpaksa bangun dari tidur singkatku untuk mengangkat telfon yang tidak berhenti berdering ini. Dari nomer tidak kukenal. Kalau sampai ini salah satu orang dari perusahaan yang lagi-lagi bertindak bodoh, aku bisa jadi akan memecat seisi departemen mereka. Mood-ku sekacau itu.

"Halo," sapaku kasar.

"Hai, Ezra?" Suara pria tidak kukenal.

"Iya, kenapa?"

"Um, ini Logan. Logan Jones."

Detik itu juga, aku terduduk panik. Aku tidak pernah bicara langsung dengan pria gay ini, tapi Kaniss cukup sering membicarakannya. Rupanya Kaniss menumpang tinggal di apartemennya setelah aku membuatnya meninggalkan apartemenku dalam keadaan marah.

"Ada apa?" Pikiran-pikiran buruk terlintas di otakku dan membuatku panik. Tidak mungkin pria ini menelfonku kalau tidak ada alasan penting. Sebelum pria ini menjawab pertanyaanku, aku sudah berdiri mencari celana jeans dan sepatuku.

"Kaniss..."

"Bisakah kau bicara lebih cepat?" sentakku kasar sambil mengenakan celana jeansku cepat. Aku tidak suka dibuat panik seperti ini.

"Kaniss sedang menangis."

What? "Apa?" Denyut jantungku mulai tenang. Kupikir sesuatu yang buruk terjadi pada Kaniss. Sangat buruk. Tapi rupanya dia menelfonku untuk mengabari kalau Kaniss menangis? Apa karena pertengkaran kami kemarin? Aku tidak mengerti.

"Iya. Sudah hampir sejam dia menangis di gudang penyimpanan. Aku sudah berusaha menenangkannya, tapi gagal. Aku tidak tau harus bagaimana lagi. Ini sudah semakin mengkhawatirkan," Jones menjelaskan. "Kupikir, mungkin kau tau harus berbuat apa."

Aku masih mengernyit heran. "Memangnya apa yang membuatnya menangis?" Aku yakin bukan karena pertengkaran kami. Kaniss bukan tipe yang akan menangisi hal sekecil itu. She's been thru a lot. She's tough.

"Entahlah. Tapi dia sempat bersikap aneh di E.R tadi."

Aku masih tidak mengerti, tapi ini bukan saatnya aku mencari penjelasan. "Aku akan berada di sana dalam waktu lima menit."

CollidedWhere stories live. Discover now