Chapter 33 - I Won't, and I'm Sorry

27.4K 3K 16
                                    

Tepat dalam waktu lima menit aku sudah sampai di rumah sakit. Aku memarkirkan mobilku sembarang di area parkiran ambulans. Aku tidak peduli apa yang akan mereka lakukan pada mobilku. Bisa kuurus nanti.

Aku langsung bertanya pada resepsionis di mana letak ruang gudang penyimpanan. Dia terlihat bingung dengan pertanyaanku, tapi melihatku serius, dia langsung menjawab dan aku langsung beranjak ke arah yang ditunjuknya.

Sosok Jones terlihat berdiri dekat dengan pintu yang bisa kupastikan adalah gudang penyimpanan. And what are the odds, Aiden berdiri di dekat situ juga. Bahkan dia yang pertama kali menyadari kemunculanku.

"Ez." Aiden dengan ringannya menghampiriku seolah kami berteman. Well, kami memang berteman sebelum ini, tapi sekarang aku harus me-review ulang tentang pertemanan kami. "Aku sudah berusaha menenangkannya, tapi tidak berhasil."

Memang ini bukan saat yang tepat dan terkesan kekanak-kanakan, tapi sedikitnya aku merasa bahagia dia sudah gagal. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Apa yang terjadi?" Kulihat Jones baru sadar dengan kemunculanku, tapi dia memilih tetap diam dekat dengan pintu. Wajahnya sarat dengan khawatir. Kalau dia bukan gay, masalah utamaku pasti dengannya, bukan Aiden.

Aiden menuturkan cerita lengkapnya. Belum selesai penuturannya, aku sudah tau apa yang terjadi. Kaniss is having a breakdown over her dead fiance.

"Baiklah. Biar aku yang mengurus Kaniss. Akan kubawa dia pulang." Aku sengaja memberi pernyataan, bukan meminta ijin. Aku tidak mau Aiden merasa aku harus meminta ijin padanya atas pacarku sendiri.

"Iya, tentu saja," ucapnya cepat. Dia terlihat khawatir, dan aku tidak suka hal itu. Lagipula apa yang dia lakukan berdiri di sini menunggu Kaniss? Bukan kah dia dokter bedah luar biasa yang saking luar biasanya sampai Kaniss enggan menukarnya dengan dokter lain? Seharusnya dia punya banyak pasien untuk diurus, kan?

Sebelum aku kembali emosi, aku segera berjalan menuju pintu gudang. Aku berhenti sejenak untuk menyapa Jones.

"Terima kasih sudah mengabariku."

Jones mengangguk singkat. "Anytime. Pastikan dia baik-baik saja."

Aku mengangguk lalu melangkah masuk. Aku langsung menemukan sosok Kaniss duduk bersandar pada rak terakhir di pojokan ruangan. Dia duduk membelakangiku, tapi aku bisa melihat bahunya naik-turun. Dia menangis. Jantungku ikut perih melihatnya seperti itu.

Perlahan aku berjalan mendekat. Kaniss masih belum sadar dengan keberadaanku. Sampai ketika aku berdiri di sampingnya, aku menyapa, "hei."

Kaniss terlihat terkejut, dia mendongak ke arahku. Wajahnya terlihat kacau. Kedua matanya merah dan sembab. Aku pernah melihat ini sebelumnya; waktu itu di kamarnya, ketika dia menemukan kalau tunangannya yang sudah mati ternyata pernah berselingkuh dengan teman baiknya. Tunangan yang saat ini masih ditangisinya. Seriously, that guy didn't deserve one tear of hers. If he's still alive, I'd be the one who'd send him to grave. Dia yang sudah menghancurkan hati Kaniss berkeping-keping. Yang membuatnya trauma, bahkan sampai saat ini.

Kaniss sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya sesenggukan. This is killing me. Seeing her like this kills me.

Aku pun duduk di lantai di sampingnya. Kutarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Bisa kurasakan tubuhnya gemetaran, tapi semakin aku mengusap lengannya, tubuhnya semakin tenang.

"Jangan tinggalin gue, Ez. Please."

Aku menarik wajahku agar bisa melihat wajahnya. I didn't expect her to say that. Kedua matanya menatap mataku, terlihat menyedihkan. "Maafin gue. Please, jangan pergi."

And it hits me. Dia tidak bersalah, sama sekali. Aku yang berlebihan. Aku yang sudah kasar. Aku yang emosi karena sesuatu yang terjadi hanya di otakku. Kenapa aku tidak sadar hal ini? Kaniss tidak mau Aiden, dia tidak butuh pria itu. Dia butuh aku, dia hanya mau aku. Kenapa aku tidak melihat itu?

Aku kembali mendekapnya sambil mengusap kepalanya. "I won't. And I'm sorry." Memang bukan aku yang menyebabkannya menangis seperti ini, tapi dia sampai dengan desperate-nya meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahannya, aku benar-benar merasa bersalah. I promised myself to never let her feel this way again. And I'll kill anything that makes her cry. Anything.

CollidedWhere stories live. Discover now