Chapter 47 - What's Your Deal?

24.1K 2.6K 124
                                    

It went on, and on, and on. Intensitas ciuman kami jauh lebih mesra dari biasanya. Aku tidak sadar sudah berapa lama tepatnya bibir kami saling bertautan. Aku bahkan tidak sadar bagaimana kami sudah berada di atas kasur. I don't even care where this may lead. I just need him, desperately.

Ezra semakin lihai memainkan lidahnya, and I'm trying to keep up with him. Clearly, dia sangat lihai dalam hal ini. Dia tau exactly di mana harus meletakan tangannya, titik-titik mana yang dicium, atau sekedar disapu tipis oleh bibirnya. He's good. Really good.

Setan di alam bawah sadarku pasti sedang loncat-loncat kegirangan karena kali ini tidak ada yang mengganggunya, yang mengingatkanku soal prinsip yang kupegang. Semua yang terjadi, mulai dari pizza dan para homeless, pernyataan cinta Ezra, sampai caranya menciumku sekarang, bodoh kalau aku masih memegang prinsip itu. I know most girl of my age have done it.

But still, is this the right thing?

Of course it's not!

Should I stop?

Ezra yang berada di bawahku melepas kaos yang dikenakannya dengan sangat cepat. Tubuhnya yang terpahat bak model calvin klein tidak membantuku dalam membuat keputusan. Aku tau yang akan lepas setelah ini adalah kaosku.

Apakah aku harus berhenti?

Tapi kenapa?

Bagaimana caranya?

Dan sebelum aku sempat membuat keputusan itu, tangan Ezra sudah dengan cekatan melepas kaos yang kukenakan. And I let him. Sekarang, bagian tubuh atasku hanya berbalut bra hitam. Ini adalah kali pertama seorang pria melihatku se-'telanjang' ini.

Ezra melepaskan ciumannya sesaat untuk melirik tubuhku singkat. Dia menelan ludah. "Gorgeous," bisiknya di telingaku sebelum mengecup lembut pangkalnya.

Aku mendesah pelan. Tidak bermaksud melakukannya, tapi otomatis keluar begitu saja.

And all of sudden, I don't know what hit me, aku menarik wajahku menjauh darinya. Aku masih duduk di atasnya yang bertelanjang dada di atas kasur, tapi yang kulakukan hanya menatapnya tegang.

Dia menatapku terkejut. Nafasnya tidak beraturan, sama sepertiku. Untuk beberapa saat kami hanya saling bertatapan. Lalu kemudian dia berdecak sambil memejamkan matanya. "You've got to be kidding me."

Aku mengernyit tidak mengerti maksud ucapannya. Dia marah?

"Seriously, what's your deal?" tembaknya sambil sedikit bangun dan menumpukan berat badannya—dan berat badanku—pada kedua sikunya. Dia menatapku tajam. Dia benar-benar terlihat marah. "I told you I love you and you still won't give in?"

Apa?

Secara reflek aku melepaskan diri atas tubuhnya. Aku berdiri di samping kasur lalu mengambil kaosku yang sudah tergeletak di lantai.

"Jadi lo bilang gitu cuma supaya gue mau tidur sama lo?" bahkan untuk menanyakannya saja aku sudah merasa sakit. Dengan penuh emosi aku mengenakan pakaianku kembali. Aku tidak pernah merasa sejijik ini dengan diriku sendiri, dan juga dengannya.

Ezra pun duduk lebih tegak, dia menatapku dengan tatapan yang sudah melunak. "Bukan gitu maksud gue," terangnya. "I just... I don't know what else you want. I told you I love you, and I mean it. What else?" Ezra kemudian mendengus sambil membuang mukanya dariku. "I hope you're not thinking of marriage, because that's not gonna happen."

Deg.

That's it. That's the deal breaker.

"We're done," ucapku dingin sambil menatap lantai di bawah kakiku.

"What?" tanya Ezra lebih seperti berbisik.

Ketika aku mengadah, Ezra sedang menatapku dengan dahi mengerut tajam. "We're over," ulangku sambil menatap kedua matanya.

Mulut Ezra terbuka, tapi tidak ada kalimat yang keluar. Aku pun melangkah cepat mengambil tas dan jaketku, berniat segera keluar dari apartemen ini. Tapi Ezra lebih cekatan. Dia sudah berdiri menarik sebelah lenganku, menahanku pergi.

"Hei," panggilnya karena aku tidak mau menoleh. Ketika aku akhirnya menoleh, dia masih menatapku penuh teka-teki. "What are you talking about?"

"Lepasin," perintahku dengan gigi bergemerutuk. Aku tidak mau melihat wajahnya. Aku hanya memperhatikan tangannya yang masih menggenggam lengan kiriku.

"You're not seriously thought I'd marry you, are you?"

Dengan kasar aku melepaskan diri dari genggaman Ezra. Buru-buru aku melangkah keluar dari apartemen, menuju apartemenku sendiri di seberang. Kali ini Ezra tidak mengejarku. Bagus.

Begitu pintu apartemenku kututup dan kuputar kuncinya berkali-kali, jantungku berdebar tidak karuan. Aku kesulitan bernafas. Aku mengalami hal ini lagi. Serangan panik ini terjadi lagi.

Aku buru-buru mencari air di dapur, menenggak satu gelas habis. Tapi aku tidak merasa lebih baik.

Ezra baru saja menyatakan kalau dia tidak pernah berniat serius denganku.

Lalu kenapa aku terkejut? Ini Ezra yang kita bicarakan. Tentu saja dia tidak pernah serius.

Aku pun tertawa. Tawa miris. Entah menertawai kebodohanku atau nasibku yang selalu seperti ini.

Mengakhiri hubunganku dengannya adalah hal yang paling benar yang bisa kulakukan. Seharusnya aku memang tidak pernah berhubungan dengannya sejak awal.

CollidedWhere stories live. Discover now