Chapter 64 - Give Me A Chance

26.8K 2.4K 26
                                    

EZRA

Fuck, this hurt.

Hal pertama yang membangunkanku adalah kepalaku yang seolah dihajar habis-habisan dengan invisible hammer. Membuka mata pun sulit karena cahaya hanya membuat kepalaku semakin sakit. It's been a really long time since I had hangover. Mungkin terakhir kali aku seperti ini dulu ketika baru-baru belajar minum alkohol. I hate this.

Aku menggeliat, berusaha mencari posisi yang lebih nyaman. Tapi kemudian aku sadar, ini bukan kasurku. Kasur kecil ini jelas bukan milikku.

Kupaksakan diri untuk membuka mata. Benar saja, ini bukan kamarku. What happened last night? Aku bahkan tidak mengenali ini kamar siapa. Did I fuck a random girl? Tidak, ini tidak seperti kamar perempuan. God, I never this blacked out.

Sambil memijat keningku, aku berusaha duduk. Baru ketika aku melihat buku-buku di meja belajar dan jaket yang tergantung di belakang pintu mataku reflek melebar.

Holy—ini kamar Kaniss.

Aku kenal betul jaket itu, dan buku-buku kedokteran ini. How... did I...

Aku kehabisan kata-kata. Aku segera berdiri lalu bolak-balik mengitari kamar sempit ini. Jantungku tiba-tiba berpacu cepat. Ini gila. Aku bahkan tidak sempat merasa malu dengan tingkahku yang seperti bocah baru kenal perempuan. I'm trying hard—really hard to remember what the hell happened last night.

I can't help but to assume the best possibility—aku dan Kaniss baikan.

Pikiran itu membuatku otomatis tersenyum. Perfect, aku lolos sebagai bocah tengik di masa puber. Tapi memang benar kan dugaanku? Tidak mungkin Kaniss membiarkanku tidur di kasurnya kalau dia masih semarah itu. Kalau dia masih berpegang teguh pada keputusan untuk tidak mau melihat wajahku lagi. Bagaimana ceritanya aku bisa sampai di apartemen ini? Kaniss tau dan aku sebaiknya segera bicara dengannya.

Perlahan, aku membuka pintu kamar ini. Benar-benar perlahan. Aku tidak tau siapa saja yang tinggal di apartemen ini dan aku tidak berniat membangunkan siapa pun. Aku hanya mau bicara dengan Kaniss. Kuharap hanya kami berdua yang berada di sini.

Seperti caraku membuka pintu, aku juga perlahan berjalan melewati lorong menuju ruang tengah dan dapur. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Dan usahaku berhasil. Kulihat Kaniss sedang membuat kopi tanpa menyadari keberadaanku. Aku diam menyandarkan sebelah lenganku pada dinding di ujung lorong sambil memperhatikannya.

Dari jauh pun aku tau, dia tidak tidur cukup tadi malam. Terlihat dari wajahnya yang layu dan matanya yang hanya setengah terbuka. Dia menyalakan mesin pembuat kopi otomatis seolah menyalakan mesin pesawat. Aku mendengus geli.

"Hei," sapaku akhirnya, masih sambil bersandar di dinding.

Kaniss terperanjat. Aku tersenyum. Wajahnya tidak lagi layu. Dia melirik sejenak ke arahku lalu kembali menatap mesin kopi. Dia gugup. Senyumku melebar.

"Mau kopi?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

"Boleh," jawabku sambil berjalan menuju meja bar dekatnya dan duduk di sana. Tidak mempedulikan sikap gugupnya, aku bertopang dagu menatapnya sambil terus tersenyum. Semalam aku minum banyak untuk melupakan orang yang pagi ini membuatkanku kopi. Funny, right?

"Gimana ceritanya gue bisa di sini?" tanyaku memecahkan keheningan. Kaniss masih terlihat gugup menyiapkan cangkir kopi untukku.

"Logan liat lo duduk di pavement bawah," jawabnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Tidak apa-apa. Aku terhibur melihat sikap gugupnya seperti ini.

"Ini apartemen Logan?"

"Iya."

"Jadi dia yang ngajak gue naik?"

"Engga. Gue yang bawa lo ke sini."

I can't hide how happy I am to hear that. "Kenapa?" tanyaku sambil mengulum senyum.

Kaniss akhirnya berbalik sambil menyerahkan satu cangkir kopi ke hadapanku. Matanya masih menolak melihat wajahku.

