Chapter 70 - Not Anymore

37.4K 2.7K 75
                                    

Sudah tidak ada tamu yang terlihat, hanya banyak tukang yang membenahi puade dan meja-meja bekas acara barusan. Beberapa di antara mereka menoleh ke arahku, mungkin bingung kenapa masih ada yang berpakaian rapi di gedung ini.

"Ada yang ketinggalan, mbak?" tanya salah satu pegawai katering yang membenahi sisa makanan.

"Hah?" Aku menoleh ke arahnya. "Engga, ga papa." Dia menatapku bingung, tapi tidak kuacuhkan. Aku sudah mulai merasa menyesal. Tidak seharusnya aku kembali kemari. Tidak mungkin Ezra masih menungguku. Dia tidak pernah menungguku.

Tapi tetap saja, aku berjalan cepat menuju teras belakang. Langkahku melambat semakin aku mendekati pintu itu, sedangkan detak jantungku semakin cepat. Daerah di sekitar teras sudah tidak ada siapa-siapa. Aku makin yakin kalau Ezra sudah pulang—tentu saja dia sudah pulang. Tapi aku tetap menghampiri teras.

Ketika aku sampai di teras dan tidak ada siapa-siapa, aku menarik nafas berat. Of course he's gone.

"You're back."

Aku hampir saja memekik kaget. Ketika aku berbalik badan, Ezra sedang berdiri bersandar pada pilar sambil merokok. Ini pernah terjadi sebelumnya. Pemandangan ini membawaku ke memori setahun yang lalu, di Padma, restoran favoritku di Ubud. Malam ketika aku berulangtahun. Malam ketika aku dilamar Fathir. Dan malam ketika aku dan Ezra pertama kali berciuman.

Rasanya sudah sangat lama sejak kejadian itu. Jauh lebih lama dari yang sebenarnya.

"You can't keep doing this to me." Aku tidak bisa lagi menahan diri. I hate him. "Lo ga bisa pergi, dateng, pergi, dateng, semau lo. Gue capek, Ez."

Ezra menunduk sejenak sambil menginjak puntung rokoknya lalu berjalan mendekat ke arahku. Reflek, aku melangkah mundur. Ezra berhenti—sadar kalau aku tidak mau dia terlalu dekat.

"I'm sorry, I need--"

"Stop!" tegasku. Aku mengadah menatap langit sesaat untuk mencegah agar air mataku tidak jatuh. "Please, stop. Kita udah ga ada urusan."

Ezra menatap lantai sebelum kembali menatap wajahku. Alisnya mengerut serius. "I'm sorry," ucapnya sambil perlahan berjalan mendekat.

Aku kembali melangkah mundur. "No," tegasku tidak lagi berani menatap wajahnya.

"I'm sorry." Ezra tidak menghentikan langkahnya.

Aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan kedua mataku erat. Baru ketika Ezra berada persis di hadapanku, aku mengadah. "Mau lo apa?" tanyaku lelah.

Bibir Ezra mengatup rapat. Rahangnya menegang. Bisa kulihat Ezra juga lelah. Lalu kenapa kami masih juga menyiksa diri sendiri dengan terus melakukan hal ini?

"Gue butuh tau apa lo masih punya sedikit aja perasaan buat gue," ucapnya pelan. "Sedikit aja," tambahnya penuh penekanan.

Pertanyaan macam apa itu? Kubuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang keluar. Apa yang dia harapkan dengan menanyakan hal seperti ini? Apa yang dia harapkan?

Setetes air mataku pun jatuh. I want to lie. I want to lie badly.

I can't.

"Lo pergi, Ez. Gue dateng ke apartemen lo dan lo udah pergi. You always do that. And I'm done. We're done."

Ezra mengangkat sebelah tangannya hendak menghapus air mataku, tapi aku mengelak. Aku membuang wajahku darinya.

"I did. I went away, again. I thought that was for the best. I thought you were right. I thought we're not for each other. I took time to be alone. To stop thinking about you. To let you go. But you were wrong."

Aku menoleh, kembali menatap wajahnya meskipun berat.

"This," Ezra menunjuk ke arah kami berdua. "This can't be wrong." Kedua matanya berkaca-kaca. My heart hurts.

"I've done so many terrible things. So many terrible things that I couldn't even forgive myself." Ezra menatapku dalam-dalam. "But I need to know if there's a trace of feelings you have for me. I need to know."

Aku tidak bisa menjawab. Kami berdiam diri saling menatap untuk beberapa saat sampai akhirnya aku bertanya lirih, "buat apa?"

