Chapter 62 - I Will Get Better

25.4K 2.3K 4
                                    

Aku masih bertahan untuk tidak melihat ke arahnya sampai pintu kamar dia tutup dari luar. Aku menghembuskan nafas panjang—bukan lega. Sama sekali bukan lega. Seharusnya aku merasa lega, tapi yang kurasakan hanya perih. Aku sudah menebak kalau mengusirnya—meskipun dia pernah melakukan hal yang sama—sama sekali tidak mudah. Tapi ini yang terbaik.

Iya, Kaniss, ini yang terbaik.

Aiden sadar kalau aku tidak baik-baik saja, tapi dia mengerti untuk tidak mengatakan apa-apa. Aku diantarnya ke ruang radiologi dalam diam. Ketika melewati area ruang tunggu, secara otomatis aku mencari sosok Ezra. Tapi dia sudah tidak ada. Dia menuruti kemauanku akhirnya.

Ini yang terbaik Kaniss. Ini yang terbaik.

Berkali-kali aku mengulang mantra itu dalam hati, tapi tidak membuatku merasa lebih baik. Dan ketika aku sudah sendirian tidur di meja CT scan, rasa perih di dadaku meluap. Air mataku mulai bercucuran.

"Good news, tidak ada—" Aiden yang muncul dari ruang observasi langsung menghentikan ucapannya melihatku duduk dan air mataku belum juga berhenti. Aku mengusapnya berkali-kali, berusaha berhenti, tapi sulit. Rasanya seperti mataku secara otomatis membuka keran air mata dan aku kehilangan kontrol untuk menutupnya kembali.

"Hei, Kaniss." Aiden segera duduk di sampingku, merangkulku dengan sebelah tangannya. Dia mengusap-usap lenganku berusaha menenangkan.

"Maafkan aku, aku tidak tau kenapa aku menangis." Aku terus menghapus air mataku yang tidak berhenti jatuh. Aku bahkan tidak sesenggukan. Aku hanya mengeluarkan air mata tanpa henti. "Aku benci ini."

"Sstt..." gumam Aiden. "Tidak perlu kau tahan, aku mengerti."

Lelah dengan tubuhku yang bersikap di luar kehendakku, aku pun menyerah. Di rangkulan Aiden aku menangis tanpa suara.

---

Hari itu aku diperbolehkan pulang karena terbukti aku baik-baik saja. Emma mengunjungiku ketika aku sedang siap-siap pulang. Logan sedang bertugas jadi dia hanya sempat mampir sejenak membantuku merapikan barangku yang tidak seberapa. Beberapa dokter dari tim dokter Indonesia datang menjenguk. Mereka bilang mereka salut dengan keberanianku dalam menyelamatkan korban, tapi mereka berharap aku tidak melakukan hal seperti itu lagi karena aku masih tanggung jawab mereka. Aku hanya mengiyakan dan meminta mereka untuk tidak mengabari orang tuaku karena aku baik-baik saja. Aku tidak mau mereka cemas. 

Dr. Weisz juga sempat menjengukku, yang merupakan sebuah kejutan. Dia tidak menunjukkan perhatian apapun, tapi kemunculannya sudah cukup membuktikan kalau mentorku tidak seburuk yang kukira dulu. Sebelum pergi dari kunjungan singkatnya, Dr. Weisz sempat mengingatkanku soal ujian akhir internship-ku yang akan datang seminggu lagi. Lulus tidak lulus aku akan tetap pulang ke Indonesia, hanya saja nilai yang bagus tentu akan membantu banyak karirku di Jakarta.

"Belajarlah yang benar, jangan membuatku malu," pesan Dr. Weisz sebelum pergi. Aku mengangguk, bersyukur ada hal yang—semoga—bisa membuat pikiranku teralihkan. Aku akan belajar mati-matian.

Emma menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku tidak punya alasan untuk menolak. Dia berbicara dengan Aiden sejenak, membahas keadaanku. Emma tidak menyebut atau membahas apapun yang berhubungan dengan adiknya. Di perjalanan pun dia hanya membahas hal-hal ringan dan aku dengan tidak antusias menyahuti beberapa ucapannya. Mungkin seharusnya aku membenci Emma. Menyalahkannya untuk apa yang terjadi denganku sekarang. Dia yang membawaku ke sini, ke situasi ini. Dia yang menggodaku untuk datang ke New York. Dia yang diam-diam memaksaku tinggal di apartemen adiknya. Dia yang mengundangku datang ke acara keluarga mereka—di mana aku lebih dalam lagi mencintai Ezra. Seharusnya aku membenci Emma.

Tapi tidak. Sedikitpun aku tidak membencinya. Entah auranya yang membuat siapapun sulit membencinya, atau memang aku yang bisa lebih rasional untuk menyadari kalau dia tidak bersalah sama sekali. Niatnya selalu baik. Dia selalu baik. Mungkin sedikit terlalu ikut campur, tapi niatnya baik.

Emma menemaniku di apartemen Logan sampai waktu makan malam tanpa kuminta. Meskipun wajahnya mengingatkanku pada Ezra, aku lebih memilih ditemani daripada sendirian. Logan cukup terkejut melihat dokter idolanya berada di apartemennya, tapi dia tidak bertingkah norak—hanya gugup sesaat. Kami bertiga menikmati makan malam bersama dan rupanya selera humor Logan dan Emma cukup nyambung sehingga malam terlewatkan dengan banyak candaan. Sesekali aku ikut tertawa, tawa tulus pertama hari ini—atau mungkin minggu ini. Seketika aku merasa lebih baik. Merasa kalau masih ada harapan untukku bisa lebih baik.

Iya, aku bisa lebih baik.

CollidedWhere stories live. Discover now