"Lo mabuk banget."

Aku menyeruput kopi yang dia buat. It taste thousand times better than any coffee I've had. "Yeah, I guess so," gumamku. Kuletakkan kembali cangkir ini di atas meja lalu menatap Kaniss dalam-dalam, menunggunya menatap mataku.

Mungkin sadar kalau aku terus memperhatikannya, kedua mata Kaniss akhirnya mengadah bertemu mataku tapi hanya sedetik. Dia segera pura-pura sibuk membereskan mesin kopinya.

"Did we..."

"Engga," jawabnya cepat.

"Gue belom selesai nanya."

"Engga, gue ga tidur sama lo. Gue tidur di sofa."

"Oh." I was wrong. Hubunganku dan Kaniss masih sama seperti kemarin. Fucked up.

"By any chance, did I do something stupid last night? Gue ga pernah semabuk itu sampai blacked out." Aku berusaha meringankan suasana, sekedar untuk menutupi rasa kecewa oleh fakta kalau Kaniss bukan gugup karena sesuatu terjadi semalam. Dia bukan gugup. Dia marah. Masih marah.

"Di apartemen ini sih engga, tapi gue ga tau di perjalanan lo ke sini gimana."

I can't help but laugh. "Gue harap gue ga sebawel lo kalo mabuk."

Kaniss akhirnya benar-benar menoleh ke arahku. Benar-benar melihat wajahku. Sebelah alisnya terangkat. "Gue ga tau gue segimana, tapi gue ga pernah liat cowo sebawel lo tadi malem."

Lagi-lagi aku tertawa. Dan kali ini, Kaniss tersenyum, meskipun jelas dia berusaha menahannya.

God, she's beautiful. "I miss this."

Seharusnya aku tidak mengucapkan kalimat itu. Kaniss yang barusan sudah mulai menunjukkan sikap positif, sekarang kembali tegang. Dia kembali membuang wajahnya dariku lalu berjalan ke westafel, pura-pura tidak mendengar apa yang kukatakan.

But what can I do? I miss her so much.

"Please come back," ucapku lirih. Hanya di depan Kaniss aku tidak peduli untuk terdengar cengeng.

"Gue tinggal di sini sekarang," jawabnya ketus. I feel the sharp pain right thru my chest.

Kupejamkan mataku sambil menarik nafas dalam-dalam. Aku harus menahan diri untuk tidak menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Tidak hanya itu tidak akan membantu keadaanku, Kaniss bisa dengan legal menelfon polisi kalau aku melakukannya.

"I'm sorry," ucapku lelah.

"Ez, cukup."

"I'm sorry. I really am. Ga seharusnya gue mikir lo sama Aiden ada apa-apa. Harusnya gue mikir lebih jelas. It was all me. I have trust issue. Tapi gue bakal berusaha untuk jauh lebih baik. I had my lesson. I don't ever wanna lose you ever again." Aku sudah berdiri dan mengambil langkah mendekat ke arahnya. Langkahku terhenti begitu sadar kalau aku baru saja berjanji untuk tidak lagi melakukan hal bodoh. Memeluknya ketika melihat wajahku saja enggan hanya akan memperburuk keadaan. It's even considered as sexual assault.

Kaniss menarik nafas panjang. Dia berbalik menghadap ke arahku, menatap mataku. Masih ada jarak sekitar dua meter di antara kami, tapi aku tidak pernah merasa lebih jauh darinya dari saat ini.

"Ez, lo ngusir gue. Di depan cewek yang abis lo tidurin cuma sepuluh meter dari tempat gue tidur."

Kupejamkan mataku sambil memijat pangkal hidung, frustrasi. "Apa yang gue lakuin emang keterlaluan. Bukan hal yang pantas buat dimaafin. I get it. Yang gue minta dari lo sekarang, kesempatan." Aku mengambil satu langkah mendekat, dan Kaniss reflek mundur. Kalau bukan karena westafel yang sudah menahannya, aku yakin Kaniss akan mundur lebih jauh lagi. Lebih jauh dari cowok brengsek ini.

"Gue mohon, kasih gue kesempatan buat buktiin kalo gue bener-bener nyesel. You're the only one that I really care. Nadine itu pelampiasan gue doang karena gue ga bisa mikir jernih. Karena gue lagi mikirin lo sama cowok lain. I never even talked to her after that. It really means nothing. I want you. Just you."

CollidedWhere stories live. Discover now