Chapter 13 - Bad Day

41K 4K 9
                                    

KANISS

"Farah."

Aku tersentak dari lamunanku. Dr Weisz yang berdiri di samping kasur pasien sedang menatapku serius.

"Oh. Mm. Mrs. Brown, empat puluh tujuh tahun, mengalami tremor berkala dan bradykinesia. Mm. Pasien juga mengalami kesulitan tidur, anosmia, dan mmm..." mataku bergerak cepat membaca isi file pasien yang kupegang. Karena aku datang sangat terlambat, aku belum sempat mempelajari data pasien ini.

"Tindakan apa yang harus dilakukan sekarang?"

"Mm..." kupaksa otakku untuk memutar cepat, tapi tidak ada hasilnya. Dan sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, Dr Weisz sudah memanggil nama intern-nya yang lain. Sial, aku pasti akan mendapat masalah setelah ini. Aku tidak tau apa aku bisa menerima omongan pedas dari Dr. Weisz lagi. Aku sudah disindir habis-habisan ketika baru datang jam sebelas siang tadi. Sebenarnya aku bisa saja datang lebih awal kalau aku tidak menghabiskan waktu mengepak beberapa pakaianku ke dalam tas yang sekarang ada di dalam lokerku. Aku belum tau mau kemana nanti, tapi aku tau sebaiknya aku tidak kembali ke apartemen itu untuk sementara waktu. Atau sampai kapan pun?

Benar saja. Begitu kami semua keluar dari kamar pasien, Dr. Weisz langsung menoleh ke arahku dengan wajah sadisnya terpasang. "Lain kali kalau kau terlambat dan tidak siap, jangan peduli untuk datang. Aku tidak peduli kau membayar mahal untuk program ini, aku tidak butuh intern sepertimu menghabiskan waktuku. Kau bisa kembali ke negaramu."

Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan mengangguk lemah.

"Hari yang buruk, huh?" Logan dengan seringai jahilnya menyapaku yang sudah bersandar lesu di meja suster.

"Hari yang buruk," jawabku. Sambil bertopang dagu, aku memperhatikan Logan yang sibuk dengan file-file pasien. "Hey, Logan?"

"Apa?"

"Kau tinggal sendiri bukan?"

Matanya menyipit curiga. "Memangnya kenapa?"

"Bolehkah aku menginap beberapa hari? Setidaknya sampai aku bisa menemukan apartemen baru." Aku belum benar-benar memutuskan apa aku akan pindah—aku sudah membayar sewa untuk tiga bulan, aku tidak mau rugi—dan aku juga tau bukan hal yang baik kalau aku menginap bersama seorang laki-laki. Bunda dan ayah bisa syok dengan hal itu. Tapi aku bukan lagi di Indonesia, ini hal yang biasa di sini. Dan juga, Logan gay. Aku tidak perlu khawatir.

Kedua alis Logan menyatu. "Memangnya kenapa dengan apartemenmu?" Kemudian matanya melebar. "Kau melepaskan apartemenmu? Oh, Kaniss, biarkan aku yang mengambilnya. Sungguh, apartemen sebagus itu dengan harga semurah itu? Aku akan pindah malam ini juga."

"Oke, tenang, tenang." Satu sudut bibirku kuangkat dengan dahi mengernyit heran melihat respon Logan. "Aku tidak mengatakan aku akan melepaskan apartemenku."

"Barusan kau bilang kau akan mencari apartemen baru," protes Logan dengan raut wajah tidak mengerti.

"Well, aku belum tau apa aku akan pindah. Tapi yang pasti aku butuh tempat menginap beberapa hari ini."

"Memangnya ada apa?"

Bibirku mengerucut berfikir, apa aku perlu menceritakan apa yang terjadi pada Logan. "Akan kuceritakan. Hanya kalau kau membiarkanku menginap di tempatmu."

"Tentu saja."

