Chapter 52 - She's Moving Out

24.5K 2.4K 27
                                    

Aiden pulang tak lama setelah perbincangan soal Ezra usai. Logan masih tertidur di karpet dan aku tidak tega membangunkannya. Aku hanya menyelimutinya dengan selimut tambahan, sementara aku berusaha tidur di kasur bersama Marissa yang surprisingly mengorok. Tapi bukan suara Marissa yang menggangguku, melainkan pikiran tentang apa sebaiknya aku bicara dengan Ezra.

Di satu titik aku merasa itu hal yang benar dan saking benarnya sampai-sampai aku mau mengetuk pintu apartemennya saat ini juga. Tapi kemudian aku merasa itu ide yang sangat bodoh karena hubunganku dan Ezra tidak bisa ditolong. Kami memang tidak ditakdirkan bersama. Aku harus bisa terima kenyataan itu. Aku ingat kalimat terkenal dari buku Wuthering Heights karya Emily Bronte; 'whatever our souls are made of, his and mine are the same'. Aku rasa untuk kasusku akan lebih tepat kalau whatever our souls are made of, Ezra's and mine are far too different. Iya aku dan Ezra terlalu berbeda.

Tapi aku benar-benar ingin mencoba. Apapun hasilnya, yang penting aku bicara dengan Ezra. It's only been a day, but I already desperately miss him. Aku ingin memeluknya. Mendengar tawanya yang renyah. Memperhatikan lesung pipinya yang muncul kalau dia tersenyum. Aku rindu kedua tangannya yang besar dan jari-jarinya yang panjang. I miss how our hands intertwined. Bibirnya ketika mencium punggung tanganku. Hell, aku bahkan rindu wajah seriusnya ketika berfikir. I miss everything about him, and it's only been a day.

Oke. Aku harus menghampiri apartemennya sekarang juga.

Tidak, tidak. Ide yang buruk. Ini sudah jam tiga pagi and nothing good happens after two a.m.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku berusaha menahan diri untuk tetap berada di kasur ini. Aku harus tidur. Bisa jadi ini karena pikiran tengah malam, dan akan lenyap begitu aku bangun. Aku hanya butuh tidur.

Dan kalau besok pagi aku masih merasa seperti ini, I'll talk to him first thing tomorrow.

---

Keesokan harinya aku terbangun dengan bayangan kalau Ezra tidur di sampingku, bukan dua orang yang masih tertidur lelap karena mabuk berat. Aku membuang nafas panjang sambil memijat keningku. Aku harus bicara dengan Ezra.

Dengan jauh lebih cepat dari biasanya, aku mandi dan bersiap-siap. Semakin banyak waktu yang kupunya sebelum harus sampai di rumah sakit, semakin lama aku bisa bicara dan melihat Ezra. Aku tau bukan ide yang baik bicara dengannya sepagi ini—dia kemungkinan besar belum bangun. Tapi aku benar-benar sudah putus asa. Aku harus bicara dengannya. Sebentar juga bukan masalah, asalkan aku mendengar suaranya yang berat dan agak serak. Yang selalu somehow menenangkan.

Saking terburu-burunya, aku bahkan tidak sempat membangunkan Logan ataupun Marissa. Siapa tau hari ini shift mereka sore.

Aku melangkah bolak-balik di depan pintu apartemen Ezra. Semalaman aku berfikir keras, tapi baru sekarang aku sadar aku tidak tau harus bicara apa sebagai kalimat pembuka. Come on, Kaniss, think of something.

Kemudian aku ingat satu Tedx Talk yang pernah kutonton dulu. Five seconds rule. Kalau aku tidak melakukan apa yang kumau dalam waktu lima detik, aku tidak akan jadi melakukannya.

Dan hanya karena five seconds rule itu, dengan tanpa memikirkan apa yang akan kukatakan, aku akhirnya mengetuk pintu apartemen Ezra.

