Chapter 6 - I'm Aiden

45.3K 4.4K 13
                                    

Aku sial.

Atasanku, yang adalah residen bedah senior bernama Dr. Weisz, lebih menyeramkan dari kelihatannya. Tadinya kupikir hari pertama akan lebih santai dengan diisi perkenalan dan tur rumah sakit. Lagipula, kami—aku dan timku—adalah tamu di rumah sakit ini. Tamu adalah raja, bukan? Atau setidaknya bukan babu. Seharian aku wara-wiri mengikuti Dr. Weisz berkeliling rumah sakit, menangani pasien, melihatnya membentak-bentak para first year intern, sampai hal-hal seperti membuatkannya kopi. Aku tidak terbang dua puluh tiga jam ke sini untuk menjadi office girl.

"Are you alright?"

Aku mengadah dan menemukan dokter pria berambut brunette menatapku yang sedang duduk sendirian di tangga darurat. Ini seharusnya jam istirahatku, tapi aku tidak nafsu untuk makan siang di kantin. Aku terlalu kesal untuk bertemu orang lain.

"Iya, aku baik-baik saja," jawabku agak ketus.

Bukannya pergi, dokter ini malah duduk di sampingku. Dahiku mengernyit memperhatikannya.

"Kau Kaniss bukan?" Alisku terangkat kaget. Aku tidak sempat berkenalan dengan siapapun selain Dr. Weisz dan beberapa first year intern. "Apa aku harus memanggilmu Dr. Farah?" tanyanya lagi sambil melirik ke name tag di dadaku.

"Kaniss. Bagaimana kau tau namaku?"

"Emma memintaku untuk mengawasimu di sini."

Oh, Emma. "Tidak perlu khawatir, Dr. Weisz sudah lebih dari cukup memperhatikanku," ucapku sinis.

Dokter yang belum keketahui namanya malah tertawa sampai dagunya terangkat. Aku memperhatikan nama yang tercetak di dada jas dokternya. Dr. Miles.

"Asal kau tau, semakin Dr. Weisz menyusahkanmu, semakin itu berarti dia peduli denganmu. Itu memang caranya menunjukkan kasih sayang. Percaya padaku."

"Entahlah. Ini baru hari pertama dan aku sudah merasa menyesal."

"Ayolah, ini salah satu rumah sakit terbaik di negara ini. Kau harus lebih merasa bersyukur." Dr. Miles menatapku bersemangat dengan kedua tangannya melayang. Aku hampir tertawa melihatnya. "Kau tidak makan siang?"

Aku mengangkat bahuku ringan. "Tidak nafsu."

Dr. Miles bangkit. "Ayo. Kutraktir kau makan sebagai ucapan selamat datang." Aku mengernyit sambil tersenyum tipis melihatnya begitu percaya diri. Tapi harus kuakui, belum sampai lima menit aku sudah dengan mudahnya merasa akrab dengan dokter bermata hijau ini. Aku pun dengan santainya ikut berdiri.

"Ngomong-ngomong, aku Aiden."

---

Aiden Miles ternyata seorang senior residen bedah jantung yang sudah berada di rumah sakit ini selama delapan tahun sejak tahun pertama internship-nya. Walaupun wajahnya terlihat muda dan sangat suka bercanda, aura senioritasnya terasa. Jujur aku sangat penasaran dengan usianya, tapi aku tau, di sini, menanyakan umur bukan lah hal yang biasa. Kurang sopan malah.

Dua puluh menit kami berbincang-bincang sembari makan siang di kantin rumah sakit. Mudah sekali untuk akrab dan bicara panjang lebar dengan orang ini. Berbicara dengannya membuat mood-ku jauh lebih baik. Aku masih betah bicara dengannya, sayangnya pager-nya berbunyi dan dia harus pergi mengurus pasiennya. Kuakui, penggunaan pager oleh para dokter sangatlah brilian. Aku tidak mengerti kenapa sistem ini belum diaplikasikan di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.

Begitu Aiden pergi, aku dengan berat hati harus kembali mencari mentor—atau lebih tepatnya, bosku—karena jam makan siang sudah berakhir. Wajah Dr. Weisz sudah masam ketika aku berhasil menemukannya dekat dengan kounter suster.

"Ini, pager ini untukmu. Dalam keadaan apapun, kau harus langsung mencariku begitu benda ini berbunyi," Dr. Weisz menyerahkan pager, yang serupa dengan yang tadi Aiden gunakan, kepadaku. "Ingat, dalam keadaan apapun. Aku tidak menerima alasan."

"Oke." Aku memasukan pager tersebut ke dalam kantong scrub-ku.

"Sematkan pager itu di celanamu agar kau lebih cepat merespon."

Duh. "Oke." Aku melakukan apa yang mentorku ini perintahkan.

"Sekarang ikut aku ke ER. Kuharap kau tau caranya menjahit orang."

Dengan mata menyipit kesal, aku mengikuti Dr. Weisz dari belakang. Aku tidak suka caranya setiap berbicara denganku seolah aku masih mahasiswa kedokteran tahun pertama. Seolah aku belum mendapat gelar dokterku. Entah karena aku memang baru enam bulan mengambil spesialis bedah, atau karena aku berasal dari negara berkembang, tapi dia sangat terkesan merendahkan. Bisa kulihat dia sebenarnya tidak setuju dengan adanya program ini tapi mau tidak mau menurut karena kebijakan rumah sakit.

Seandainya aku mendapat Aiden sebagai mentorku, pasti program tiga bulan ini terasa jauh lebih menyenangkan.

CollidedWhere stories live. Discover now