---

Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam dan aku masih tengah bercerita soal konflikku dan Ezra pada Logan. Padahal aku tidak berniat bercerita panjang lebar karena aku malas. Tapi rasanya sulit berhenti mengumpat Ezra karena aku benci padanya. Sangat. Maksudku, aku sama sekali tidak habis pikir. Dia bukan cuma pergi begitu saja, dia juga mempermalukanku. Aku tau apa yang kulakukan dengan menunggunya dua jam setelah putus dari Fathir memang menyedihkan. Tapi pada saat itu rasanya tidak ada yang salah, karena Ezra sangat menunjukan kalau dia memiliki perasaan padaku. He spent a night with me and kissed me twice, for God's sake. Dan bisa-bisanya dia berkata kalau aku memiliki gangguan jiwa? Ugh.

Lalu Emma. Aku curiga kalau ini semua rencananya, ingin mempertemukanku dengan Ezra. Dia pasti sengaja menawariku apartemen itu karena Ezra tinggal di seberangnya. Tapi jujur, aku tidak marah pada Emma. Aku masih yakin kalau Emma berniat baik. Dia tidak tau apa yang adiknya perlakukan padaku. Dia tidak tau sebrengsek apa adik kesayangannya.

Hhh. Kenapa ini bisa terjadi? Aku sudah baik-baik saja. Aku sudah tidak lagi memusingkan Ezra. Semuanya berjalan dengan baik sampai tiba-tiba dia muncul tadi malam. Kupikir aku sudah menghapus nama Ezra dari kamusku karena aku sudah memaafkannya soal kepergiannya yang begitu saja. Tapi sekarang, dipermalukan seperti itu, merasa sebodoh ini, aku bukan hanya memasukan nama Ezra kembali ke dalam kamusku, tapi juga dia menjadi satu-satunya yang kupikirkan saat ini.

"Kau benar, pria itu brengsek," ucap Logan setelah aku selesai bercerita soal Ezra. "Dia sudah membuatmu meninggalkan tunanganmu, lalu pergi begitu saja, dan sekarang tiba-tiba muncul lalu bilang kau gila?" Logan menggeleng-gelengkan kepalanya tidak setuju. "Tapi aku masih takjub kau bisa kebetulan tinggal berseberangannya dengannya. Terlebih kau bisa kebetulan sedang di apartemennya ketika dia datang."

Aku mengangkat kedua bahuku. "Aku tidak takjub. Seharusnya aku sudah curiga Emma sangat bersemangat waktu aku mengambil apartemen itu. Ini pasti bagian dari rencananya untuk mempertemukanku dan Ezra."

"Emma? Maksudmu Dr. Reinhard?"

"Iya. Oh, aku lupa bilang, dia adiknya Emma."

Kedua mata Logan melebar. "Ada Reinhard lainnya?!" Dia sampai terbatuk-batuk karena tersedak ludahnya sendiri. "Kenapa kau tidak bilang dari awal?"

"Memang kenapa? Kau tidak jadi menganggapnya brengsek kalau tau dia adiknya Emma?" tanyaku sinis.

"Well, tidak. Tapi setidaknya sekarang di bayanganku pria itu tidak mungkin jelek."

Aku menghela nafas berat. "Dia tidak jelek," gumamku. Dia sangat tampan lebih tepatnya. Seketika aku membayangkan kembali penampilannya tadi malam. Rambutnya ikalnya sudah lebih panjang. Aku tidak pernah suka pria rambut panjang sebelum ini, but damn he looks good.

Tidak, tidak, tidak. Dia brengsek.

"Kalau aku jadi kau, aku akan tetap tinggal di sana. Toh kau sudah membayar sewanya. Kau harus menunjukan kalau kau tidak peduli dengannya. Tunjukan kalau dia tidak ada pengaruhnya untukmu."

"Menurutmu begitu?"

Logan mengangguk mantap. Melihatku diam saja, dia menyodorkan gelas wine yang diminumnya, yang tadi kutolak ketika dia tawarkan. "Mau?"

"Iya, bawa ke sini."

CollidedWhere stories live. Discover now