Chapter 24 - He's Up To A Good Start

34.7K 3.2K 10
                                    

Aku terbangun ketika alarmku menyala. Aku mulai memasang alarm karena khawatir akan telat kerja dan Dr. Weisz mencincangku hidup-hidup.

Ezra masih terlelap ketika aku membuka mata. Melihatnya tidur di hadapanku, aku masih tidak percaya apa yang sudah terjadi. Aku dan Ezra. Setelah apa yang sudah terjadi, setelah dia menghilang begitu saja, setelah aku sudah ikhlas dan tidak lagi mempedulikan soal kepergiannya, ujung-ujungnya kami di sini, menghabiskan malam bersama sebagai sepasang kekasih.

Oh, my, God. This still feels surreal.

"Are you leaving?" Ezra bersuara begitu aku keluar dari kasur. Matanya masih terpejam ketika aku menoleh. Dia menggeliat berusaha bangun, sementara aku mengambil pakaianku di kamar mandi. Ketika aku keluar, Ezra sudah bersandar pada kepala kasur. Rambutnya berantakan dan matanya masih sayu, tapi dia tersenyum manis ke arahku.

Melihat pemandangan ini, sekilas di otakku terlintas ide untuk izin sakit agar tidak perlu bekerja dan bisa seharian bersama Ezra. Tapi itu ide yang buruk, mengingat dua hari terakhir aku sudah telat dan membuat Dr. Weisz marah.

"Iya, gue mau siap-siap dulu di apartemen gue."

"Oke," sahutnya masih dengan senyum tersungging.

"Oke," balasku canggung. Untuk beberapa saat kami hanya saling lihat-lihatan. "See you later," ucapku lalu dengan cepat melangkah keluar dari apartemen ini sebelum suasana semakin terasa canggung. Lebih tepatnya, aku semakin canggung sedangkan Ezra terlihat sangat nyaman di atas kasurnya.

Selama bersiap-siap di apartemenku sendiri, otakku terus memutar apa yang terjadi dua puluh empat jam terakhir. Ezra dan aku. Kami bersama? Like, finally kami bersama? Aku sangat menginginkan hal ini enam bulan yang lalu. Sangat. Sampai aku yang menunggu berjam-jam di rumahnya. Hal yang bodoh, aku tau. Tapi saat itu aku tidak merasa bodoh. Dan sekarang? Apa aku masih menginginkan hal ini? Alasan kenapa akhirnya aku memutuskan untuk datang ke apartemennya tadi malam adalah aku takut akan melakukan kesalahan yang sama dengan Ezra. Dia menyesal pergi begitu saja enam bulan yang lalu, dan aku takut akan menyesal kalau menolaknya tanpa mencoba terlebih dahulu. Iya, tidak ada salahnya mencoba. If it works, it works. If it doesn't, then it'll be just another story.

Dalam waktu kurang dari lima belas menit, aku sudah siap berangkat ke rumah sakit. Sebelum turun tangga, aku menyempatkan diri untuk menatapi pintu apartemen Ezra yang tertutup. Aku mau melihatnya lagi. Aku mau menciumnya lagi. Aku tidak mau ke rumah sakit untuk menjadi babu Dr. Weisz.

Tentu saja aku tidak sebodoh itu melakukan apa yang kuinginkan. Dengan langkah berat aku menuruni tangga. Tujuanku satu-satunya ke New York adalah untuk mengikuti program ini, bukan untuk menjadi pacar Ezra.

"What took you so long?"

Aku terkejut melihat Ezra sudah berdiri bersandar pada mobil hitam besar yang terparkir di pinggir jalan tepat di depan pavement apartemen. Dia mengenakan celana jins hitamnya, sepatu kets coklat, dan hoodie abu-abu. Dia terlihat memukau bahkan dengan pakaian sesimpel itu.

"Lo mau ke mana?" tanyaku masih berdiri di tempat. Kupikir dia lanjut tidur di apartemennya.