Pertanyaanku dijawab Ezra dengan mengeluarkan sesuatu dari kantong jasnya. Sebuah kotak kecil warna maroon.

Aku melangkah mundur sambil menutup mulut dengan sebelah tangan, terkesiap. "Please, don't," ucapku sambil menggelengkan kepala.

"Why?" tanya Ezra pelan. Dia masih belum membuka kotak itu tapi aku sudah tau isinya. Jantungku berdegup cepat tapi hatiku serasa diremas. Perih.

"Jangan ngelakuin ini karena lo pikir ini yang gue mau."

Ezra memperhatikan kotak maroon itu di tangannya lalu kembali menatapku. "Trust me, gue ngelakuin ini karena gue mau. I hope it's not too late."

"Lo ga bisa seenaknya kayak gini," jantungku berpacu terlalu cepat. "Lo ga berhak mainin perasaan gue kayak gini. You've hurt me. You'll hurt me." Air mataku kembali jatuh namun cepat kuusap. Aku sadar kalimat ini kuucapkan untuk mengingatkan diriku sendiri agar tidak lemah. Aku tidak boleh lemah.

"I did, and I won't," Ezra melangkah mendekat. Aku diam. "It took me two miserable months to figure this out. Apa yang gue rasain ke lo, it's beyond words. I was too stupid to realize this sooner that I want to spend the rest of my life with you. I can't imagine otherwise. And this,"--Ezra mengangkat tipis kotak maroon itu--"this is not even enough to express these intense feelings I have inside. I want you to completely understand the love I have for you." Suaranya bergetar. Dia sungguh-sungguh.

Aku masih diam. Kehabisan kata-kata.

Ezra membuka kotak itu, dan benar, ada cincin berlian di dalamnya. Aku menarik nafas tajam. Aku tidak bisa percaya apa yang sedang terjadi.

"May I?" Kedua alis Ezra terangkat tipis menatapku.

Aku masih diam. Ezra tersenyum tipis lalu meraih sebelah tanganku yang tadinya kuletakan entah sejak kapan di atas dadaku. Melihatnya memasang cincin itu di jari manisku, air mataku kembali jatuh.

Ezra diam menatap jemariku sesaat. Dia kemudian mengadah dan menatapku dalam-dalam, "will you marry me?"

I'm trying to compose myself. "L-lo... engga... tapi... gue..." Aku pun diam sambil menarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha mencerna apa yang sedang terjadi; apa yang kumau. Rasanya sangat sulit karena alam bawah sadarku tidak berhenti bertahan. Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh lemah. Dan wajar, tidak sekali dia pernah menyakitiku. Tidak sekali dia pernah meninggalkanku begitu saja.

Tapi melihat Ezra menatapku tegang, rasanya aku ingin memeluknya, menenangkannya. Bukankah ini yang aku mau; untuk dia berniat menikahiku? Tapi apa aku sudah benar-benar memaafkannya? Aku menyepikan isi benakku untuk menjawab pertanyaan ini.

Sudah. Aku sudah memaafkannya.

Apa aku percaya dengan pernyataannya barusan? Sangat. Ezra mungkin brengsek, tapi dia bukan pembohong. Untuknya bisa mengatakan hal seindah itu, bukan perkara mudah. Dan aku mengerti apa yang dia ucapkan karena aku merasakan hal yang sama.

Lalu apa aku yakin Ezra tidak akan menyakitiku lagi? Mungkin. Tapi siapa yang tau apa yang akan terjadi. Mungkin dia akan menyakitiku lagi, mungkin aku yang menyakitinya. Tapi bukannya suatu hubungan memang seperti itu? Ada kalanya kita saling menyakiti, tapi yang terpenting bagaimana kita mengobatinya. Bagaimana kita memperbaikinya.

Saat ini Ezra sedang berusaha memperbaikinya. Dia serius.

Aku pun menggigit bibir bawahku gemetar. Ezra semakin tegang menunggu jawabanku.

Aku mengangguk.

Ezra seolah baru bisa bernafas. Senyumnya merekah dan matanya berkaca-kaca. He's so beautiful, and this time it doesn't hurt. I love him.

Sebelah tangan Ezra menyentuh pipiku tipis. Tau aku tidak mengelak lagi, dia menarikku ke dalam pelukannya. It was the best feeling in the world--berada di dalam pelukannya.

"I love you," ucapku sambil terisak haru. Ezra menjawab dengan mempererat pelukannya. This is really happening. I'm not losing him, not anymore.

CollidedWhere stories live. Discover now