Jantungku berdebar. Di satu sisi aku berharap Ezra belum bangun jadi aku bisa ke rumah sakit dan menganggap hal ini tidak pernah terjadi. Di sisi lain aku ingin melihat wajahnya sebelum aku berangkat kerja.

Modal nekat, aku mengetuk pintu apartemen sekali lagi. Tak lama terdengar bunyi kunci pintu dibuka. Aku menelan ludah, tegang.

Ezra muncul dibalik pintu, hanya berbalut boxer hitamnya as if sengaja dia kenakan untuk membuatku tidak fokus. "What?" tembak Ezra sinis. Wajahnya datar, atau lebih tepatnya terlihat terganggu dengan kemunculanku.

I didn't expect him to be this annoyed. "Hm, gue..." lidahku terasa kelu. Shit, harusnya aku tidak melakukan ini. "Gue mau—"

"Who's that?" Suara perempuan terdengar dari dalam kamar. Aku seketika mematung. Darahku berdesir. Dari celah pintu yang hanya sedikit dibuka oleh Ezra, aku tidak bisa melihat siapa pemilik suara tersebut. Tapi aku yakin itu bukan Emma.

Ezra menoleh melewati bahunya, mungkin ke arah perempuan itu. Tapi sebelum dia berkata apa-apa, perempuan itu muncul dari balik tubuh Ezra, membuka pintu lebih lebar.

Aku bisa merasakan dengkulku melemas. Dengan seluruh tenaga yang kupunya, aku berusaha tetap berdiri tegak. Itu Nadine yang berdiri di samping Ezra, dengan hanya mengenakan kaos putih milik Ezra—aku tau itu. Benar-benar hanya kaos itu yang menutupi tubuhnya. Sama seperti Ezra, dia terlihat baru bangun tidur.

Aku mulai hyperventilating, tapi sebisa mungkin kutahan. Aku sulit bernafas, dan aku tau sedikit saja aku lemah, aku bisa jatuh di depan mereka.

"Oh, kau yang di rumah sakit itu kan?" Nadine berusaha ramah padaku. "Kau tinggal di gedung ini juga?"

Pertanyaan-pertanyaannya terdengar menggema di telingaku. Aku tidak bisa bersuara untuk menjawab. Aku bahkan tidak benar-benar menangkap apa yang dia tanyakan. Aku hanya menatapnya kaku dengan mulut sedikit terbuka, berusaha agar nafasku normal. I have to gather myself. I have to.

Ezra menjawab untukku, "nope. She's moving out," ujarnya dingin sebelum menutup pintunya di depan wajahku.

Aku masih terpaku beberapa saat. Apa yang barusan Ezra katakan? How... why... why he said that? Dia dan Nadine...

Aku baru tersentak ketika satu air mata jatuh, dan aku buru-buru mengusapnya. Tanpa mau berdiri sedetik lebih lama lagi, aku berjalan cepat menuruni tangga keluar dari gedung ini. Perjalanan ke rumah sakit yang biasanya kutempuh lima belas menit jalan kaki, hanya kutempuh dalam waktu lima menit kali ini. Dan aku tidak ingat apa saja yang kulihat di jalanan atau bagaimana caraku tadi menyebrang jalan, aku hanya sadar ketika sudah sampai di rumah sakit. 

Berkata kalau jantungku serasa ditusuk berkali-kali adalah sebuah understatement. This hurts a lot more than that.

Tidak hanya Ezra membuktikan kalau selama ini dia hanya main-main denganku, dia jelas-jelas mengusirku dari apartemenku sendiri.

Aku tidak tau kalau jantungku masih bisa merasakan sakit sebesar ini.

Apa yang kulakukan? Tidak seharusnya aku berada di sini sekarang.

Tanpa berfikir lagi, aku setengah berlari keluar dari rumah sakit menuju apartemenku kembali. Aku harus segera keluar dari tempat itu. Secepat mungkin.

CollidedWhere stories live. Discover now