"Nganter lo ke rumah sakit," jawabnya ringan sambil membuka pintu penumpang. "Hop in."

Kedua alisku terangkat. "Ga perlu. Gue biasa jalan kaki." Aku menoleh ke kiri, menunjuk pada bangunan di ujung jalan. Bangunan itu bukan rumah sakit, tapi tempatku bekerja dekat dari situ. Tidak kelihatan dari sini, tapi dekat.

"I'm heading that way anyway," ujar Ezra. "Come on."

Masih dengan ekspresi terkejut, aku menurut. Apa Ezra sedang berusaha bersikap sebagai pacarku? Kalo iya, he's up to a good start.

"Lo mau ke mana?" tanyaku begitu Ezra mulai menjalankan Range Rover ini. "Lo mau kerja?" Aku tidak yakin Ezra pergi kerja dengan pakaian sekasual ini.

"Nope, gue lagi ambil cuti," jawabnya sambil memperhatikan jalan di depan.

Aku baru sadar aku tidak tau apa-apa soal hidup Ezra. Apa pekerjaannya sekarang? Apa kegiatannya sehari-hari? Siapa teman mainnya? Dan Emma bilang dia seharusnya di London, bukan? Apa yang dia lakukan di London? Apa dia akan kembali ke sana?

Wow. Aku tidak tau apa-apa soal Ezra, yang sejak tadi malam resmi menjadi kekasihku. Normalnya semua informasi ini pasti sudah kudapat di masa-masa pendekatan. Tapi hubunganku dan Ezra memang tidak normal. Jujur aku tidak terlalu peduli bagaimana akhirnya kami ended up bersama, karena aku saja tidak bisa mengerti. Tapi setidaknya sekarang aku harus mulai tau hidupnya.

Oh, God, terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang ingin kutanyakan padanya. Dalam dua menit aku pasti sudah sampai ke rumah sakit. Aku tidak punya waktu.

"Lo selesai jam berapa?" tanya Ezra membuyarkan lamunanku.

"Ga perlu dijemput, kok," jawabku cepat.

Ezra menoleh singkat ke arahku sambil menyeringai menunjukan sebelah lesung pipinya. God, he's beautiful.

"Gue nanya jam berapa lo pulang," Ezra mengulangi pertanyaannya dengan wajah terlihat terhibur dengan reaksiku barusan.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Ga tau. Harusnya kalo ga ada apa-apa, jam enam atau tujuh gue udah pulang."

Ezra menghentikan mobilnya, tepat di depan pintu rumah sakit. "Good, I'll pick you up." Aku reflek hendak protes tapi Ezra keburu mengangkat satu jarinya memintaku diam. "Gue yakin—how long have you been here?"

"Hampir dua minggu."

"Gue yakin belom ada yang ngajak lo keliling New York. I'll take you out to dinner tonight. You'll see New York outside this hospital."

Sebenarnya Logan sudah beberapa kali mengajakku jalan-jalan di sini. Aku sudah sempat ke Central Park, SoHo, dan beberapa tempat hits menurut Logan. Tapi Ezra terlihat bersemangat, jadi aku tidak tega untuk membantah tebakannya. Lagipula aku tidak punya waktu.

"Oke, nanti gue kabarin kalo udah mau kelar."

"Okay." Ezra mengangguk sambil tersenyum.

Alright, another awkward moment. Aku pun tersenyum lalu membuka pintu. Tapi tanganku ditahan Ezra, dan ketika aku menoleh, dia langsung mengecup bibirku singkat.

"You don't have to blush everytime I kiss you," ucap Ezra masih dengan wajahnya sangat dekat di hadapanku. "I'll kiss you a lot."

Wajahku semakin memanas dan Ezra malah tertawa. Aku menggerutu kesal lalu turun dari mobil besar ini.

CollidedOù les histoires vivent. Découvrez maintenant