Chapter 28 - She Better Be Hundred Meters Away From Him

28.6K 2.8K 18
                                    

EZRA

Why the hell she didn't pick up?! 

Aku berusaha menelfonnya lagi, tapi kali ini suara voicemail langsung terdengar sebelum satu nada dering pun. She turned her phone off. She fucking turned her phone off.

Aku berusaha sabar. Saat ini aku sedang mengurus perusahaan Dad yang bergerak di bidang asuransi. Aku datang untuk mengurusi subpoena yang mereka terima dari satu nasabah kaya dan sok berkuasa. Seriously, ini hal yang sepele, tapi pengacara-pengacara yang Dad hire tidak bermutu. Aku sampai harus datang karena mereka hampir kalah.

Dua jam lagi aku akan ada meeting dengan kuasa hukum pihak mereka. Perusahaan Dad sudah memberi settlement sejumlah uang yang menurutku saja sudah lebih dari cukup, tapi pria tua itu menolak mentah-mentah dan meminta settlement dengan jumlah uang yang omong kosong. Dalam dua jam ini aku harus mengumpulkan bukti apapun untuk membuat pria tua itu bungkam. Tapi sekarang otakku dipusingkan dengan Kaniss mematikan ponselnya setelah memberi tau kalau sekarang dia dimentori Aiden?

Aku yakin Aiden yang meminta Kaniss untuk jadi bawahannya.

And how happy she is about that.

Argh. Fuck it.

---

Setengah jam pertama meeting berlangsung aku hanya berdiam diri menyaksikan tim pengacara perusahaan Dad dan pihak lawan berdebat. Argh. Kaniss masih belum mau menjawab telfonnya dan orang-orang di hadapanku ini hanya bisa membuatku semakin emosi.

"Hey, dengarkan aku," akhirnya aku angkat bicara. Aku tidak tahan bertahan satu menit lagi di ruangan ini. "Kami tidak akan merubah angka penawaran ini kecuali menurunkannya." Aku menatap pria tua menyusahkan ini tajam. "Pikirkan baik-baik, tapi setiap jamnya kau tidak memberi keputusan, penawaran akan kami potong dua setengah persen. Dan kalau kau menunda satu hari saja, penawaran baik kami sudah turun enam puluh persen. Kalau pun ujung-ujungnya kita berdebat mencari titik tengah, tidak akan setinggi penawaran kami sekarang." Aku berdiri hendak beranjak pergi. "Ini terserah kalian, tapi kalau aku jadi kalian, akan kutandatangani perjanjian ini sekarang juga. The clock is ticking." Dan aku pun berjalan keluar dari ruangan ini, tidak peduli dengan pria tua yang sudah seperti akan terkena serangan jantung.

Dan benar saja, pria tua itu akhirnya menandatangani surat perjanjian kami satu jam setelah aku keluar dari ruangan itu. Tim pengacara perusahaan ini hampir saja memberi penuh penawaran kami, tapi aku menegaskan untuk memotong dua setengah persen karena sudah lewat satu jam. Aku tidak mau dianggap hanya mengancam.

Aku langsung keluar dari gedung ini begitu tau aku tidak diperlukan lagi. Rencananya aku baru akan pulang besok karena masih mau mencari tau alasan perusahaan ini bisa terkena subpoena. Mungkin perlu memecat satu dua orang. Tapi sampai detik ini Kaniss belum juga menyalakan ponselnya dan aku tidak akan tenang berdiam diri di sini.

Sesampainya di bandara aku langsung memesan penerbangan ke New York yang paling awal yang ajaibnya hanya tersisa kursi ekonomi. I hate economy seats. I've traveled a lot, I slept in a sleeping bag countless time, I've traveled with the saddest train you could imagine, I just can't cope with economy seats on a plane. For some un explainable reason, I just want a comfy seat to sleep on while flying. Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. This will be the first time in my life flying in economy seat for five hours straight.

This is insane, what she has made me willing to do. I better find her hundred meters away from that guy.

CollidedWhere stories live. Discover now