Chapter 16 - She's Not Yours

40.3K 4.1K 61
                                    

EZRA

"Baiklah, aku akan kesana. Beri aku waktu setengah jam."

Kututup telfon dari Chase lalu kembali menghempaskan diri di kasur. Sebenarnya aku sangat malas untuk keluar karena udara dingin dan ini sudah hampir tengah malam. Tapi aku butuh keluar rumah untuk bisa kembali menjernihkan isi otakku. Aku butuh minuman. Mudah-mudahan alkohol bisa membantuku kembali normal lebih baik dari wanita.

Semalam aku sengaja mengajak jalan satu wanita yang sejak dulu kutau sangat ingin menarikku ke kasurnya. Well, she's hot. Tapi sikapnya yang selalu terkesan murah dan terlalu berusaha untuk menarik perhatianku justru membuatku malas. Aku tidak mengajak teman wanitaku yang lain because I need to get laid tanpa perlu berusaha. Tapi ujung-ujungnya, aku meninggalkan Jenn begitu saja di bar karena aku lelah dan sudah muak melihat wajahnya yang penuh riasan.

Me a year ago would definitely fuck her in the restroom.

Aku sadar hal-hal yang terjadi di Bali dan Jakarta waktu itu sudah merubahku, tapi sampai ke tingkat apa, aku tidak tau. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menyentuh wanita. Yang pasti tidak dalam waktu delapan bulan ini, semenjak kunjungan terakhirku ke Bali. Well, pernah sekali, di London. Hanya untuk memastikan aku masih normal, I had sex with a hot-ass harpist setelah menonton pertunjukannya. Bukannya membuatku merasa lebih baik, hal itu justru yang membuatku sadar kalau aku tidak lagi sama. Semuanya tidak lagi sama.

But I thought I could live with that.

Until she showed up in my apartment. Here, in New York. Thousand miles from Bali. Like, how the fuck did that even happen?

TOK TOK TOK!

Ketika aku baru memasang sepatu boots-ku, seseorang mengetuk pintu apartemen. Siapa lagi sekarang?

"Ezra?"

Aiden Miles berdiri di balik pintu menatapku terkejut. Sebelah tangannya merangkul rapat pinggang Kaniss yang terlihat tidak sanggup berdiri dengan kedua kakinya sendiri. What the fuck?

"What—how..." sulit untukku memproses apa yang terjadi. "What happened?" Dengan sigap aku meraih tubuh Kaniss dari rangkulan Aiden. He's a cool guy, I've known him for years, tapi bukan berarti aku suka melihat tangannya di pinggang Kaniss.

Dan Kaniss, apa yang dia pikirkan mabuk-mabukan seperti ini? She's new here and this is New York. Hal buruk bisa dengan mudahnya terjadi.

Lalu aku menoleh ke arah Aiden yang masih bingung menatapku. Bagaimana Kaniss bisa bersama Aiden? Sudah pasti ada sangkut pautnya dengan Emma. Tapi aku masih tidak mengerti, kenapa mereka di sini?

"Dia mabuk dan waktu kutanya di mana alamat tempat tinggalnya, dia menyebutkan alamat ini," jawab Aiden.

"Oh." Aku menoleh ke Kaniss yang sebelah tangannya harus kulingkarkan di pundakku untuk mencegahnya merosot ke bawah karena rupanya rangkulan di pinggangnya saja tidak cukup. Dia sedang senyam-senyum sendiri. Sama seperti dulu, she's a happy drunk.

"Kalian... bersama?"

Aku kembali mengadah menghadap Aiden. Dahinya mengernyit menunggu jawabanku. "Bisa dibilang begitu."

"Oh." Apa dia kecewa dengan jawabanku? I swear to God if he does, he better never carry her again. I don't care if he's cool, he's not touching her.

"Kalian berpesta bersama?" giliranku yang bertanya.

"Iya, ada acara perpisahan di Nick's. Sepertinya dia sedang banyak pikiran. Dia tidak berhenti menenggak minuman."

Pikirannya bukan urusanmu.

"Well, kami sempat bertengkar kecil, tapi semuanya sudah baik-baik saja." She's not yours. "Tapi terima kasih sudah membawanya ke sini. I really appreciate that."

"Tidak masalah. Sudah kewajibanku." Sama sekali bukan kewajibanmu. "Aku hanya terkejut Emma tidak bilang kalau kalian bersama waktu menitipkannya padaku."

What? "Menitipkannya padamu?"

"Iya. Kami satu departemen di rumah sakit makanya Emma memintaku mengawasinya."

"Kalian banyak bicara. Aku mau tidur," Kaniss bergumam lalu tersenyum sendiri.

Masih banyak yang ingin kutanyakan pada Aiden, tapi tidak mungkin aku membiarkan Kaniss berdiri terus seperti ini walaupun dia menumpukan semua berat tubuhnya yang tidak seberapa kepadaku. Dia butuh tidur.

"Baiklah, Aiden. Sekali lagi, terima kasih."

Mantan kekasih Emma—kuharap mereka sudah kembali bersama—menyeringai tipis. "Anytime. Kita harus catch-up kapan-kapan. Sudah lama aku tidak mendengar kabarmu."

Aku mengangguk sekali. "Tentu saja."

CollidedOù les histoires vivent. Découvrez maintenant